NASKAH DAN BAHAN NASKAH JAWA
Hampir seluruh bangsa mempunyai manuskrip sebagai bentuk kearifan lokalnya. Contoh yang cukup dikenal adalah Medieval Manuscripts yang berisi sejarah bangsa Eropa yang hidup antara tahun 500-1500 A.D. Contoh cara penulisan manuskrip medieval dapat dilihat dalam video di atas. Selain bangsa Eropa, suku bangsa Jawa juga mempunyai manuskrip yang tidak kalah menarik. Berikut ini akan dipaparkan bahan dan cara penulisan manuskrip Jawa.
BAHAN NASKAH JAWA
Bahan naskah yang lazim digunakan untuk
menulis manuskrip Jawa adalah lontar, kulit kayu, dan kertas Eropa. Lontar
berasal dari kata ron yang berarti
‘daun’, dan tal yang merupakan nama
sejenis pohon. Jadi kata rontal berarti
‘daun pohon tal’. Kata rontal kemudian
mengalami proses metatesis menjadi lontar.
Lebih lanjut mengenai bahan naskah Jawa, Ismaun (1996: 4) menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
Naskah
Jawa pada umumnya menggunakan lontar menggunakan bahan lontar (ron tal ‘daun
tal’ atau ‘daun siwalan’), dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu,
dan kertas. Sementara itu masih ada penggolongan jenis dluwang dan
kertas yang lebih rinci, seperti kertas gendong, kertas tela, kertas kop, dan kertas
bergaris.
Berikut ini cara pembuatan naskah dari
daun lontar.
a. Pilih daun pohon tal atau siwalan (Borassus
Flabellifer) yang akan dibuat sebagai bahan lontar. Daun yang dipilih harus yang sudah
tua dan cukup besar. Daun-daun yang baru saja dipotong kemudian dijemur 1-2
hari sampai kering. Daun kemudian berubah menjadi kekuningan. Berikut ini
gambar pohon tal.
Pohon Lontar (Yuwono, 2015).
b. Kemudian lidi yang ada di daun tal
kemudian dibersihkan. Setelah dihilangkan lidinya, daun yang sudah dibersihkan
kemudian dipotong bagian-bagian yang tidak terpakai misalnya bagian daun yang
berlubang, cacat, kotor, terkena hama, dan lain-lain.
c. Setelah kering, daun-daunan tersebut
kemudian direndam dalam air yang mengalir selama 3-4 hari, kemudian dikeringkan,
dan digosok pelan-pelan dengan menggunakan kain untuk menghilangkan kotoran
yang menempel pada permukaan daun.
d. Kemudian daun-daun tersebut dijemur
kembali sampai kering. Penjemuran tidak dilakukan di sinar matahari langsung,
namun diangin-anginkan saja, atau dijemur di tempat yang teduh.
e. Setelah kering, daun-daun tersebut
kemudian direbus dalam kuali. Air yang dipergunakan untuk merebus dicampur
dengan rempah-rempah. Perebusan untuk membersihan sisa-sisa kotoran,
mempertahankan struktur daun, dan untuk mengawetkan. Proses perebusan kurang
lebih selama 8 jam. Berikut ini gambar proses perebusan lontar.
f.
Setelah direbus, lontar kemudian
ditiriskan dan dijemur kembali sampai kering selama satu malam. Kemudian daun
lontar dibersihkan dengan menggunakan lap.
g.
Daun-daun yang sudah mengalami
beberapa proses di atas, kemudian ditumpuk dan dipres dengan menggunakan alat
pengepres sederhana. Pengepresan dimaksudkan agar helai-helai lontar lurus dan
tidak bergelombang. Lontar kemudian diberi pasak bambu dan dihaluskan tepinya.
Proses pengepresan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Proses
mengepres daun lontar (Arthur dkk., 2010).
h.
Setelah dipres, lontar kemudian
diberi garis agar tulisan yang dihasilkan lurus. Setelah itu lontar ditulisi
dengan pisau runcing yang disebut dengan pengot. Proses penulisannya seperti
dalam gambar berikut:
i.
