PERUBAHAN SISTEM PEMBELAJARAN AKSARA JAWA

A. Pendahuluan
Aksara merupakan suatu hasil budaya
yang mempunyai arti penting dalam perkembangan kehidupan manusia (Hardiati,
2002: 1). Sejak dikenalnya aksara, manusia seolah-olah terlepas dari
keterikatan antara batas waktu dan tempat untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya. Pengenalan tradisi tulis membuka suatu era baru kehidupan manusia
yang disebut era sejarah. Melalui teks-teks tertulis, dapat diungkap pikiran
dan gagasan manusia dalam segala bidang kehidupan, baik ilmu pengetahuan,
ekonomi, sosial, maupun agama, sehingga menjadi catatan penting yang dapat
dipelajari untuk mengenal tingkat peradaban suatu bangsa (Sedyawati, 2001:
199).
Suku bangsa
Jawa merupakan salah satu suku yang maju dalam peradaban karena sudah mengenal
aksara. Suku bangsa Jawa diperkirakan sudah memiliki tradisi tulis sejak tahun
700 M (Riyadi, 1996: 15). Tradisi tulis ini semakin berkembang, dan akhirnya
menghasilkan aksara Jawa yang sekarang ini dikenal dengan nama carakan. Seperti juga dengan
aksara-aksara daerah, keberadaan aksara Jawa semakin tergusur, seiring dengan
berkurangnya penggunaan bahasa Jawa sebagai media komunikasi.
Pembelajaran
aksara Jawa terintegrasi dalam muatan lokal yang dikenal dengan mata pelajaran
bahasa Jawa. Porsi waktu untuk pembelajaran aksara Jawa sangat terbatas,
mengingat begitu banyak kompetensi yang harus dikuasai para siswa dalam mata
pelajaran ini. Padahal penguasaan kompetensi aksara Jawa memerlukan proses yang
cukup panjang. Karena selain harus hafal aksara Jawa mencakup aksara nglegena, angka Jawa, aksara swara,
aksara murda, sandhangan, pasangan, dan lain-lain, para siswa juga harus
menguasai aturan-aturan penulisannya. Keadaan di lapangan menunjukkan pembelajaran
aksara Jawa di sekolah tidak dapat berjalan secara maksimal, sehingga
penguasaan kompetensi baca tulis aksara Jawa siswa juga sangat terbatas.
B.
Kondisi
Pembelajaran Aksara Jawa
Kondisi
pembelajaran aksara Jawa di sekolah, secara umum terkendala beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1.
Pembelajaran aksara Jawa dianggap sulit karena aksara Jawa sudah
tidak dipakai lagi sebagai media baca tulis sehari-hari. Penggunaan aksara Jawa
pada masa sekarang ini hanya terbatas sebagai simbol kedaerahaan yang
disematkan pada nama-nama jalan, gedung-gedung pertemuan, gedung-gedung
pemerintahan, dan lain-lain.
2.
Pembelajaran aksara Jawa selama ini terintegrasi pada mata
pelajaran bahasa Jawa yang hanya diberi alokasi waktu 1-2 jam per minggu.
Alokasi ini sangat kurang, mengingat banyaknya kompetensi membaca dan menulis
Jawa yang harus dikuasai oleh para siswa.
3.
Pengajaran membaca dan menulis aksara Jawa yang cenderung monoton
dan memaksa siswa untuk menghafal bentuk-bentuk dan aturan penulisannya,
membuat siswa semakin tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran membaca dan
menulis aksara Jawa.
4.
Kurangnya media pembelajaran bahasa Jawa yang atraktif,
interaktif, dan modern yang mampu menarik minat siswa dalam mempelajari aksara
Jawa.
5.
Kurangnya buku-buku bacaan beraksara Jawa, sedangkan buku pegangan
guru biasanya tidak selaras dengan kompetensi para siswa.
6.
Tidak tercapainya kompetensi-kompetensi yang sudah digariskan
dalam kurikulum, sehingga terjadi penumpukan kompetensi yang belum dikuasai
oleh siswa.
7.
Guru kurang menguasai materi pembelajaran.
8.
Siswa kurang memahami manfaat mempelajari aksara Jawa.
C.
