KONTEKSTUALISASI HISTORIS BABAD PAKEPUNG: UPAYA PENEMPATAN BABAD SEBAGAI SUMBER SEJARAH REPRESENTATIF
BABAD SEBAGAI KARYA SASTRA JAWA SUMBER SEJARAH
Karya sastra Jawa yang memuat sejarah disebut dengan babad. Babad merupakan tulisan sejarah
yang tidak semata-mata berisi urutan kejadian, tetapi juga sebagai wujud
ekspresi kultural yang oleh C.C. Berg disebut sebagai magis sastra. Babad sebenarnya merupakan jawaban atas kurangnya
sumber sejarah masa lampau. Namun sampai saat ini penelitian terhadap babad terkesan dikesampingkan. Hal ini
disebabkan karena babad dianggap
sebagai sumber sejarah yang kurang representatif karena isinya bercampur dengan
mitos, hal-hal berbau mistis, dan tidak jarang juga berisi legenda yang
berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja (Margana, 2004: 8-9). Pendapat ini menyebabkan unsur
sejarah dalam babad menjadi bias
karena adanya sistem kepengarangan tradisional, bukan seperti konvensi sejarah yang
ada di negara-negara barat.
Namun pada perkembangan selanjutnya, babad
mulai dipakai sebagai sumber kajian tentang sejarah masa lalu dan juga
masyarakatnya. Misalnya Babad Diponegoro yang
telah digunakan Carey (2009) dalam tulisannya. Para peneliti juga sudah mulai menggunakan babad sesuai dengan fungsinya dan memfilter mitologi-mitologi
yang terdapat dalam lembaran awal babad.
Ricklefs yang mewarisi tradisi pendekatan gurunya, de Graaf dari analisinya terhadap Babad Sengkala juga mengemukakan kredibilitas babad Jawa dalam merekam
peristiwa-peristiwa sejarah. Secara teoritis dan metodologis, babad memang memiliki kekurangan
khususnya bila dikaitkan dengan persoalan temporal, faktual maupun spasial.
Terlepas dari semua kelemahan-kelemahannya, sebenarnya babad juga mengandung
beberapa fakta sejarah. Bahkan pencatatan
peristiwa-peristiwa yang dekat dengan masa hidup penulisnya 90% dapat
dipertanggungjawabkan keakuratannya (Margana, 2004: 5). Terkait dengan latar belakang di atas, tulisan
ini secara khusus akan membahas mengenai Babad
Pakepung, dan mencoba mendudukkan babad
ini secara kontekstual historis.
BABAD
PAKEPUNG
Babad
Pakepung ditulis pada masa Sinuhun Pakubuwana (PB) IV. Serat
ini termasuk serat alit (teks pendek) yang menceritakan tentang PB IV yang dekat dengan orang-orang yang dianggap
sakti yaitu Brahman, Wiradigda, Panengah, dan Kanduruhan. Hal ini menyulut kemarahan Gubermen dan
Kraton Yogyakarta serta ditakutkan
akan menyebabkan pergolakan politik. Surakarta
kemudian dikepung oleh barisan dari Yogyakarta, Belanda, dan Mangkunegaran. Terkait dengan pengarang, disebutkan bahwa naskah ini merupakan
karya Yasadipura. Gaya bahasanya baik dan hidup, serta jelas dalam penyampaiannya. Digubah dalam bentuk
tembang Macapat, serta belum pernah dicetak
(Poerbatjaraka, 1957: 151). Naskah ini kemungkinan ditulis pada abad ke-19 oleh
R. Ng. Yasadipura II (alias R. Pajangwasista, alias Ranggawarsita I, alias
Tumenggung Sastranagara) (Ricklefs, 2002: xii). Pendapat Ricklefs ini senada dengan Margana (2004: 4) yang menyatakan bahwa
Babad Pakepung merupakan karya
Yasadipura II yang terakhir.
Menurut
Supariadi (2001: 7-8), peristiwa
Pakepung yang menjadi sebab penulisan Babad
Pakepung, tidak hanya dilatarbelakangi masalah politik, tetapi juga
keagamaan. Pakepung merupakan cermin terpolarisasinya pandangan politik priyayi
dan kyai. Polarisasi ini terbentuk karena adanya dikotomi kehidupan antara
priyayi yang cenderung mengembangkan sikap budaya sinkretis dan kompromistis.
De Graaf menyebut Pakepung adalah
gerakan pemurnian Islam (kembali kepada Quran dan Hadits). Namun hal ini sulit diterima karena para
santri masih menunjukkan Islam tradisional seperti pemakaian jimat, rajah, dan
ilmu kedigdayaan lainnya (Supariadi, 2001: 198).
REPRESENTASI DAN AKURASI KONTEKS HISTORIS BABAD PAKEPUNG
Waktu penulisan Babad Pakepung
Latar waktu penulisan Babad Pakepung, dilihat dari bait awal
tembang yang berbunyi sebagai berikut.
