KONSTRUKSI GENDER DALAM PERMAINAN TRADISIONAL JAWA
A. Folklor dan Nilai Positif Permainan Tradisional Jawa
Folklore
(dalam arti luas, budaya rakyat tradisional dan populer) adalah ciptaan
kelompok yang berorientasi dan berdasar pada tradisi kelompok atau individu
yang mencerminkan harapan masyarakat sebagai ekspresi yang memadai untuk
menunjukkan identitas budaya dan sosial, standar dan nilai-nilai yang
ditransmisikan secara lisan, dengan peniruan atau dengan cara lain. Bentuknya
meliputi, bahasa, sastra, musik, tari, permainan, mitologi, ritual, adat
istiadat, kerajinan, arsitektur, dan seni lainnya (Ryan, 2013: 129-130).
Berdasarkan definisi di atas, dapat digarisbawahi bahwa folklor merupakan salah
satu sarana untuk membentuk identitas budaya dan sosial. Oleh karena itu,
berdasarkan wujud folklor dalam suatu kolektif, dapat teridentifikasi
konstruksi sosial budaya masyarakat pemangkunya.
Permainan
tradisional Jawa merupakan salah satu wujud folklor yang populer dan banyak
memperoleh perhatian para peneliti folklor di Indonesia. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional
Jawa sebagai indigenous knowledge mempunyai nilai-nilai positif yang
cukup signifikan. Misalnya saja permainan engklek berdasarkan penelitian
Iswinarti (2009), mempunyai fungsi terapiutik untuk deteksi dini masalah
anak, perkembangan fisik, kesehatan mental, problem
solving, dan nilai sosial. Demikian juga menurut Supriyadi (2011: 15-24)
yang meneliti bahwa nyanyian dalam permainan tradisional mengandung nilai
sosial dan didaktik seperti internalisasi mengenai kejujuran, keadilan,
keberanian, dan lain-lain. Senada dengan hal itu Indrawati (2007) juga
menemukan fakta yang sama bahwa dalam permainan tradisional Sunda terdapat
nilai-nilai kearifan lokal seperti menghargai, disiplin, ulet, daya juang, dan
lain-lain. Sejumlah penelitian di atas merupakan bukti bahwa pendapat Bishop
dan Curtis bahwa permainan
tradisional yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
dengan permainan tersebut mengandung nilai “baik”, “positif”, “bernilai”, dan
“diinginkan” (Iswinarti, 2009: 4).
B. Permainan Tradisional Jawa dan Jejak Rekamnya dalam Tradisi Tulis
Selain
ditularkan dari satu generasi ke generasi dengan cara lisan, permainan
tradisional Jawa juga terekam secara tertulis dalam manuskrip-manuskrip Jawa.
Manuskrip Jawa merupakan sumber orisinil yang memuat permainan tradisional Jawa
yang lebih lengkap dibandingkan sumber yang lain. Mengingat pada masa sekarang
ini, beberapa nama permainan tradisional Jawa saja sudah tidak dikenal oleh
masyarakat modern. Apalagi jika ditanyakan tentang cara dan aturan
permainannya. Sedangkan dalam sumber klasik tertulis, permainan tradisional
Jawa masih termemori secara lengkap dan dapat digunakan sebagai sumber data
yang representatif. Beberapa Berikut ini daftar inventarisasi manuskrip yang
memuat permainan tradisional anak. Inventarisasi dilakukan melalui Katalog
Behrend (1990) dan Katalog Perpustakaan FS UI (Behrend dan Pudjiastuti, 1997).
