KONSTRUKSI GENDER DALAM PERMAINAN TRADISIONAL JAWA


A.   Folklor dan Nilai Positif Permainan Tradisional Jawa

Folklore (dalam arti luas, budaya rakyat tradisional dan populer) adalah ciptaan kelompok yang berorientasi dan berdasar pada tradisi kelompok atau individu yang mencerminkan harapan masyarakat sebagai ekspresi yang memadai untuk menunjukkan identitas budaya dan sosial, standar dan nilai-nilai yang ditransmisikan secara lisan, dengan peniruan atau dengan cara lain. Bentuknya meliputi, bahasa, sastra, musik, tari, permainan, mitologi, ritual, adat istiadat, kerajinan, arsitektur, dan seni lainnya (Ryan, 2013: 129-130). Berdasarkan definisi di atas, dapat digarisbawahi bahwa folklor merupakan salah satu sarana untuk membentuk identitas budaya dan sosial. Oleh karena itu, berdasarkan wujud folklor dalam suatu kolektif, dapat teridentifikasi konstruksi sosial budaya masyarakat pemangkunya.
Permainan tradisional Jawa merupakan salah satu wujud folklor yang populer dan banyak memperoleh perhatian para peneliti folklor di Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional Jawa sebagai indigenous knowledge mempunyai nilai-nilai positif yang cukup signifikan. Misalnya saja permainan engklek berdasarkan penelitian Iswinarti (2009), mempunyai fungsi terapiutik untuk deteksi dini masalah anak, perkembangan fisik, kesehatan mental, problem solving, dan nilai sosial. Demikian juga menurut Supriyadi (2011: 15-24) yang meneliti bahwa nyanyian dalam permainan tradisional mengandung nilai sosial dan didaktik seperti internalisasi mengenai kejujuran, keadilan, keberanian, dan lain-lain. Senada dengan hal itu Indrawati (2007) juga menemukan fakta yang sama bahwa dalam permainan tradisional Sunda terdapat nilai-nilai kearifan lokal seperti menghargai, disiplin, ulet, daya juang, dan lain-lain. Sejumlah penelitian di atas merupakan bukti bahwa pendapat Bishop dan Curtis bahwa permainan tradisional yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan permainan tersebut mengandung nilai “baik”, “positif”, “bernilai”, dan “diinginkan” (Iswinarti, 2009: 4).

B.   Permainan Tradisional Jawa dan Jejak Rekamnya dalam Tradisi Tulis

Selain ditularkan dari satu generasi ke generasi dengan cara lisan, permainan tradisional Jawa juga terekam secara tertulis dalam manuskrip-manuskrip Jawa. Manuskrip Jawa merupakan sumber orisinil yang memuat permainan tradisional Jawa yang lebih lengkap dibandingkan sumber yang lain. Mengingat pada masa sekarang ini, beberapa nama permainan tradisional Jawa saja sudah tidak dikenal oleh masyarakat modern. Apalagi jika ditanyakan tentang cara dan aturan permainannya. Sedangkan dalam sumber klasik tertulis, permainan tradisional Jawa masih termemori secara lengkap dan dapat digunakan sebagai sumber data yang representatif. Beberapa Berikut ini daftar inventarisasi manuskrip yang memuat permainan tradisional anak. Inventarisasi dilakukan melalui Katalog Behrend (1990) dan Katalog Perpustakaan FS UI (Behrend dan Pudjiastuti, 1997).

No.
Tempat Penyimpanan
Judul Manuskrip
Kode
1.     
Museum Sonobudoyo-Yogyakarta
Dolanan
F31
Dolanan Bocah
F32
Dolanan Driji
F9, F10
Dolanan Lare-Lare
F8
2.     
Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Dolanan Anak-Anak
LL5, LL88, LL 103, UR. 49-72
Dolanan Anak-Anak Banjarnegara
LL89
Dolanan Bocah-Bocah ing Klathen
UR22, UR23, UR24
Dolanan dan Lagu Anak-Anak
UK. 6a-b
Dolanan Lare-Lare Banyumas
UR7
Dolanan Peksi Mudha
LL92
Dolanan saha Lalagonipun Lare-Lare Kitha Surakarta
UR25, LL87
Dolanan Warni-Warni
UR9, UR10
Dolanan Wayah Padhang Rembulan
UR11, UR12
Dolanan Lare-Lare (Kutaarja)
BA128
Gendhing Dolanan
UR25
3.     
Perpustakaan Universitas Leiden-Belanda
Koleksi Naskah Timur Universitas Leiden
LOr 6684 dan LOr 8621