Kang
sinawung sekar gula milir, duk jumeneng dalem Jeng Susuhunan, nenggih
Pakubuwanane, yekang Ngabdulrahmanu, Sayidina Panagami, Senapati Ngalaga,
ingkang kaping catur, angadhaton Surakarta, dereng lama denira jumeneng aji,
wantu Nata taruna (Babad
Pakepung, I:1)
Terjemahan:
(Cerita) ini digubah dalam bentuk tembang Dhandhanggula, ketika bertahtanya Sunan
Paku Buwana, yang bergelar Ngabdulrahman, Sayidina Panagami, Senapati Ngalaga,
yang keempat, bertahta di Surakarta. Beliau belum lama bertahta, raja yang
masih belia.
Berdasarkan kutipan dalam Babad Pakepung di atas dapat digunakan
sebagai titik tolak pencarian
tahun penulisan teks. Metode
yang dapat digunakan untuk mencari tahun penulisan teks dengan pembukaan
seperti di atas, dapat dilakukan dengan metode interne evidentie.
Interne evidentia dapat
dilakukan dengan melihat
peristiwa yang disebut dalam teks di atas. Awal Babad
Pakepung di atas menyebutkan bahwa teks ditulis pada awal bertahtanya PB IV
di Surakarta. PB IV bertahta pada tanggal 29 September 1788 M sampai tahun 1820 M (Ricklefs, 2002: 485).
Latar waktu di atas, diperkuat
dengan kutipan bait Babad Pakepung di
bawah ini.
Amung
minggu datan mobah mosik, kang pinegat lampahing carita, nalika Idler praptantuk
pitung dalu, ing nagari Surakarteki, saweg antuk satengah, barang kang
rinembug, Idler ping kalih lebetnya, lan amawi bicara aneng jro puri, kang
ngawrat tan rinembag (Babad
Pakepung, I:4)
Terjemahan:
Tidak ada perubahan apapun selama seminggu,
singkat cerita, ketika Idler Jan Grepe, sudah tinggal di Surakarta selama tujuh
malam, baru dapat menyelesaikan separuh pembicaraannya. Idler dua kali masuk ke
istana, berembug di dalam kraton, tetapi tanpa membicarakan hal-hal yang berat.
Berdasarkan kutipan di atas,
dapat dirunut secara externe evidentie dengan
menggunakan bahan pustaka dari luar teks. Berdasarkan data luar teks didapatkan
nama Jan Greeve. Jan Greeve merupakan Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskustyang berpusat di
Semarang (J.K.J. de Jong dan M.L. Deventer (eds.) dalam Katno, 2012: 9).
Konteks waktu yang disebutkan dalam kutipan di atas adalah pada waktu
kedatangan Jan Greeve ke Surakarta. Menurut sumber di luar teks, Jan Greeve
pada masa di sekitar tahun 1788 memang berkunjung ke Surakarta untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di Surakarta. Menurut Ricklefs
(2002: 485-486), Pakubuwana III pada tanggal 21 September 1788 memang meminta
Greeve untuk datang ke Surakarta. Pakubuwana III merasa dirinya akan mangkat.
Kemudian Greeve tiba di Surakarta pada 25 September 1788. Pada 26 September
Pakubuwana III wafat. Greeve tidak meninggalkan Surakarta sampai tanggal 7
Oktober 1788 untuk mengatasi ketegangan-ketegangan seputar suksesi perpindahan
kekuasaan.
Berdasarkan pembahasan dan
fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penulisan konteks historis dalam Babad Pakepung tepat dan sesuai dengan
sumber-sumber sekunder yang dipakai. Namun penanggalan dalam Babad Pakepung hanya disebutkan secara
umum dan tidak rinci penanggalannya. Misalnya hanya disebutkan awal bertahtanya Pakubuwana IV, Idler Jan
Grepe sudah berada di Surakarta selama tujuh hari. Jika dilihat konteks
waktu, alur peristiwa yang disebutkan runtut dan tidak menyimpang dari fakta
sejarah berdasarkan sumber sekunder.
Hal lain yang didapatkan dalam
Babad Pakepung, yaitu penulisan nama
tokoh yang tidak sesuai dengan ejaan yang benar. Pada kutipan di atas tampak
bahwa dalam Babad Pakepung ditemukan
nama Jan Grepe, padahal sebetulnya
namanya adalah Jan Greeve yang merupakan Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskustyang berpusat di
Semarang. Kemungkinan penulis tidak mengetahui ejaan nama yang benar, hanya
menuliskannya berdasarkan pengetahuan dan apa yang didengar.
Penyebutan tentang Pewaris Tahta Yogyakarta
Penulis Babad Pakepung juga menyinggung mengenai pewaris tahta Yogyakarta.