No.
|
Tempat
Penyimpanan
|
Judul Manuskrip
|
Kode
|
1.
|
Museum Sonobudoyo-Yogyakarta
|
Dolanan
|
F31
|
Dolanan Bocah
|
F32
|
||
Dolanan Driji
|
F9, F10
|
||
Dolanan Lare-Lare
|
F8
|
||
2.
|
Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas
|
Dolanan Anak-Anak
|
LL5, LL88, LL 103,
|
Dolanan Anak-Anak Banjarnegara
|
LL89
|
||
Dolanan Bocah-Bocah ing Klathen
|
UR22, UR23, UR24
|
||
Dolanan dan Lagu Anak-Anak
|
|||
Dolanan Lare-Lare Banyumas
|
UR7
|
||
Dolanan Peksi Mudha
|
LL92
|
||
Dolanan saha Lalagonipun Lare-Lare Kitha Surakarta
|
UR25, LL87
|
||
Dolanan Warni-Warni
|
UR9, UR10
|
||
Dolanan Wayah Padhang Rembulan
|
UR11, UR12
|
||
Dolanan Lare-Lare (Kutaarja)
|
BA128
|
||
Gendhing Dolanan
|
UR25
|
||
3.
|
Perpustakaan Universitas Leiden-Belanda
|
Koleksi Naskah Timur Universitas
|
LOr 6684 dan LOr 8621
|
Berdasarkan data di atas, dapat
diketahui bahwa sumber tertulis mengenai permainan anak tradisional Jawa
sebenarya cukup beragam. Salah satu jejak rekam tertulis mengenai permainan
tradisional Jawa yang cukup lengkap terdapat dalam Naskah Dolanan Bocah kode F32, PB. E. 95 yang terdiri dari 346
halaman. Naskah ini digubah dalam bentuk prosa dan berisi cara memainkan 41
macam dolanan anak-anak, lengkap dengan ilustrasi sederhana, menggambarkan tiap
permainan tersebut. Teks ini disusun oleh R. Ng. Mangunprawira (Behrend, 1990).
Manuskrip ini merupakan salinan dari manuskrip lontar yang tersimpan sebagai
koleksi naskah-naskah timur di Universitas Leiden Belanda. Berdasarkan
kelengkapan pada teks tersebut, maka makalah ini akan menggunakan naskah
tersebut sebagai sumber dalam pembahasan.
C. Konstruksi Gender dalam Permainan
Permainan tradisional memang mempunyai
nilai positif yang sudah diuraikan di atas, namun di balik itu ternyata
beberapa permainan tradisional juga menyimpan konstruksi gender kadang tidak terekspose
secara eksplisit. Bahkan konstruksi ini terkadang mengandung bias gender. Gender
secara ringkas dedefinisikan sebagai “the
socially constructed ways in which we live out our identity as males or
females” ‘konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan apakah kita hidup
sebagai lelaki atau perempuan’ (Claire, 2004: 13). Hidup sebagai lelaki atau
perempuan seharusnya tidak boleh dibeda-bedakan. Senada dengan pendapat para
feminis yang mempercayai bahwa “nobody
should be disadvantaged because of their sex” ‘tidak seorang pun boleh
dirugikan karena jenis kelamin mereka’ (Gheaus, 2012: 2). Terkait dengan
gender, baik dalam permainan tradisional maupun modern, masih terdapat muatan
yang mengarah kepada bias gender. Misalnya dalam penelitian mengenai permainan
modern yang berupa game online dan video games, tokoh perempuan seringkali
didudukkan sebagai korban yang lemah yang dilindungi atau diselamatkan oleh
laki-laki yang kuat, serta memiliki tugas-attractivity
rendah (McCroskey & McCain dalam Hartmann dan Klimmt, 2006). Selain itu,
penggambaran visual tokoh perempuan cenderung menyoroti atribut fisik
(misalnya, melalui pakaian) atau membesar-besarkan seksualitas perempuan (Beasley
& Standley; Downs & Smith; Schleiner dalam Hartmann dan Klimmt, 2006).
Selain dalam permainan modern, sejak masa lalu dalam permainan tradisional juga
masih terdapat bias gender. Misalnya dalam permainan pasar-pasaran dan masak-masakan
yang lekat dengan budaya patriarki. Karena dalam permainan ini lelaki
selalu mengambil peran sebagai kepala rumah dan pembeli. Sedang perempuan
sebagai orang yang memasak dan melayani pembeli.