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa sumber tertulis mengenai permainan anak tradisional Jawa sebenarya cukup beragam. Salah satu jejak rekam tertulis mengenai permainan tradisional Jawa yang cukup lengkap terdapat dalam Naskah Dolanan Bocah kode F32, PB. E. 95 yang terdiri dari 346 halaman. Naskah ini digubah dalam bentuk prosa dan berisi cara memainkan 41 macam dolanan anak-anak, lengkap dengan ilustrasi sederhana, menggambarkan tiap permainan tersebut. Teks ini disusun oleh R. Ng. Mangunprawira (Behrend, 1990). Manuskrip ini merupakan salinan dari manuskrip lontar yang tersimpan sebagai koleksi naskah-naskah timur di Universitas Leiden Belanda. Berdasarkan kelengkapan pada teks tersebut, maka makalah ini akan menggunakan naskah tersebut sebagai sumber dalam pembahasan.

C.   Konstruksi Gender dalam Permainan

Permainan tradisional memang mempunyai nilai positif yang sudah diuraikan di atas, namun di balik itu ternyata beberapa permainan tradisional juga menyimpan konstruksi gender kadang tidak terekspose secara eksplisit. Bahkan konstruksi ini terkadang mengandung bias gender. Gender secara ringkas dedefinisikan sebagai “the socially constructed ways in which we live out our identity as males or females” ‘konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan apakah kita hidup sebagai lelaki atau perempuan’ (Claire, 2004: 13). Hidup sebagai lelaki atau perempuan seharusnya tidak boleh dibeda-bedakan. Senada dengan pendapat para feminis yang mempercayai bahwa “nobody should be disadvantaged because of their sex” ‘tidak seorang pun boleh dirugikan karena jenis kelamin mereka’ (Gheaus, 2012: 2). Terkait dengan gender, baik dalam permainan tradisional maupun modern, masih terdapat muatan yang mengarah kepada bias gender. Misalnya dalam penelitian mengenai permainan modern yang berupa game online dan video games, tokoh perempuan seringkali didudukkan sebagai korban yang lemah yang dilindungi atau diselamatkan oleh laki-laki yang kuat, serta memiliki tugas-attractivity rendah (McCroskey & McCain dalam Hartmann dan Klimmt, 2006). Selain itu, penggambaran visual tokoh perempuan cenderung menyoroti atribut fisik (misalnya, melalui pakaian) atau membesar-besarkan seksualitas perempuan (Beasley & Standley; Downs & Smith; Schleiner dalam Hartmann dan Klimmt, 2006). Selain dalam permainan modern, sejak masa lalu dalam permainan tradisional juga masih terdapat bias gender. Misalnya dalam permainan pasar-pasaran dan masak-masakan yang lekat dengan budaya patriarki. Karena dalam permainan ini lelaki selalu mengambil peran sebagai kepala rumah dan pembeli. Sedang perempuan sebagai orang yang memasak dan melayani pembeli.

D.   Konstruksi Gender dalam Naskah Dolanan Bocah

Berdasarkan hasil kajian, dalam Naskah Dolanan Bocah, masih terdapat konstruksi gender yang menempatkan anak perempuan dalam kungkungan konstruksi nilai sosial dan kultural. Nilai-nilai ini pada akhirnya menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan masyarakat (Kementerian UPW dalam Idrus, 2011). Konstruki sosial dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai konstruksi masyarakat mengenai peran lelaki dan perempuan. Pada masa naskah ini ditulis (diperkirakan sebelum tahun 40-an, tampaknya masih ada konstruksi kuat dari masyarakat yang membedakan fungsi dan peran lelaki dan perempuan yang akan dibahas dalam sub bab ini.
1.     Konstruksi Gender dalam Berpakaian
Berikut ini merupakan gambar pakaian anak lelaki dan perempuan dalam Naskah Dolanan Bocah:



Gambar 1 dan 2 adalah pakaian yang digunakan oleh anak-anak lelaki dalam bermain. Lelak memakai kaos atau bertelanjang dada serta memakai celana pendek. Sedangkan gambar 3 menunjukkan anak-anak perempuan memakai kebaya dan kain panjang. Rupanya konstruksi sosial ini pada masa sekarang ini sudah bergeser. Karena sekarang ini anak-anak perempuan juga seringkali menggunakan pakaian menyerupai anak lelaki dengan kaos dan celana pendek supaya praktis dalam pemakaian dan mempermudah gerak.
2.     Konstruksi Gender dalam Jenis Permainan
Berdasarkan kajian dalam Naskah Dolanan Bocah, terdapat 41 jenis permainan tradisional yaitu (1) Luru-luru Mundhu; (2) Bab Uncal, (3) Tandhu Gerit, (4) Kuwukan, (5) Gamparan, (6) Kauman, (7) Kothekan, (8) Benthik Sodor, (9) Benthik Cuthat, (10) Benthik Tamplek, (11) Gobag Sodor, (12) Gobag Bunder, (13) Klabangan, (14) Bab Andolani Lare Alit, (15) Tumbaran, (16) Kubuk, (17) Ki Lumpang Ki Lompong, (18), Jongji, (19) Lepetan, (20) Ketheklek, (21) Gangsingan, (22) Cem, (23) Uwok Bling, (24) Jamur Cepaki, (25) Uri-uri, (26) Bingkat, (27) Dhing, (28) Soyang-soyang, (29) Koning-koning, (30) Jagowan, (31) Gentha Lola, (32) Raton, (33) Luru-luru Widara, (34) Campur Bawur, (35) Plencung-plencungan, (36) Urap-urap Kembang, (37) Atur-atur, (38) Manuk-manuk Dipanah, (39) Sulur Kangkung Enet, (40) Embleg-embleg Duduhe Tape, (41) Rete-reta. Berikut ini sebaran permainan dalam naskah Dolanan Bocah sesuai dengan jenis kelamin anak.





Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa permainan untuk anak laki-laki lebih banyak daripada permainan untuk anak perempuan. Hal ini disebabkan anak laki-laki pada masa tersebut lebih banyak mempunyai waktu untuk bermain daripada anak perempuan. Misalnya ketika anak perempuan mengerjakan tugas domestik seperti mengasuh adik-adiknya, membantu memasak, dan lain-lain, pada waktu yang sama anak-anak lelaki menggembala atau mencari rumput untuk hewan ternak. Anak-anak lelaki ini bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam melakukan tugasnya, sehingga pada waktu menunggu hewan ternak selesai merumput atau sesudah mencari rumput untuk cadangan makanan ternak, anak-anak laki-laki bebas bermain dengan kawan-kawan sebayanya.  

3. Konstruksi Gender Bahwa Lelaki Lebih Kuat dan Agresif
Konstruksi gender juga dijumpai dalam jenis-jenis permainan yang dimainkan berdasarkan jenis kelamin anak menyebabkan adanya asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun (Idrus, 2011). Misalnya dalam permainan Kuwukan, Gobag Sodor, Gangsingan, dan Raton. Gambaran permainan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:



a.   Kuwukan
Disebutkan bahwa permainan-permainan tersebut di atas mayoritas dimainkan oleh anak lelaki saja. Permainan ini dimainkan dengan cara sekelompok anak lelaki berpegangan tangan menjaga agar kuwuk tidak masuk ke dalam lingkaran sehingga tidak memakan ayam yang berada di dalam. Setelah sekuat tenaga menjaga, namun kuwuk tetap meringsek masuk, maka ayam akan berlari dan kemudian akan bersembunyi. Jika tempat persembunyian diketahui oleh kuwuk, dan ayam harus berlari agar tidak tertangkap. Permainan ini disebutkan selalu dimainkan oleh laki-laki karena memerlukan tenaga yang besar untuk memainkannya. Anak-anak perempuan dianggap terlalu lemah untuk memainkan permainan ini.
b.   Gobag Sodor
Permainan ini juga dianggap hanya mampu dimainkan oleh anak laki-laki karena memerlukan energi besar. Pemainnya harus dinamis bergerak agar pintunya tidak dilewati lawan. Anggapan bahwa permainan ini hanya bisa dimainkan oleh anak laki-laki, bahkan pada akhirnya melahirkan permainan baru yang disebut dengan Gobag Bunder. Permainan ini tidak memerlukan tenaga yang begitu besar karena bentuk lapangannya berbeda dengan permainan Gobag Sodor. Perbedaannya dapat dilihat dalam gambar berikut ini.