Hal ini disebut dalam bait 6 pupuh I sebagai berikut.
Kang
wus manjing kontraking Kumpeni, yen Pangeran Dipati Ngayugya, wus sineksen ing
badhene, sedane ramanipun, singgasana ingkang ngenggeni, amesthi putranira,
Pangran Dipatyeku, kang sayekti madeg Sultan, telung Jendral Pandirpara kang
ngetuki, sagung rad pan India (Babad Pakepung, I:6)
Terjemahan:
Apa yang sudah disebut dalam kontrak dengan
Kompeni, Pangeran Dipati Ngayugya telah disaksikan, jika ayahandanya meninggal,
maka yang singgasana kerajaan tentunya jatuh ke putranya yaitu Pangeran
Adipati, yang berhak menjadi Sultan, karena telah disetujui Jendral Pandirpara,
dan dicatat oleh Rad pan India.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa penulis Babad Pakepung memberikan informasi
mengenai siapa yang menjadi pewaris Kasultanan Ngayogyakarta. Hal ini juga
memberikan informasi bahwa untuk suksesi perpindahan kekuasaan raja harus
disetujui oleh Gubernur Jendral VOC dan Rad Pan India. Nama Jendral Pandirparra
juga disebut dalam Babad Pakepung. Jendral
Pandirparra yang dimaksud dalam Babad
Pakepung adalah Petrus Albertus van der Parra yang menjadi Gubernur
Jenderal Kompeni selama periode 1761-1775 M (Muzaki, 2013: 1). Sedangkan yang disebut sebagai Rad pan Indiya dalam Babad Pakepung merupakan Dewan Hindia
(bahasa
Belanda: Raad van Indië) yang merupakan organisasi pusat bagi
pemerintahan
kolonial
Hindia Belanda di Asia antara tahun 1609-1942.
Dewan Hindia didirikan sebagai badan yang memberikan nasihat pada gubernur
jenderal. Dewan Hindia juga mengontrol gubernur jenderal dengan
memeriksa dan mengendalikan mereka. Dewan memberi nasihat pada gubernur
jenderal untuk pengangkatan pegawai dan pembicaraan masalah ekonomi dan
keuangan (https://id.wikipedia.org
/wiki/Dewan_Hindia).
Kepergian Jan Grepe ke Yogyakarta
Kepergian Jan Grepe ke Yogyakarta juga disebutkan
dalam Babad Pakepung. Hasil terjemahannya sebagai berikut:
Keberangkatan Deler sudah diberitahukan kepada
raja. Deler berapamitan ke Yogyakarta. Ada wedana di daerah pesisir yang sedang
mempunyai hajat, yang menerima kedatangannya adalah Pangeran Ngabehi. Deler
berangkat pagi-pagi sekali dari Surakarta. Pada malam harinya, yaitu pada hari
Selasa, 25 Sura tahun Jimawal. Tidak diceritakan perjalanan Deler. Tetapi di
setiap tempat mendapat sambutan. Setelah sampai di tempang penjemputan,
rombongan prajurit mengawal, para adipati dan mantri berhenti. Di sinilah sultan
menjemput. Kduanya berjabat tangan kemudian duduk bersama. Tidak lama kemudian
mereka pergi ke kiri kemudian ke utara (Babad Pakepung, I:13-14)
Berdasarkan kutipan di atas,
penulis Babad Pakepung menyebutkan
bahwa Jan Greeve bertolak meninggalkan Surakarta, menuju ke Yogyakarta. Pada Babad Pakepung dituliskan bahwa Greeve
berangkat ke Yogyakarta pada Selasa malam, 25 Sura tahun Jimawal. Penanggalan
ini kurang lengkap karena tidak memuat angka tahun. Berdasarkan sumber sekunder
didapatkan bahwa Greeve pergi ke Yogyakarta pada tanggal 6-10 Oktober 1790.
Setelah dikonversikan dengan tahun Jawa yang digunakan dalam Babad Pakepung, yaitu hari Selasa, 25
Sura tahun Jimawal, terjadi ketidakcocokan antara hari dan tanggal. Penanggalan
pada babad terpaut 2 hari, yaitu tanggal 4 Oktober. Sedangkan penyebutan hari
terpaut satu hari. Pada babad disebutkan hari Selasa, pada sumber sekunder
menyebut hari Rabu. Tanggal 6 Oktober 1790 jatuh di hari Rabu, bertepatan
dengan tanggal 27 Sura 1717 tahun Jimawal (Ricklefs, 2002: 510-512).
Ketidakcocokan pada hari dan tanggal antara sumber primer dan sekunder tidak
terlalu jauh. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan sistem penanggalan antara
penanggalan Jawa dan Masehi. Juga sistem perpindahan hari yang tidak sama.