D. Konstruksi Gender dalam Naskah Dolanan Bocah
Berdasarkan hasil kajian, dalam Naskah Dolanan Bocah, masih terdapat konstruksi
gender yang menempatkan anak perempuan dalam kungkungan konstruksi nilai sosial
dan kultural. Nilai-nilai ini pada akhirnya menentukan peranan perempuan dan
laki-laki dalam kehidupan pribadi dan masyarakat (Kementerian UPW dalam Idrus,
2011). Konstruki sosial dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai konstruksi
masyarakat mengenai peran lelaki dan perempuan. Pada masa naskah ini ditulis
(diperkirakan sebelum tahun 40-an, tampaknya masih ada konstruksi kuat dari
masyarakat yang membedakan fungsi dan peran lelaki dan perempuan yang akan
dibahas dalam sub bab ini.
1. Konstruksi
Gender dalam Berpakaian
Berikut ini merupakan gambar pakaian anak lelaki dan perempuan
dalam Naskah Dolanan Bocah:
Gambar
1 dan 2 adalah pakaian yang digunakan oleh anak-anak lelaki dalam bermain.
Lelak memakai kaos atau bertelanjang dada serta memakai celana pendek.
Sedangkan gambar 3 menunjukkan anak-anak perempuan memakai kebaya dan kain
panjang. Rupanya konstruksi sosial ini pada masa sekarang ini sudah bergeser.
Karena sekarang ini anak-anak perempuan juga seringkali menggunakan pakaian
menyerupai anak lelaki dengan kaos dan celana pendek supaya praktis dalam
pemakaian dan mempermudah gerak.
2. Konstruksi
Gender dalam Jenis Permainan
Berdasarkan kajian dalam Naskah
Dolanan Bocah, terdapat 41 jenis permainan tradisional yaitu (1) Luru-luru Mundhu; (2) Bab Uncal, (3) Tandhu Gerit, (4)
Kuwukan, (5) Gamparan, (6) Kauman, (7) Kothekan, (8) Benthik Sodor, (9) Benthik
Cuthat, (10) Benthik Tamplek, (11) Gobag Sodor, (12) Gobag Bunder, (13)
Klabangan, (14) Bab Andolani Lare Alit, (15) Tumbaran, (16) Kubuk, (17) Ki
Lumpang Ki Lompong, (18), Jongji, (19) Lepetan, (20) Ketheklek, (21)
Gangsingan, (22) Cem, (23) Uwok Bling, (24) Jamur Cepaki, (25) Uri-uri, (26)
Bingkat, (27) Dhing, (28) Soyang-soyang, (29) Koning-koning, (30) Jagowan, (31)
Gentha Lola, (32) Raton, (33) Luru-luru Widara, (34) Campur Bawur, (35)
Plencung-plencungan, (36) Urap-urap Kembang, (37) Atur-atur, (38) Manuk-manuk
Dipanah, (39) Sulur Kangkung Enet, (40) Embleg-embleg Duduhe Tape, (41)
Rete-reta. Berikut ini sebaran permainan dalam naskah Dolanan Bocah sesuai dengan jenis kelamin anak.
Berdasarkan diagram di atas, dapat
disimpulkan bahwa permainan untuk anak laki-laki lebih banyak daripada
permainan untuk anak perempuan. Hal ini disebabkan anak laki-laki pada masa
tersebut lebih banyak mempunyai waktu untuk bermain daripada anak perempuan.
Misalnya ketika anak perempuan mengerjakan tugas domestik seperti mengasuh
adik-adiknya, membantu memasak, dan lain-lain, pada waktu yang sama anak-anak
lelaki menggembala atau mencari rumput untuk hewan ternak. Anak-anak lelaki ini
bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam melakukan tugasnya, sehingga pada
waktu menunggu hewan ternak selesai merumput atau sesudah mencari rumput untuk
cadangan makanan ternak, anak-anak laki-laki bebas bermain dengan kawan-kawan
sebayanya.