Setelah ditulisi, bekas goresan
pengot yang berwarna putih kemudian diberi warna hitam. Warna hitam dihasilkan
dengan cara membakar buah kemiri sampai berwarna hitam dan mengeluarkan minyak.
Kemudian bekas goresan dioles dengan menggunakan kemiri tersebut. Minyak kemiri akan menyamarkan goresan garis.
Kemudian tiap helai lontar dilap sampai bersih.
j.
Kemudian helai-helai lontar
(lempir) diberi tali, dilubangi, dan diapit dengan sepasang pengapit.
Contoh
lontar yang sudah jadi (Arthur dkk., 2010).
Selain berbahan lontar, manuskrip Jawa
juga lazim ditulis di atas dluwang.
Kertas ini dibuat dari kulit kayu atau klika.
Proses pembuatan dluwang dapat
dilihat dalam gambar di bawah ini.
Proses Pembuatan Naskah Berbahan
Kulit Kayu (Pudjiastuti, 2006: 166).
Keterangan gambar:
(1) Gambar pohon sepukau atau saeh (Broussonetia
Papyrifera Vent)
(2) Kulit batang
pohon saeh dikelupas. Besar batang pohon disesuaikan dengan ukuran kertas yang
akan dibuat
(3) Kulit pohon dipukul-pukul sampai lebar,
sesuai ukuran kertas
(4) Bahan kertas dijemur di atas batang pohon
pisang dan digosok dengan marmer agar halus.
Secara umum, bahan
naskah digolongkan dalam tiga golongan, antara lain: bahan mentah dari bambu,
kulit kayu, rontal dan daun palem lainnya. Bahan setengah matang dengan proses
sederhana, antara lain perkamen
(media tulis yang dari kulit binatang), dluwang, dan bahan matang
dengan proses sempurna seperti kertas Eropa. Kertas Eropa ini, pada abad XVIII
dan XIX mulai menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik untuk
naskah di Indonesia. Salah satu ciri
kertas Eropa adalah adanya watermark.
Watermark merupakan salah satu bagian naskah yang
dapat digunakan untuk merunut usia penyalinan teks. Cap air dalam kertas ini
sering diganti, sehingga dapat dirunut tahun pembuatannya melalui daftar cap.
Kertas dengan watermark mulai dipakai di Indonesia pada abad 18 dan 19
(Baried, 1985: 6). Kertas ini didatangkan dari Eropa, kemudian segera dipakai
karena persediaan terbatas. Jadi, tarikh penyalinan naskah dapat diperkirakan
tidak jauh berbeda dari tahun pembuatan kertas (Baried, 1994: 61).Tahun pembuatan kertas dapat dilihat dalam
katalog kertas Eropa yang sudah dibukukan, misalnya dalam Churchill (1965). Watermark dapat dilihat dengan cara
diterawang. Berikut ini beberapa contoh watermark
yang terdapat dalam kertas Eropa.
Contoh watermarks dalam Kertas Eropa (Churchill, 1965: 101, 127).
Bahan yang
dipakai untuk menulis naskah lama, seperti yang sudah disebutkan di atas dapat
memuat berbagai macam informasi mengenai naskah itu sendiri maupun
penulis dan penyalin naskah yang bersangkutan. Keadaan bahan naskah dapat digunakan sebagai gambaran awal mengenai
umur naskah dan tulisan yang rapi, rata kanan kiri, lurus, indah, dan
tidak mengandung banyak kesalahan merupakan petunjuk bahwa naskah merupakan
hasil tulisan penulis atau
penyalin yang berpengalaman, seperti pujangga kerajaan, carik kraton, maupun penulis ahli pada
istana raja (Soebadio, 1991: 4). Untuk melengkapi pengetahuan tentang pembuatan manuskrip, berikut ini video tentang pembuatan manuskrip.
Bu Venny ahli menulis naskah jawa juga? Saya pernah punya pengalaman menulis di ental (media menulis lontar) dan susahnya setengah mati.
ReplyDeleteCuma senang saja Mbak. Kalau di Bali masih kental itu tradisinya.
Delete