Permusuhan antara Mangkunegara dan Sultan Ngayogya
Babad
Pakepung juga menyebut
mengenai adanya permusuhan politis antara Mangkunegara dengan Sultan Ngayogya
seperti dalam bait berikut ini.
Dene
Kumpeni masrahi, marang sun tuduh kewala, nadyan iku satruning wong, iya si Mangkunegara,
nadyana rekahana, brukna panggawe iku, bisa padhang ing wekasan. Karena waktak
ing nguni, iya si Mangkunegara, pan nora kakehan enggok, nora kaya pikir ala,
Panengah Wiradigda, pikire pating panjelut, ting panjelut ting sarempal (Babad Pakepung, II:10-11).
Terjemahan:
Jika Kumpeni menyerahkan (masalah itu kepada
saya), saya hanya bisa memberi saran saja. Walaupun Mangkunegara adalah
musuhku, meskipun dia banyak berulah, serahkan saja masalah itu padanya. Tentu
dapat terselesaikan, karena Mangkunegara mempunyai watak lurus. Tidak seperti
pikiran buruk Panengah dan Wiradigda. Berpikiran menyimpang, tidak karuan,
tidak teratur.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat
disimpulkan bahwa penulis Babad Pakepung memberikan
informasi adanya permusuhan politis Mangkunegara dan Sultan Ngayogyakarta
(Hamengku Buwana I). Jika dirunut melalui sumber sekunder, informasi ini memang
betul merujuk pada Ricklefs (2002: 365) yang menyatakan bahwa permusuhan-permusuhan
lama tetap bertahan, terutama antara Sultan dan Mangkunegara. Hal ini dikarenakan keduanya dianggap memiliki
kemampuan dan kewibawaan yang sejajar. Permusuhan karena prestise merupakan hal
yang biasa untuk menambah dan mempertahankan kewibawaan seorang raja.
Tentara Bantuan untuk Mengepung Surakarta
Pada Babad Pakepung disebutkan bahwa pengepungan Surakarta melibatkan
banyak tentara dalam proses pengepungan seperti di bawah ini.
Demikanlah Sultan akan mengambil tindakan, tetapi
menghendaki bantuan para adipati pilihan dari daerah pesisir, masing-masing
daerah seribu prajurit yaitu Madura, Surabaya, Jepara, Sumenep, Tegal, Sedayu,
Pasuruhan. Hanya tujuh daerah saja yang diminta membantu perang. Sedangkan
Kompeni diminta seribu prajurit saja, yaitu Bugis, Makasar, Keling, Bali,
Sumbawa, dan Cina yang nantinya dipersiapkan perang dijadikan satu dengan
prajurit Yogyakarta yang akan berperang menggempur Sala yang mempertahankan
iblis laknat (Babad Pakepung, II:20-22).
Berdasarkan
kutipan di atas, didapatkan informasi asal dari masing-masing tentara gabungan
yang berasal daerah Pesisir yang bekerjasama dengan VOC, tentara Yogyakarta,
dan Kompeni Belanda. Setelah dirunut dari sumber sekunder, ternyata tidak
ditemukan informasi mengenai tentara gabungan yang akan mengepung Surakarta
dalam peristiwa pakepung. Hal ini menunjukkan bahwa babad bisa jadi lebih detail dalam penceritaan dan detail
informasi. Jika sumber sekunder hanya menyebutkan bahwa pengepungan oleh
tentara gabungan, Belanda, dan Yogyakarta, maka dalam Babad Pakepung bisa terinci mengenai asal tentara gabungan, yaitu:
(1) tentara dari daerah pesisir yang dipimpin oleh adipati dari berbagai
daerah, yaitu Madura, Surabaya, Jepara, Sumenep, Tegal, Sedayu, dan Pasuruhan.
Masing-masing daerah mengirimkan 1000 orang tentara, (2) tentara Kompeni
sebanyak seribu prajurit dari Bugis, Makasar, Keling, Bali, Sumbawa, dan Cina,
dan (3) tentara dari Kasultanan Yogyakarta.
Fakta Mengenai Guru Dalem
Fakta
awal mengenai guru dalem dalam Babad
Pakepung dituliskan pada pupuh I (Dhandanggula), bait ke-3 sebagai berikut.
Ingadhepan
abdi kang tan yukti, ran Panengah lawan Wiradigda, Bahman kalawan Nursaleh,
samya nagaduni catur, pinrih benggang lawan Kumpeni, aturnya mring Sang Nata,
wong papat puniku, akathah sesanggupira, atemahan kagiwang tyasnya narpati,
kenut mring setan papat.
Terjemahan:
Beliau sedang menerima abdinya yang tidak
baik sifatnya bernama Panengah, Wiradigda, Bahman, dan Nursaleh. Mereka
membujuk raja agar melepaskan diri dari Kumpeni. Mereka berkata bahwa merepa
mempunyai banyak kemampuan, raja terbujuk hatinya, dan akhirnya menurut dengan
setan empat itu.