3.
Konstruksi Gender Bahwa Lelaki Lebih Kuat dan Agresif
Konstruksi gender juga dijumpai
dalam jenis-jenis permainan yang dimainkan berdasarkan jenis kelamin anak
menyebabkan adanya asumsi yang
memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi
laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya
assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama,
bergerak di sektor publik, kurang tekun (Idrus, 2011). Misalnya dalam permainan
Kuwukan, Gobag Sodor, Gangsingan, dan
Raton. Gambaran permainan dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
a. Kuwukan
Disebutkan bahwa
permainan-permainan tersebut di atas mayoritas dimainkan oleh anak lelaki saja.
Permainan ini dimainkan dengan cara sekelompok anak lelaki berpegangan tangan
menjaga agar kuwuk tidak masuk ke
dalam lingkaran sehingga tidak memakan ayam yang berada di dalam. Setelah
sekuat tenaga menjaga, namun kuwuk tetap
meringsek masuk, maka ayam akan berlari dan kemudian akan bersembunyi. Jika
tempat persembunyian diketahui oleh kuwuk,
dan ayam harus berlari agar tidak tertangkap. Permainan ini disebutkan
selalu dimainkan oleh laki-laki karena memerlukan tenaga yang besar untuk
memainkannya. Anak-anak perempuan dianggap terlalu lemah untuk memainkan
permainan ini.
b. Gobag Sodor
Permainan ini juga
dianggap hanya mampu dimainkan oleh anak laki-laki karena memerlukan energi
besar. Pemainnya harus dinamis bergerak agar pintunya tidak dilewati lawan. Anggapan
bahwa permainan ini hanya bisa dimainkan oleh anak laki-laki, bahkan pada akhirnya
melahirkan permainan baru yang disebut dengan Gobag Bunder. Permainan ini tidak memerlukan tenaga yang begitu
besar karena bentuk lapangannya berbeda dengan permainan Gobag Sodor. Perbedaannya dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
c. Raton
Permainan raton juga diperuntukkan bagi anak
laki-laki. Pada permainan ini pemain dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing
kelompok mempunyai seorang raja dan lainnya berperang sebagai prajurit.
Masing-masing prajurit akan berperang untuk mempertahankan dan melindungi raja
serta kerajaannya. Anak perempuan dianggap tidak mampu dan tidak menyukai
permainan ini karena memerlukan tenaga fisik yang kuat dan mengharuskan kontak
fisik antarpemain. Melalui permainan ini secara tidak langsung juga ditanamkan
dan terkonstruksi anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi prajurit maupun
ikut serta dalam suatu tata pemerintahan suatu negara.
d. Gangsingan
Permainan gangsingan
juga dikatakan merupakan favorit anak laki-laki. Disebutkan bahwa dalam bermain
gangsing juga membutuhkan energi besar, karena setiap melempar gangsing,
disetarakan dengan mengangkat sebuah benda berat.
Permainan-permainan
tradisional di atas, rata-rata dimainkan oleh anak laki-laki umur 8-14 tahun.
Jadi dalam benak anak-anak ini, akan mencul stereotype
kultural bahwa anak laki-laki lebih mampu melakukan pekerjaan berat
dibandingkan dengan perempuan. Tampaknya unsur budaya dalam hal ini melalui
permainan tradisional secara tidak langsung mempunyai peranan penting dalam mengkonstruksi
perilaku agresif di kalangan anak. Setidaknya hal tersebut dapat dicermati dari
paparan Berry, et al. bahwa budaya memainkan peranan penting dalam membentuk
sikap agresif seseorang (Idrus, 2011).