c. Raton
Permainan raton juga diperuntukkan bagi anak laki-laki. Pada permainan ini pemain dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing kelompok mempunyai seorang raja dan lainnya berperang sebagai prajurit. Masing-masing prajurit akan berperang untuk mempertahankan dan melindungi raja serta kerajaannya. Anak perempuan dianggap tidak mampu dan tidak menyukai permainan ini karena memerlukan tenaga fisik yang kuat dan mengharuskan kontak fisik antarpemain. Melalui permainan ini secara tidak langsung juga ditanamkan dan terkonstruksi anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi prajurit maupun ikut serta dalam suatu tata pemerintahan suatu negara.
d. Gangsingan
Permainan gangsingan juga dikatakan merupakan favorit anak laki-laki. Disebutkan bahwa dalam bermain gangsing juga membutuhkan energi besar, karena setiap melempar gangsing, disetarakan dengan mengangkat sebuah benda berat.

Permainan-permainan tradisional di atas, rata-rata dimainkan oleh anak laki-laki umur 8-14 tahun. Jadi dalam benak anak-anak ini, akan mencul stereotype kultural bahwa anak laki-laki lebih mampu melakukan pekerjaan berat dibandingkan dengan perempuan. Tampaknya unsur budaya dalam hal ini melalui permainan tradisional secara tidak langsung mempunyai peranan penting dalam mengkonstruksi perilaku agresif di kalangan anak. Setidaknya hal tersebut dapat dicermati dari paparan Berry, et al. bahwa budaya memainkan peranan penting dalam membentuk sikap agresif seseorang (Idrus, 2011).

4. Konstruksi Gender terhadap Perempuan
Konstruksi gender mengenai perempuan, baik secara psikologis maupun dalam tugas-tugasnya juga dapat dilihat dalam jenis-jenis permainan tradisional seperti di bawah ini.





  
a. Kauman
Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak perempuan yang berumur 8-12 tahun. Anak lelaki jarang memainkan permainan ini. Permainan ini termasuk jenis permainan yag santai dan tidak ramai. Malah biasanya anak-anak yang bermain Kauman pindah dari tanah pekarangan atau tanah lapang karena terganggu dengan suara anak-anak laki-laki yang memainkan jenis permainan lain yang lebih seru. Bahkan oleh anak laki-laki permainan ini sering disebut permainan dhemit ‘setan’ atau permainan mbisu ‘bisu’ karena dianggap tidak ramai atau tidak seru. Kauman biasanya dimainkan malam hari ketika bulan purnama karena pada waktu siang hari anak-anak perempuan di pedesaan harus menjalankan kewajibannya masing-masing, seperti mengasuh adiknya yang masih kecil, bekerja di ondernemeng, atau membantu orang tua mereka di sawah. Anak perempuan banyak yang menyukai permainan ini karena tidak memerlukan gerakan fisik yang berat dan tidak menyebabkan pertengkaran dengan teman. Permainan ini sangat terkenal dan sering sekali dimainkan ketika tahun Ekan. Akan tetapi ketika memasuki tahun Belanda 1915 dan sesudahnya, permainan ini sudah jarang dimainkan karena keadaan zaman. Anak perempuan yang berumur 8-12 tahun sudah banyak yang harus bekerja, biasanya menjadi buruh orang Belanda.
b. Ki Lumpang dan Ki Lompong
Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan. Irama permainan ini lambat dan menggunakan lagu yang merdu. Permainan ini tidak dimainkan secara luas, hanya di daerah tertentu saja. Dimainkan pada pukul lima sore, atau pada waktu malam bulan purnama.
c. Luru-Luru Widara
Permainan ini merupakan favorit anak-anak perempuan sampai dengan umur 13 tahun. Hampir selalu dimainkan oleh anak-anak di malam hari ketika bulan purnama. Permainan ini merupakan gambaran cara menanam sampai memanen buah Widara. Permainan ini mengutamakan gerak dan lagu dan memuat ajaran untuk mencintai dan merawat tanaman.
d. Kothekan
Permainan ini disukai oleh anak perempuan dan laki-laki, bahkan orang dewasa. Kothekan biasanya dimainkan di desa yang penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Dimainkan pada malam hari pada bulan purnama, bersama dengan permainan lain yang dimainkan anak-anak. Untuk suka bangsa Jawa yang berprofesi sebagai petani, Kothekan merupakan permainan yang sangat indah dan menjadi favorit. Permainan ini dianggap sebagai identitas atau ciri khas suku bangsa Jawa.
e. Andolani Lare Alit
Andolani Lare Alit berarti mengajak bermain anak kecil. Gambar di atas menunjukkan seorang anak perempuan yang sedang mengasuh adiknya, dengan mengajaknya bermain Sluku-sluku Bathok.