Bait
awal pada Babad Pakepung ini
menyuguhkan fakta bahwa PB IV sebagai raja muda dekat dengan guru dalem yang
terdiri yang berjumlah empat orang yaitu Panengah, Wiradigda, Bahman, dan
Nursaleh. Pada sumber sekunder misalnya dalam Serat Wicara Keras dan Babad
Mangkubumi, juga menyebut mengenai peristiwa ini. Pada 29 September
1788, putra mahkota Surakarta sudah dilantik menjadi Susuhunan PB IV dan menunjukkan
ketaatan mendalam dalam beragama. Raja muda ini benci campur tangan
Belanda dalam pemerintahan Surakarta. Keadaan ini disebut pula dalam Babad Mangkubumi pupuh LXXV (Dhandhanggula)
(Ricklefs 2002). Disebutkan
bahwa setelah dua tahun di bawah kepemimpinan PB IV, Sunan telah dipengaruhi
iblis yang bernama Wiradigda, Panengah, Ahmad Saleh, Bahman, Martajaya, dan
Sujanapura.
Berdasarkan uraian dari sumber-sumber sekunder, fakta tentang adanya guru dalem atau para pendeta (paepen) memang benar. Namun pada awal Babad Pakepung disebutkan bahwa guru dalem hanya empat orang, namun
dalam sumber sekunder disebutkan bahwa para pendeta yang mempengaruhi PB IV
berjumlah enam orang.
Keadaan Surakarta pada masa ditulisnya Babad Pakepung
Berdasarkan bait-bait dalam Babad
Pakepung, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awal ditulisnya Babad Pakepung yaitu pada masa awal
pemerintahan PB IV, keadaan Surakarta kurang kondusif. Beberapa kutipan bait
yang menunjukkan hal tersebut sebagai berikut ini.
Yen wayah paduka aji, Sang Prabu ing Surakarta,
badhe akarya lelakon, akarya kuwer ing jagad, yen boten pinapasa, akarya jur
jagadipun, tur mangsa saged malihna. Lan paduka ngatas malih, kula tuwan madeg
nata, angiras kasenapaten, reruweding tanah Jawa, wajib ingkang ambengkas,
mangka meh thukul angrembuyung, kang beka ngrubedi praja. (Babad Pakepung, II:2-3)
Terjemahan:
Jika cucunda Raja
Surakarta, akan menuruti orang jahat, jika tidak diselesaikan, akan hancur
dunia ini dan tidak mungkin dapat kembali. Jika paduka bertahta kembali,
menjadi senapati, kekisruhan di tanah Jawa, wajib dimusnahkan, sekarang akan
tumbuh subur, yang mengganggu pemerintahan.
Data di atas
memberikan gambaran keadaan yang kurang kondusif di Surakarta di awal
pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini sesuai dengan pendapat Ricklefs (2000: 472) sebagai berikut.
Situasi eksploratif yang terbentuk pada tahun 1788
di Surakarta, dengan kebencian terhadap Belanda kini makin gawat. Ditambah
dengan besarnya pengaruh putra mahkota yang menyukai mistik dan menbenci orang-orang
Eropa. PB III semakin mendekati akhir hayatnya. Ketegangan mengiringi suksesi
membuat semakin panasnya situasi.
Sifat dan Perbuatan Guru Dalem
Cerita
ini dalam Babad Pakepung, memang pada intinya menceritakan tentang
keadaan dalam Keraton Surakarta yang bergolak setelah PB IV menolak menyerahkan
guru dalem yang mempengaruhi PB IV
untuk menentang Yogyakarta dan Belanda. PB IV tetap mempertahankan tiga orang guru dalem yang dianggap berpengaruh pada kelangsungan kerajaan Surakarta.
Berbagai pihak terlibat dalam
masalah ini. Pihak Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Belanda ikut
memberi tekanan politik dan mengepung Surakarta dengan harapan guru dalem dapat diserahkan.
Guru dalem berusaha untuk mempengaruhi PB IV untuk mengambil alih pemerintahan Belanda dan
menyatukan kembali Mataram yang sudah pecah. Sumber sekunder juga memberikan dukungan
terhadap hal yang disebut dalam Babad
Pakepung ini. Bahkan Ricklefs
(2002) menyatakan bahwa guru dalem itu dianggap telah menyebarkan ajaran sesat. Para guru dalem ini walaupun mengaku diri mereka dari golongan
santri, namun masih menggunakan sihir dan jimat-jimat
yang dilarang dalam ajaran agama Islam. Guru dalem banyak sekali disebut dalam Babad
Pakepung. Bahkan mendominasi alur cerita. Memang menurut Babad Pakepung dan sumber lain yaitu Wicara Keras, guru dalem lah yang
menyebabkan terjadinya peristiwa Pakepung.