4. Konstruksi Gender terhadap Perempuan
Konstruksi gender
mengenai perempuan, baik secara psikologis maupun dalam tugas-tugasnya juga
dapat dilihat dalam jenis-jenis permainan tradisional seperti di bawah ini.
a. Kauman
Permainan
ini biasanya dimainkan oleh anak-anak perempuan yang berumur 8-12 tahun. Anak
lelaki jarang memainkan permainan ini. Permainan ini termasuk jenis permainan
yag santai dan tidak ramai. Malah biasanya anak-anak yang bermain Kauman pindah dari tanah pekarangan atau
tanah lapang karena terganggu dengan suara anak-anak laki-laki yang memainkan
jenis permainan lain yang lebih seru. Bahkan oleh anak laki-laki permainan ini
sering disebut permainan dhemit ‘setan’
atau permainan mbisu ‘bisu’ karena
dianggap tidak ramai atau tidak seru. Kauman
biasanya dimainkan malam hari ketika bulan purnama karena pada waktu siang
hari anak-anak perempuan di pedesaan harus menjalankan kewajibannya
masing-masing, seperti mengasuh adiknya yang masih kecil, bekerja di ondernemeng, atau membantu orang tua
mereka di sawah. Anak perempuan banyak yang menyukai permainan ini karena tidak
memerlukan gerakan fisik yang berat dan tidak menyebabkan pertengkaran dengan
teman. Permainan ini sangat terkenal dan sering sekali dimainkan ketika tahun Ekan. Akan tetapi ketika memasuki tahun
Belanda 1915 dan sesudahnya, permainan ini sudah jarang dimainkan karena
keadaan zaman. Anak perempuan yang berumur 8-12 tahun sudah banyak yang harus
bekerja, biasanya menjadi buruh orang Belanda.
b. Ki Lumpang dan Ki Lompong
Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan.
Irama permainan ini lambat dan menggunakan lagu yang merdu. Permainan ini tidak
dimainkan secara luas, hanya di daerah tertentu saja. Dimainkan pada pukul lima
sore, atau pada waktu malam bulan purnama.
c. Luru-Luru Widara
Permainan ini merupakan favorit anak-anak perempuan
sampai dengan umur 13 tahun. Hampir selalu dimainkan oleh anak-anak di malam
hari ketika bulan purnama. Permainan ini merupakan gambaran cara menanam sampai
memanen buah Widara. Permainan ini mengutamakan gerak dan lagu dan memuat
ajaran untuk mencintai dan merawat tanaman.
d. Kothekan
Permainan ini disukai oleh anak perempuan dan
laki-laki, bahkan orang dewasa. Kothekan biasanya
dimainkan di desa yang penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Dimainkan
pada malam hari pada bulan purnama, bersama dengan permainan lain yang
dimainkan anak-anak. Untuk suka bangsa Jawa yang berprofesi sebagai petani, Kothekan merupakan permainan yang sangat
indah dan menjadi favorit. Permainan ini dianggap sebagai identitas atau ciri
khas suku bangsa Jawa.
e. Andolani Lare Alit
Andolani Lare Alit berarti mengajak bermain anak kecil. Gambar di atas menunjukkan seorang
anak perempuan yang sedang mengasuh adiknya, dengan mengajaknya bermain Sluku-sluku Bathok.
Berdasarkan jenis
permainan di atas, terdapat konstruksi gender bahwa perempuan lebih lemah
daripada laki-laki. Mereka memainkan permainan-permainan yang ringan dan tidak
terlalu memerlukan banyak tenaga dan gerak fisik. Anak-anak perempuan juga
cenderung mengalah jika kebetulan mereka datang terlebih dahulu dan kemudian
terganggu oleh anak laki-laki yang bermain di tempat yang sama. Sifat mengalah
anak-anak perempuan dimungkinan karena mereka merasa harus mengalah dengan anak
laki-laki yang dalam kehidupan sosial ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi
daripada perempuan. Jenis permainan yang secara kultural dimainkan oleh anak
perempuan seperti Kauman, Ki Lumpang Ki
Lompong, Luru-luru Widara, Jamur Cepaki, Koning-Koning, Jagowan, Urap-urap Kembang
Campur, Sulur Kangkung Enet, Uri-uri, dan
lain-lain mempunyai karakteristik yang sama, yaitu menonjolkan gerak dan lagu.