Reformasi
Pembelajaran Aksara Jawa
Kondisi
pembelajaran bahasa Jawa seperti tersebut di atas, merupakan kondisi riil yang
ditemukan di lapangan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh BAPEDA DIY (2004:
73-74) mengenai kondisi pembelajaran bahasa Jawa di lapangan, didapatkan hasil
bahwa 93% guru di SD dan SMP hanya menggunakan metode ceramah dalam setiap
penyampaian materi pembelajaran. Selain
itu, media pembelajaran terbatas pada media tradisional seperti gambar dinding
dan kaset tembang. Untuk melakukan reformasi pembelajaran aksara Jawa di sekolah,
diperlukan suatu proses yang terus menerus (berkelanjutan) dari tahap
perencanaan pembelajaran sampai dengan evaluasi dan remedial teaching. Makalah ini memberikan tawaran dalam bentuk
sistem pembelajaran aksara Jawa sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas PBM aksara
Jawa. Diharapkan sistem ini dapat meningkatkan kompetensi dan memberikan
pengalaman belajar yang lebih berkesan pada siswa.
1.
Tahap
Perencanaan Pembelajaran
Kurikulum
pembelajaran bahasa Jawa yang berlaku sekarang ini adalah KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum ini memberikan kewenangan kepada sekolah
untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kondisi siswa dan sekolah.
Langkah awal dalam reformasi pembelajaran aksara Jawa adalah pemantapan
perencanaan pembelajaran yang diawali dengan pengembangan silabus dan RPP.
Silabus adalah garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi materi
pembelajaran (Salim dalam Majid, 2007: 38). Pengembangan silabus di
sekolah-sekolah biasanya kurang terperinci. Misalnya dalam estimasi waktu,
materi, referensi, maupun penilaian. Langkah awal untuk memperoleh hasil
pembelajaran yang optimal dimulai dari perencanaan yang mantap. Silabus yang
baik paling tidak terdiri atas identitas mata pelajaran, deskripsi, standar
kompetensi, referensi wajib dan anjuran, analisis instruksional, skema kerja
(terdiri dari kompetensi dasar, materi pokok pembelajaran, estimasi waktu, dan
referensi yang merujuk secara spesifik sampai dengan halaman yang dirujuk pada
referensi), serta komponen penilaian. Dengan penyusunan silabus yang baik dan
terperinci pembelajaran akan lebih terarah dan terfokus pada pencapaian
kompetensi dasar.
Silabus
kemudian dijabarkan dalam RPP. RPP adalah rencana guru untuk mengajar suatu
mata pelajaran, pada jenjang kelas dan topik tertentu, untuk satu pertemuan
atau lebih. Standar kompetensi dan kompetensi dasar aksara Jawa dalam kurikulum
bersifat umum. Oleh karena itu, guru seharusnya dapat menentukan silabus dan
RPP yang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi para siswanya.
Seperti
halnya dengan silabus, penyusunan RPP juga harus terperinci dan jelas, sehingga
RPP memang benar-benar merupakan perencanaan guru, dapat menggambarkan dengan
jelas kompetensi yang ingin dicapai, mengingatkan guru untuk mempersiapkan
media dan sarana pembelajaran, kegiatan bertahap dan terstruktur dengan baik,
hasilnya mendalam dan bermakna, serta hasil belajar yang dapat dinilai dengan
berbagai cara dan sumber (Majid, 2007: 98).
RPP minimal
berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran,
skenario kegiatan pembelajaran, instrumen skoring, pedoman skoring, dan
referensi. Skenario pembelajaran dibagi menjadi tahap-tahap pembelajaran
(pendahuluan, inti, penutup dan tindak lanjut), uraian kegiatan pembelajaran,
media dan alat, serta estimasi waktu pembelajaran. Guru-guru senior pada
umumnya sering mengabaikan persiapan pembelajaran, karena merasa sudah
bertahun-tahun mengampu mata pelajaran yang sama, dengan materi yang sama. Hal
ini merupakan suatu mind set yang
perlu dirubah. Karena hal-hal seputar pembelajaran seperti pembelajar,
lingkungan belajar, materi ajar, dan lain-lain selalu mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Oleh karena itu, perencanaan pembelajaran juga harus selalu
berubah.
2. Pemanfaatan Apersepsi
Apersepsi
pada umumnya diabaikan oleh guru. Bahkan sering dijumpai apersepsi hanya
digunakan untuk presensi dan menanyakan siswa yang tidak masuk. Sebenarnya
apersepsi dapat dimanfaatkan secara optimal, salah satunya menyiapkan siswa
untuk menerima pembelajaran dan mengkaitkan antara materi pembelajaran dan
relevansinya. Apersepsi dalam pembelajaran aksara Jawa dapat digunakan guru
untuk menjelaskan kepada siswa mengenai kemanfaatan mempelajari aksara Jawa pada
masa sekarang ini, mengingat aksara Jawa sudah jarang sekali diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat penting dilakukan, karena dengan
mengetahui kemanfaatan suatu materi pembelajaran, siswa dapat lebih termotivasi
untuk belajar. Jangan sampai siswa beranggapan mempelajari aksara Jawa tidak
ada gunanya dan hanya terkesan mempersulit.