Guru dalem juga disebut memiliki sifat-sifat jahat seperti yang tersebut di
bawah ini.
Lah
padha jaluken dhingin, si Panengah Wiradigda, si Bahman si Si Nursaleh, iku
kang marahi ala, kalamun kinukuhan, lah payo nuli ginepuk, jajal laknat
satruningrat.
Terjemahan:
Sebaiknya tangkaplah dahulu, si Panengah
Wiradigda, si Bahman si Nursaleh, itulah yang menyebabkan kejahatan, jika
dipertahankan, mari bersama-sama dihancurkan, setan laknat musuh dunia.
Berdasarkan kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa guru dalem disebutkan
mempunyai watak yang tidak baik. Guru
dalem disebut sebagai biang kejahatan, setan, dan musuh dunia.
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat guru dalem memang kurang baik jika dilihat dalam seumber-sumber
sekunder seperti buku tulisan Ricklefs dan juga tulisan Yasadipura II dalam Serat Wicara Keras (SWK).
Menyatukan Kekuatan di Salatiga
PB
IV menolak untuk menyerahkan para guru dalem, sehingga membuat Belanda,
Mangkunegara, dan Sultan merencanakan untuk mengepung Surakarta. Tidak banyak
sumber sekunder yang menyebutkan tentang persiapan pengepungan Surakarta. Namun
persiapan ini disebut dengan cukup rinci dalam Babad Pakepung sebagai berikut:
Diceritakan kembali
para adipati pesisir yang diperintahkan untuk mempersiapkan prajurinya
menggempur Surakarta, kota yang berisi orang sombong dan jelek telah tiba dan
menanti rombongan yang datang dari Salatiga. Orang Sumenep, Pasuruhan, Madura,
dan Surabaya datang secara bertahap, di Salatiga berbaris kumpul dengan Kompeni
putih. Setiap harinya bagaikan barisan cacing yang mengusung ikatan meriam dan
bubuk mesiu, pakaian prajurit, yang siap memukul kota. (Babad Pakepung, III: 12-
Berdasarkan data di atas, dapat
disimpulkan bahwa persiapan-persiapan untuk mengepung dan menggempur kota
Surakarta memang benar-benar dilakukan. Persiapan berupa penyatuan kekuatan
tentara dan persiapan persenjataan seperti meriam dan mesiu. Persiapan lain
untuk mengepung Surakarta juga dituliskan dalam bait 23-29 dengan ringkasan
terjemahannya sebagai berikut:
Setelah dari
Tangkisan yang akan menunggui kota adalah Adipati Danureja dan Tumenggung
Natayuda. Selain itu, semua adipati bersatu tidak ada yang ketinggalan dalam
pembagian tugas. Kedu dan Bagelen menempati bumi Sala yang berada di daerah
Pajang. Tumenggung Mangkunegara, Adipati Danureja, Tumenggung Natayuda,
Tumenggung Jayadirja, serta seluruh adipati dengan Arya Sindureja, Pangeran
Dipakusuma, seratus tentara kompeni semua berkumpul di Gondang Tangkisan.
Prajurit mancanegara mendesak di sebelah timur sungai. Dengan kesepakatan
penyerangan kota Surakarta akan dikepung dengan persiapan prajurit di Grompol,
sambil menanti prajurit dari pesisir. Bersamaan dengan itu, Edelheer sedang
menanti gubernur laut yang bersedia menggempur Surakarta beserta Mayor van
Rijck dari Pasuruhan. Hanya prajurit pesisir yang belum lengkap (Babad Pakepung, III: 23-29).
Berdasarkan kutipan di atas didapatkan
informasi mendetail tentang banyaknya kekuatan dalam rencananya pengepungan
terhadap Surakarta. Tampak bahwa kekuatan telah diorganisasikan dan melibatkan
para adipati dari berbagai daerah. Informasi seperti ini sulit didapatkan dari
sumber sejarah resmi. Inilah salah satu kelebihan babad yang ditulis secara
detail, mirip dengan catatan harian. Tidak hanya memberikan informasi tentang
tanggal dan tempat, tetapi juga kronologis kejadian.
Kota
Salatiga juga disebut dalam Babad
Pakepung pupuh III bait 24 sebagai berikut:
Titi panuskmaning surat, anglengger Sri Narapati,
miyarsa swaraning sura, lan wus kathah tur udani, yen baris ing Kumpeni, wus
kathah ingkang angumpul, kang aneng Salatiga, lan baris Ngayugya mijil,
Danureja bubare saking Tangkisan (Babad Pakepung, III: 24).
Terjemahan:
Raja terdiam
mendengar bunyi surat itu, dan banyak pula laporan bahwa barisan Kompeni telah
banyak berkumpul di Salatiga dan barisan Yogya yang dipimpin Danureja bersiap
di Tangkisan.