Sedangkan permainan untuk anak laki-laki mengutamakan gerak fisik, strategi,
dan agresivitas. Hal ini sesuai dengan teori Kartono dalam Idrus (2011: 10) yang
menyebutkan bahwa perempuan lebih bersifat emosional dan cenderung menyalurkan agresivitasnya
secara (verbal).
Pada permainan Kothekan, konstruksi
gender juga tampak. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Pada gambar di atas terlihat adanya pembagian peran yang dikonstruksikan
secara kultural. Laki-laki dianggap lebih kuat dan bertenaga sehingga laki-laki
yang memegang lesung (alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu). Sedangkan
wanita melakukan pekerjaan yang lebih ringan dan tidak membutuhkan tenaga
ekstra, yaitu membersihkan beras hasil tumbukan laki-laki. Pembagian peran ini
berlangsung secara terus menerus sehingga tidak mengherankan jika perempuan
selalu berfikir bahwa mereka tidak mampu dan terlalu lemah untuk menggantikan
pekerjaan laki-laki. Walaupun mereka mampu pun atau terpaksa melakukannya,
perempuan akan berfikir bahwa mereka tidak akan melakukannya sebaik pekerjaan
yang dilakukan oleh laki-laki.
Adanya konstruksi gender dalam permainan tradisional juga tampak dalam
permainan Andolani Lare Alit. Pada
permainan ini tampak bahwa dari semua jenis permainan Andolani Lare Alit yang terdiri dari permainan Melihat Bulan Purnama, Mendendangkan Lagu untuk Bayi, Memandikan Anak,
Mengasuh Adik, Bermain Bandhulan Bayi, dan Bermain Bandhulan Kayu semuanya dilakukan oleh perempuan.
Contoh-contoh dalam gambar juga dilakukan oleh perempuan seperti terlihat dalam
di bawah ini:
Sejak dini, anak-anak
perempuan dikonstruksikan untuk melakukan tugas-tugas domestik, sementara
anak-anak laki-laki melakukan tugas di luar rumah. Anak perempuan harus
membantu mencuci, memasak, mengurus adik-adiknya, dan lain-lain. Pada
gambar-gambar permainan dalam mengasuh anak di atas, juga terlihat bahwa
perempuan lah yang harus melakukan tugas domestik dan pengasuhan anak. Tidak
ada gambar seorang bapak yang memandikan maupun menggendong anaknya. Gambaran
yang tampak dalam teks Naskah Dolanan
Bocah ini merupakan cerminan adanya pola asuh yang bias gender. Pola asuh
yang masih terpengaruh pada budaya patriarki yang membedakan peran antara anak
laki-laki dan perempuan. Perempuan pada masa naskah tersebut ditulis, sejak
dini diberikan pilihan tugas-tugas rumah tangga sedangkan laki-laki lebih bebas
bermain di luar rumah. Perbedaan fundamental dari kategori biologis antara
laki-laki dan perempuan memang sesuatu yang nyata, tetapi pada tingkat
sosiokultural, perbedaan fundamental tersebut seolah-olah diterima sebagai
sesuatu yang benar dan lazim. Bahkan jika perbedaan itu juga diterapkan di
tingkat sosiokultural, yang akan terjadi adalah distorsi, bias, atau bahkan
ketimpangan dan ketidakadilan (Noerhadi dalam Putraningsih 2013: 2).