Berikut ini
beberapa contoh apersepsi yang membahas mengenai kemanfaatan aksara Jawa pada
masa sekarang ini:
a.
Pengetahuan baca tulis aksara Jawa dapat digunakan untuk membaca
naskah-naskah beraksara Jawa yang selama ini belum tersentuh. Padahal naskah-naskah
tersebut berisi aneka ragam bidang ilmu, dari sejarah, filsafat, arsitektur,
farmasi, hukum, dan lain-lain.
b.
Melalui apersepsi siswa diberi pemahaman bahwa aksara Jawa juga
bisa digunakan dalam komunitas anak muda sebagai media komunikasi dalam bentuk basa walikan, yang ternyata juga
bersumber dari aksara Jawa.
c.
Untuk lebih menarik minat siswa dapat diterangkan pula dongeng dan
asal usul aksara Jawa.
d.
Guru dapat pula menjelaskan dan mempraktekkan bahwa aksara Jawa dapat
dipakai untuk meramalkan cocok tidaknya suatu pasangan.
e.
Guru juga dapat memberikan keterangan kepada siswa bahwa aksara
Jawa sering dipakai sebagai mantra, rajah, dan lain-lain.
f.
Untuk menarik perhatian siswa, guru juga dapat menunjukkan bahwa
aksara Jawa dapat dibuat kaligrafi sebagaimana halnya dengan aksara Arab.
g.
Selain itu, siswa dapat pula diajak untuk browsing laman-laman (web
site) di internet yang membahas mengenai aksara Jawa. Ternyata banyak
sekali laman yang isinya khusus membahas aksara Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa
aksara Jawa masih relevan dan terpelihara eksistensinya.
h.
Nilai-nilai filsafat aksara Jawa, juga dapat diterangkan untuk
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa.
Dengan
apersepsi yang tepat, siswa akan termotivasi, tumbuh rasa ingin tahu, dan lebih
memahami kemanfaatan mempelajari baca tulis aksara Jawa.
3. Pengelolaan Siswa
Pengelolaan
siswa merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam PBM. Pengelolaan siswa selama
penyampaian materi aksara Jawa juga merupakan sesuatu yang sangat penting.
Membaca dan menulis aksara Jawa merupakan suatu ketrampilan yang penguasaan
kompetensinya membutuhkan proses yang bertahap. Terkadang dengan adanya
perbedaan individu, kompetensi satu siswa dengan siswa yang lain tidak sama. Namun
seringkali guru mengabaikan perbedaan peserta didik. Padahal setiap peserta
didik memiliki perbedaan yang unik, mereka memiliki kekuatan, kelemahan, minat,
dan perhatian yang berbeda-beda. Latar belakang keluarga, sosial ekonomi,
kreatifitas, intelegensi, dan kompetensinya (Mulyasa, 2007: 26-27). Guru yang
baik harus mengetahui sejauh mana kemampuan setiap perserta didiknya. Untuk mengidentifikasi
perbedaan penguasaan kompetensi membaca dan menulis aksara Jawa, sebelum proses
belajar mengajar sebaiknya guru melakukan pre
test untuk mengetahui kemampuan awal para siswa. Hasil pre test dapat digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
penguasaan kompetensi, sehingga diperoleh karakteristik umum yang menjadi ciri
kelas. Dari karakteristik umum kelas inilah seharusnya guru memulai
pembelajaran di kelas.
Dengan
identifikasi kemampuan awal membaca dan menulis aksara Jawa, akan didapatkan batasan
kompetensi siswa, sehingga penumpukan kompetensi yang belum dikuasai tidak akan
terjadi. Karena penumpukan ini akan mempersulit proses belajar siswa, sehingga pada
akhirnya mereka menganggap pembelajaran aksara Jawa sebagai materi yang sulit. Hal
ini dikarenakan mereka dibebani belajar hal yang baru, sedangkan prasyarat
untuk mempelajari materi tersebut belum mereka kuasai. Misalnya siswa
diharusnya menggunakan aksara Jawa untuk
menulis wacana berbahasa Jawa, sedangkan mereka belum menguasai materi pasangan dalam aksara Jawa. Jika hal ini
terjadi dalam PBM, bisa dipastikan proses penguasaan kompetensi dasar tidak
akan tercapai dengan optimal.