Berdasarkan kutipan di atas secara jelas disebutkan bahwa persiapan
pengepungan Surakarta memang dilakukan di Salatiga. Kota Salatiga juga pernah
digunakan untuk pertemuan politik dan semacamnya. Misalnya pada tanggal 17 Maret
1757
ditandatangani penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan
kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram. Salatiga di jaman
penjajahan Belanda memang sangat dikenal keindahannya, sehingga banyak residen
Belanda yang senang tinggal dan mengunjungi kota ini.
Persiapan Pengepungan
Surakarta (Pakepung)
Persiapan pengepungan Surakarta dijelaskan
secara detail dalam Babad Pakepung. Sumber-sumber
sejarah yang lain tidak menyebutkan secara rinci mengenai persiapan
pengepungan. Sumber yang lain biasanya hanya menyebutkan mengenai kapan
peristiwa Pakepung terjadi dan latar belakangnya. Persiapan pengepungan
Surakarta disebutkan dalam Pupuh V bait
9-28. Beberapa persiapan yang disebutkan dalam Babad Pakepung tersebut antara lain: (1) Sebanyak 10.000 tentara
bersenjata berbaris di Jurug bagian utara dan selatan sampai di sungai Samin.
Seorang senopati memipmpin di daerah Semanggi, Sangkrah, dan Sampangan, (2) Dipersiapkan
prajurit yang banyak dan bersenjata lengkap, di bawah komando Panembahan
Cakraningrat di Semarang, kemudian mulai diberangkatkan ke Surakarta sebanyak
800 orang prajurit yang dipimpin oleh Panji Mertakusuma, (3) Tentara dari
Surabaya juga ikut mengepung Surakarta dengan dua kali penyeberangan, dan (4) didatangkan
pula prajurit Kompeni sebanyak 300 orang dan 800 ratus Kompeni Islam yang akan
ikut mengepung Surakarta.
Peristiwa Pakepung
Berdasarkan
fakta-fakta cerita dalam Babad Pakepung pada
petikan-petikan bait di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa Pakepung disebabkan karena santri-santri kesayangan PB IV yang menghasut beliau dengan menggunakan agama sebagai
alasan dan berjanji untuk mengembalikan status Mataram dengan cara
mempersatukannya kembali dalam satu kekuasaan. Menurut catatan sejarah,
peristiwa ini menimbulkan
kekacauan di Surakarta yang
akhirnya tercatat sebagai sejarahnya dengan nama peristiwa Pakepung. Peristiwa pada masa Surakarta dikepung Belanda,
Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Pakualaman dengan tujuan memaksa PB IV untuk
menyerahkan empat orang santri yang dianggap Belanda sebagai penghasut raja. Peristiwa ini terjadi pada 26 November 1790 (Ricklefs, 2002).
Babad Pakepung menceritakan
secara rinci mengenai sikap para guru
dalem yang kebingungan menghadapi kepungan tentara gabungan. Mereka lari
kesana-kemari, namun tidak menunjukkan kesaktian luar biasa yang
dibangga-banggakan selama ini. Diceritakan bahwa Panengah berusaha melarikan
diri dan kembali ke rumah ibunya. Di sana ia dinasehati oleh ibunya. Oleh
ibunya dia diminta untuk mengeluarkan kesaktian yang selama ini dibanggakan.
Mengaku mampu berjalan di atas sungai, dapat mempersempit sungai, merobohkan
seribu batang bambu, dan lain-lain (Babad
Pakepung Pupuh VII bait 50-Pupuh VIII bait 14). Untuk kisah ini, peneliti
tidak dapat memvalidasi apakah cerita ini nyata atau fiksi. Hal ini dikarenakan
tidak ada sumber sejarah lain yang dapat dipakai sebagai acuan.
Peristiwa Pakepung sendiri
dalam Babad Pakepung tidak disebutkan
secara detail mengenai hari dan tanggalnya. Namun diuraiakan secara rinci
jalannya peristiwa lengkap dengan peran dan perilaku tokohnya. Peristiwa Pekepung sendiri dituliskan dalam
berbagai sumber sekunder dan memang peristiwa yang benar-benar terjadi. De
Graaf menyebut Pakepung adalah
gerakan pemurnian Islam (kembali kepada Quran dan Hadits). Tetapi sulit
diterima karena para santri masih menunjukkan Islam tradisional seperti
pemakaian jimat, rajah, dan ilmu kedigdayaan lainnya (Supariadi, 2001: 198). Peristiwa Pakepung juga disebut oleh Zulaikhah
(2011: 67) melalui penelitian yang dilakukannya juga menyebutkan bahwa
peristiwa Pakepung memang benar-benar
terjadi. Peristiwa ini merupakan upaya pengepungan Surakarta oleh tentara VOC,
Mangkunegaran, dan Yogyakarta. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh persoalan
politik dan keagamaan. Katno (2012: 8) juga menyatakan bahwa Babad Pakepung memang terjadi pada tahun
1790 terjadi peristiwa pakepung ketika PB
IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta.