Berdasarkan jenis permainan di atas, terdapat konstruksi gender bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Mereka memainkan permainan-permainan yang ringan dan tidak terlalu memerlukan banyak tenaga dan gerak fisik. Anak-anak perempuan juga cenderung mengalah jika kebetulan mereka datang terlebih dahulu dan kemudian terganggu oleh anak laki-laki yang bermain di tempat yang sama. Sifat mengalah anak-anak perempuan dimungkinan karena mereka merasa harus mengalah dengan anak laki-laki yang dalam kehidupan sosial ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Jenis permainan yang secara kultural dimainkan oleh anak perempuan seperti Kauman, Ki Lumpang Ki Lompong, Luru-luru Widara, Jamur Cepaki, Koning-Koning, Jagowan, Urap-urap Kembang Campur, Sulur Kangkung Enet, Uri-uri, dan lain-lain mempunyai karakteristik yang sama, yaitu menonjolkan gerak dan lagu. Sedangkan permainan untuk anak laki-laki mengutamakan gerak fisik, strategi, dan agresivitas. Hal ini sesuai dengan teori Kartono dalam Idrus (2011: 10) yang menyebutkan bahwa perempuan lebih bersifat emosional dan cenderung menyalurkan agresivitasnya secara (verbal).
Pada permainan Kothekan, konstruksi gender juga tampak. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

 
Pada gambar di atas terlihat adanya pembagian peran yang dikonstruksikan secara kultural. Laki-laki dianggap lebih kuat dan bertenaga sehingga laki-laki yang memegang lesung (alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu). Sedangkan wanita melakukan pekerjaan yang lebih ringan dan tidak membutuhkan tenaga ekstra, yaitu membersihkan beras hasil tumbukan laki-laki. Pembagian peran ini berlangsung secara terus menerus sehingga tidak mengherankan jika perempuan selalu berfikir bahwa mereka tidak mampu dan terlalu lemah untuk menggantikan pekerjaan laki-laki. Walaupun mereka mampu pun atau terpaksa melakukannya, perempuan akan berfikir bahwa mereka tidak akan melakukannya sebaik pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.
Adanya konstruksi gender dalam permainan tradisional juga tampak dalam permainan Andolani Lare Alit. Pada permainan ini tampak bahwa dari semua jenis permainan Andolani Lare Alit yang terdiri dari permainan Melihat Bulan Purnama, Mendendangkan Lagu untuk Bayi, Memandikan Anak, Mengasuh Adik, Bermain Bandhulan Bayi, dan Bermain Bandhulan Kayu semuanya dilakukan oleh perempuan. Contoh-contoh dalam gambar juga dilakukan oleh perempuan seperti terlihat dalam di bawah ini:


























Sejak dini, anak-anak perempuan dikonstruksikan untuk melakukan tugas-tugas domestik, sementara anak-anak laki-laki melakukan tugas di luar rumah. Anak perempuan harus membantu mencuci, memasak, mengurus adik-adiknya, dan lain-lain. Pada gambar-gambar permainan dalam mengasuh anak di atas, juga terlihat bahwa perempuan lah yang harus melakukan tugas domestik dan pengasuhan anak. Tidak ada gambar seorang bapak yang memandikan maupun menggendong anaknya. Gambaran yang tampak dalam teks Naskah Dolanan Bocah ini merupakan cerminan adanya pola asuh yang bias gender. Pola asuh yang masih terpengaruh pada budaya patriarki yang membedakan peran antara anak laki-laki dan perempuan. Perempuan pada masa naskah tersebut ditulis, sejak dini diberikan pilihan tugas-tugas rumah tangga sedangkan laki-laki lebih bebas bermain di luar rumah. Perbedaan fundamental dari kategori biologis antara laki-laki dan perempuan memang sesuatu yang nyata, tetapi pada tingkat sosiokultural, perbedaan fundamental tersebut seolah-olah diterima sebagai sesuatu yang benar dan lazim. Bahkan jika perbedaan itu juga diterapkan di tingkat sosiokultural, yang akan terjadi adalah distorsi, bias, atau bahkan ketimpangan dan ketidakadilan (Noerhadi dalam Putraningsih  2013: 2).