Pengetahuan
mengenai penguasaan kompetensi siswa akan mempermudah guru untuk mengelola
kelas. Guru dengan mudah dapat mengatur siswanya berdasarkan situasi yang ada
ketika PBM berlangsung. Misalnya guru dapat mengelompokkan siswa sesuai dengan
rencana dan tujuan pembelajaran. Guru dapat memilih siswa yang mempunyai
kompetensi baca tulis aksara Jawa tinggi untuk dikelompokkan dengan siswa yang
mempunyai kompetensi lebih rendah, sehingga dapat saling membantu.
4.
Pemilihan Pendekatan
Pembelajaran
Pembelajaran
aksara Jawa yang berlangsung di sekolah, masih didominasi dengan pendekatan
yang berorientasi pada guru (teacher
centered). Guru menempatkan diri pada posisi pengontrol dan penentu
(Sudiana, 1989:153). Hakikatnya, siswa ditempatkan sebagai objek. Pembelajaran
bersifat satu arah dan biasanya disampaikan dengan metode ceramah. Pendekatan ini
tentunya harus dirubah secara bertahap dengan aplikasi pendekatan yang lebih
berorientasi pada siswa. Pendekatan Student
Center Learning (SCL) merupakan pendekatan yang dapat diaplikasikan dalam
pembelajaran aksara Jawa. Dengan pendekatan ini, penguasaan kompetensi
merupakan salah satu aspek yang diutamakan. Diharapkan dengan pendekatan SCL,
tidak ada lagi kasus penumpukan kompetensi yang belum dikuasai siswa, sebelum
mempelajari kompetensi lain yang lebih tinggi tingkatannya.
Pendekatan
SCL juga menekankan pada proses, dengan tujuan memberikan pengalaman belajar
pada siswa. Proses merupakan sesuatu yang penting dalam pembelajaran aksara Jawa,
karena materi disampaikan secara bertahap. Misalnya dari aksara nglegena, sandhangan, pasangan, aksara murdha, rekan, dan
lain-lain. Jadi, penekanan tidak hanya pada hasil tes akhir pembelajaran,
tetapi juga pada proses belajar. Pemberian tugas dalam pendekatan ini juga merupakan
komponen penting. Untuk menguasai kompetensi baca tulis aksara Jawa, siswa
harus familier dan hafal dengan bentuk-bentuk dan tata tulis aksara Jawa. Waktu
pembelajaran di kelas, tidak memberikan cukup waktu untuk menguasai kompetensi
tersebut. Karena itu pemberian tugas dirancang agar siswa belajar secara
mandiri di rumah untuk berproses dalam upaya penguasaan kompetensi baca tulis
aksara Jawa. Untuk mendapatkan umpan balik dan mengukur sejauh mana penguasaan
kompetensi siswa, tugas harus dipresentasikan, dikoreksi, dibahas bersama, dan
diperbaiki. Prosesnya tidak harus utuh, tetapi paling tidak mewakili
keseluruhan tugas.
5.
Pemilihan Metode
Pembelajaran
Metode pembelajaran yang selama ini diterapkan dalam pembelajaran
aksara Jawa adalah ceramah. Guru-guru pada umumnya hanya mengajarkan aksara
Jawa dengan menuliskan aksara-aksara tersebut di papan tulis, dan menyuruh
siswa untuk menghafalkan. Setelah itu siswa diberi latihan. Metode ini
diterapkan berulang-ulang untuk mempelajari materi-materi yang berhubungan
dengan aksara Jawa. Baik ketika mempelajari aksara Jawa nglegena, pasangan,
sandhangan, aksara rekan, aksara murdha, aksara swara maupun angka Jawa.
Penerapan metode ini ternyata membebani siswa. Siswa cenderung merasa terpaksa
untuk mempelajari materi membaca dan menulis Jawa. Oleh karena itu,
perlu diterapkan metode yang mendorong siswa untuk aktif kreatif serta
menumbuhkan semangat para siswa dalam mempelajari aksara Jawa.
Beberapa metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran aksara
Jawa adalah:
a.
Metode
Latihan (Drill)
Metode ini pada umumnya digunakan untuk memperoleh suatu
ketrampilan. Metode latihan dapat diimplementasikan dalam pembelajaran membaca
dan menulis aksara Jawa. Setiap jam pelajaran bahasa Jawa, metode ini dapat
diterapkan. Misalnya setiap selesai jam pelajaran, siswa diminta untuk
menghafalkan bentuk-bentuk aksara Jawa di rumah. Tugas untuk menghafal tidak
perlu terlalu banyak. Misalnya untuk minggu pertama aksara ha, na, ca, ra, ka. Kemudian pada pertemuan selanjutnya, siswa
dites dengan materi aksara yang sudah dihafalkan di rumah. Tugas berikutnya
aksara da, ta, sa, wa, la. Sesudah
aksara nglegena, tugas menghafal di
rumah dapat diteruskan dengan materi pasangan,
sandhangan,angka Jawa, dan lain-lain. Kemudian drill dilakukan per minggu dengan materi yang semakin bertambah
pada setiap minggunya. Metode ini tidak membutuhkan waktu lama, maksimal 15
menit dan efektif untuk meningkatkan ketrampilan membaca dan menulis aksara
Jawa siswa.
b.