Berdasarkan kutipan-kutipan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa Pakepung memang kejadian yang
benar-benar terjadi. Namun beberapa peneliti hanya menyebut tahun terjadinya
peristiwa tersebut dan tidak menunjukkan tanggal pasti terjadinya peristiwa
Pakepung. Menurut Ricklefs (2002: 524-525), peristiwa Pakepung hanya terjadi
beberapa hari.
Perselisihan Pakepung
berakhir dengan damai. Berikut inni merupakan kutipan tentang penangkapan
guru dalem yang menjadi akhir konflik Pakepung. Peristiwa ini terjadi pada hari
Jumat dengan pasaran Kliwon seperti kutipan Babad
Pakepung di bawah ini.
Pada hari Jumat Kliwon yang ditangkap di Sri
Manganti adalah Kandhuruhan dan Wiradigda oleh wedana jero. Panengah ditangkap
di Mandurarejan oleh mantri keparak yang dipimpin oleh Pangeran Buminata.
Nursaleh ditangkap di rumah Ordenas bersama-sama Bahman di rumah mantri Krapyak
Masaran, ditangkap oleh manteri Majegan, Bahman bergulung-gulung melawan,
kemudian dikeroyok dan akhirnya bisa ditangkap. Semuanya dapat ditangkap dan
diikat kemudian dibawa ke Purubayan (Babad
Pakepung, VIII:48-VIII:50).
Kutipan di atas menyebutkan bahwa guru dalem
ditangkap pada hari Jumat Kliwon, dan diserahkan kepada Pangeran Purbaya di
Purubayan. Ternyata hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang dsebutkan oleh
Ricklefs (2002: 524-525). Ricklefs menyebutkan bahwa pada tanggal 26 November
1890 M, para guru dalem ditangkap dan diserahkan kepada Purbaya untuk
diserahkan kepada Belanda. Setelah dikonversikan, ternyata tanggal 26 November
1890 M memang benar jatuh pada hari Jumat Kliwon. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa penyebutan waktu Jumat Kliwon oleh penulis Babad Pakepung adalah valid dan sesuai
dengan sumber sekunder.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Babad
Pakepung dapat dijadikan
sumber rujukan sejarah yang akurat, walaupun harus dirujuk dengan sumber-sumber
sejarah yang lain. Hal ini dikarenakan dalam Babad Pakepung tidak menyebutkan tanggal secara pasti untuk
beberapa peristiwa bersejarah. Namun setelah divalidasi dengan sumber yang
lain, hari yang disebutkan dalam Babad
Pakepung dapat dibuktikan kebenarannya.
2. Babad
Pakepung menuliskan
fakta-fakta dan rincian-rincian peristiwa secara runtut dan detail. Hal inilah
yang biasanya tidak ditemukan dalam dokumen-dokumen resmi sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Carey, P. 2009. Asal-Usul
Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh. Yogyakarta: LKiS.
Katno. 2012. Masa Keemasan Hukum Islam di Kasunanan
Surakarta. Surakarta: Artikel publikasi Program Studi Pemikiran Islam PPS
Universitas Muhammadiyah Surakarta (belum diterbitkan).
Margana, S. 2004.
Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muzaki, Muhammad Fikri.
2013. Keluarga dan Kedudukan di VOC
Batavia. diunduh dari http://wartasejarah.blogspot.co.id/2013/12/keluarga-dan-kedudukan-di-voc-batavia.html pada 16 Juni 2015.
Poerbatjaraka, R.M. Ng. 1957. Kapustakan
Djawi. Jakarta: Djambatan
Ricklefs, M. C. terj. Alkhatab, Setiyawati dan Hadikusumo, Hartono.
2002. Yogyakarta di Bawah Sultan
Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Matabangsa.
Supariadi. 2001. Kyai dan
Priyayi di Masa Transisi. Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra.
Wikipedia Ensiklopedi
Bebas. 2015. Dewan Hindia. diunduh
dari https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Hindia pada 15 Mei 2015.
Yasadipura II. tt. Babad Pakepung. Surakarta: manuskrip
klasik tidak diterbitkan.
Zulaihah, Siti. 2011.
Analisis Islamisasi di Kraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana
IV tentang Politik Islam). Surakarta: TAS FKIP UNS belum diterbitkan.
Belajar sejarah dari Babad. Biasanya babad ditulis dalam aksawa jawa ya, Bu?
ReplyDeleteIyaaa betul Mbak Surya.
Deleteartikelnya sangat bermanfaat untuk belajar sejarah...matur nuwun
ReplyDeleteSejarah memang menarik untuk dipelajari ... asal bukan sejarah dengan mantan. Hahahah
Delete