E. PENUTUP

Konstruksi gender masih tampak dalam Naskah Dolanan Bocah. Konstruksi tersebut membentuk konstruksi gender secara kultural melalui permainan tradisional anak bahwa perempuan secara fisik lebih lemah daripada laki-laki, cenderung mengalah, menghindari konflik, lebih menyukai ekspresi dalam bentuk verbal seperti kata-kata dan lagu. Lebih menyukai gerak tari dan irama daripada gerak fisik yang keras. Anak perempuan dikonstruksikan untuk memilih permainan yang berbentuk tarian, lagu, berirama pelan, lembut, dan tidak membutuhkan banyak tenaga. Jumlah permainannya pun lebih sedikit dan kurang variatif jika dibadingkan dengan permainan anak lelaki. Melalui naskah ini juga diajarkan bahwa anak perempuan harus pandai dalam mengurus tugas-tugas rumah tangga sebagai bentuk pembagian peran dalam konstruksi gender yang secara kultural mewariskan nilai-nilai patriarki yang menempatkan anak perempuan dan lelaki dalam posisi yang timpang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Naskah Dolanan Bocah Klaten. tt. Transliterasi Manuskrip Jawa Kode F 32 Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Behrend dan Pudjiastuti, T. E. dan Titik. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A dan B: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, T. E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I. Jakarta: Djambatan.
Claire, Hilary (pnyt). 2004. Gender in Education 3-19: a Fresh Approach. Association of Teachers and Lecturers. http://www.atl.org.uk/Images/Gender%20in%20education%203-19.pdf. diunduh pada 24 Februari 2013 pukul 18:55.
Gheaus, Anca. 2012. Gender Justice. Journal Of Ethics & Social Philosophy. Vol. 6, No. 1, January 2012: 1-24. http://www.jesp.org/PDF/gender_justice_finalized.pdf. diunduh pada 22 Januari 2013 pukul 15:24.
Hartmann, T., and Klimmt, C. (2006). Gender and Computer Games: Exploring Females Dislikes. Journal of Computer-Mediated Communication, 11(4), article 2. diunduh dari http://jcmc.indiana.edu/vol11/issue4/hartmann.html. pada 2 Mei 2013.
Idrus, Muhamad. 2011. Konstruksi Gender dalam Budaya hal. 1-13 diunduh dari http://kajian.uii.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/GENDER.pdf. pada 9 Mei 2013.
Indrawati, Siti Wuryan. 2007. Identifikasi Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Permainan Tradisional Etnis Sunda, diunduh dari http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/134/identifikasi-nilai-nilai-kearifan-lokal-(local-wisdom) pada 21 April 2013.
Iswinarti, 2009. Nilai-Nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek pada Anak Usia Sekolah Dasar, hal. 1-16 diunduh dari http://research-report.umm.ac.id/index.php/research-report/article/view/238 pada 21 April 2013.
Putraningsih, Titik. 2013. Pertunjukan Tari: Sebuah Kajian Perspektif Gender, hal. 1-15 , diunduh dari http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian /Titik%20Putraningsih pada 2 Mei 2013.
Ryan, J. S. 2013. Australian Folklore Yesterday and Today: Definitions and Practices, hal. 127-134 diunduh dari http://www.folklore.ee/folklore/vol8/pdf/ aflore.pdf pada 10 Mei 2013
Supriyadi. 2011. Nilai Didaktik Nyanyian Permainan Anak-Anak Sapeken Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep (Analisis Folklor) dalam Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011 15-24 diunduh dari  http://www.thedigilib.com/doc/48811-nilai-didaktik-nyanyian, pada 1 Mei 2013.








Comments

  1. Waaaah, permainan tradisionalpun ada intensi konstruksi gendernya ya, Bu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata begitu. Sejak kecil sudah ada bias gendernya.

      Delete
  2. artikelnya bagus...kajian saya baru sampai memaknai tembang dan penanaman karakter pada anak melalui tembang dolanan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NASKAH DAN BAHAN NASKAH JAWA

KONTEKSTUALISASI HISTORIS BABAD PAKEPUNG: UPAYA PENEMPATAN BABAD SEBAGAI SUMBER SEJARAH REPRESENTATIF

REVITALISASI DAN REAKTUALISASI MAKANAN TRADISIONAL JAWA DALAM SERAT CENTHINI