E. PENUTUP
Konstruksi gender masih tampak dalam Naskah Dolanan Bocah. Konstruksi tersebut membentuk konstruksi
gender secara kultural melalui permainan tradisional anak bahwa perempuan secara
fisik lebih lemah daripada laki-laki, cenderung mengalah, menghindari konflik,
lebih menyukai ekspresi dalam bentuk verbal seperti kata-kata dan lagu. Lebih
menyukai gerak tari dan irama daripada gerak fisik yang keras. Anak perempuan
dikonstruksikan untuk memilih permainan yang berbentuk tarian, lagu, berirama
pelan, lembut, dan tidak membutuhkan banyak tenaga. Jumlah permainannya pun
lebih sedikit dan kurang variatif jika dibadingkan dengan permainan anak
lelaki. Melalui naskah ini juga diajarkan bahwa anak perempuan harus pandai
dalam mengurus tugas-tugas rumah tangga sebagai bentuk pembagian peran dalam
konstruksi gender yang secara kultural mewariskan nilai-nilai patriarki yang
menempatkan anak perempuan dan lelaki dalam posisi yang timpang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Naskah Dolanan Bocah Klaten. tt.
Transliterasi Manuskrip Jawa Kode F 32 Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Behrend dan
Pudjiastuti, T. E. dan Titik. 1997. Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A dan B: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, T. E.
1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I. Jakarta: Djambatan.
Claire, Hilary (pnyt). 2004. Gender
in Education 3-19: a Fresh Approach. Association of Teachers and Lecturers. http://www.atl.org.uk/Images/Gender%20in%20education%203-19.pdf.
diunduh pada 24 Februari 2013 pukul 18:55.
Gheaus, Anca. 2012. Gender Justice. Journal Of Ethics & Social
Philosophy. Vol. 6, No. 1,
January 2012: 1-24. http://www.jesp.org/PDF/gender_justice_finalized.pdf.
diunduh pada 22 Januari 2013 pukul 15:24.
Hartmann, T., and
Klimmt, C. (2006). Gender and Computer Games: Exploring Females Dislikes. Journal of Computer-Mediated Communication,
11(4), article 2. diunduh dari http://jcmc.indiana.edu/vol11/issue4/hartmann.html.
pada 2 Mei 2013.
Idrus, Muhamad. 2011. Konstruksi Gender dalam Budaya hal. 1-13
diunduh dari http://kajian.uii.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/GENDER.pdf. pada 9 Mei 2013.
Indrawati, Siti
Wuryan. 2007. Identifikasi Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam
Permainan Tradisional Etnis Sunda, diunduh dari http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/134/identifikasi-nilai-nilai-kearifan-lokal-(local-wisdom) pada 21 April 2013.
Iswinarti, 2009. Nilai-Nilai Terapiutik
Permainan Tradisional Engklek pada Anak Usia Sekolah Dasar, hal. 1-16
diunduh dari http://research-report.umm.ac.id/index.php/research-report/article/view/238
pada 21 April 2013.
Putraningsih, Titik. 2013. Pertunjukan Tari: Sebuah Kajian Perspektif
Gender, hal. 1-15 , diunduh dari http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian
/Titik%20Putraningsih pada 2 Mei 2013.
Ryan, J. S. 2013. Australian Folklore Yesterday and Today: Definitions and Practices, hal.
127-134 diunduh dari http://www.folklore.ee/folklore/vol8/pdf/
aflore.pdf pada 10 Mei 2013
Supriyadi. 2011. Nilai Didaktik Nyanyian
Permainan Anak-Anak Sapeken Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep (Analisis
Folklor) dalam Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011 15-24 diunduh dari http://www.thedigilib.com/doc/48811-nilai-didaktik-nyanyian, pada 1 Mei 2013.
Waaaah, permainan tradisionalpun ada intensi konstruksi gendernya ya, Bu.
ReplyDeleteTernyata begitu. Sejak kecil sudah ada bias gendernya.
Deleteartikelnya bagus...kajian saya baru sampai memaknai tembang dan penanaman karakter pada anak melalui tembang dolanan
ReplyDeleteAyo nulis bareng Mbak.
Delete