Metode
Tugas dan Resitasi
Metode tugas dan resitasi untuk meningkatkan ketrampilan membaca
dan menulis aksara Jawa mutlak diperlukan. Mengingat banyaknya materi membaca
dan menulis aksara Jawa, sedangkan waktu untuk mata pelajaran bahasa Jawa
terbatas 2 jam per minggu. Bahkan ada sekolah-sekolah seperti Madrasah
Tsanawiyah, dan SMA-SMA tertentu hanya mengajarkan bahasa Jawa dengan waktu 1
jam pelajaran per minggu. Oleh karena itu, diperlukan waktu ekstra untuk
melancarkan baca tulis aksara Jawa. Siswa dapat diberi tugas di rumah untuk
mempelajari aksara Jawa, dengan bahan-bahan yang disediakan oleh guru. Untuk
metode tugas ini dapat digunakan media yang menarik agar siswa bersemangat dalam
mengerjakan tugas. Misalnya dengan teka-teki silang, IQRA’ aksara Jawa, silang
datar aksara Jawa, dan lain-lain. Tugas harus dicocokkan, diberi nilai, dan
dikomentari oleh guru maupun teman agar diperoleh umpan balik, penghargaan
kepada siswa, serta untuk memotivasi siswa agar selalu aktif mengerjakan tugas.
c.
Metode
Kerja Kelompok
Metode kerja kelompok untuk pembelajaran membaca dan menulis
aksara Jawa dapat digabungkan dengan peer
teaching (pembelajaran antarteman). Cara penerapannya dengan membagi siswa
dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri dari 5-8 siswa. Setiap kelompok diketuai
oleh siswa yang kemampuan baca tulis aksara Jawanya paling baik di antara
anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok diberikan tugas untuk mempelajari
materi aksara Jawa. Misalnya penggunaan pasangan.
Ketua kelompok bertanggung jawab penuh untuk mengajar teman-temannya agar
kemampuan baca tulis aksara Jawa teman-teman satu kelompok meningkat. Kemudian
dalam jangka waktu 2-3 minggu berikutnya diadakan tes. Nilai diambil dari
rata-rata nilai kelompok. Jadi, semakin baik kemampuan masing-masing individu
anggota kelompok, nilai yang didapat kelompok semakin baik. Metode ini efektif
untuk diterapkan karena dengan konsep peer
teaching serta sistem penilaian kelompok, setiap anggota kelompok akan
merasa bertanggung jawab pada nilai yang akan diperoleh kelompoknya. Demikian
juga dengan ketua kelompok, akan merasa bertanggung jawab untuk menularkan ilmu
dan kemampuaannya kepada teman satu kelompoknya. Metode ini akan menumbuhkan
iklim kompetitif yang sehat dalam suatu kelas. Untuk mengejar nilai yang
tinggi, biasanya setiap kelompok menyempatkan diri untuk berkali-kali berlatih
secara mandiri tanpa unsur paksaan.
d.
Metode Karyawisata
Karyawisata merupakan suatu perjalanan atau pesiar yang dilakukan
oleh peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar, terutama pengalaman
langsung dan merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah (Mulyasa, 2007:
112). Karyawisata juga dapat diterapkan dalam pembelajaran baca dan tulis
aksara Jawa. Walaupun tidak secara langsung dapat meningkatkan ketrampilan baca
tulis aksara Jawa, metode ini dapat meningkatkan motivasi para siswa untuk
mempelajari aksara Jawa. Untuk pembelajaran aksara Jawa siswa dapat diajak
berwisata ke museum-museum untuk melihat secara langsung naskah-naskah
beraksara Jawa yang ditulis oleh para pujangga terdahulu. Misalnya ke Museum
Sanabudaya, Perpustakaan Kraton Yogyakarta, Pakualaman, Jarahnitra,
Perpustakaan Dewantara Kirti Griya, dan lain-lain. Dengan melihat secara
langsung, siswa tentunya akan kagum dengan kekayaan pernaskahan yang masih
tersimpan di perpustakaan maupun museum tersebut. Kemudian guru menerangkan
bahwa dengan keterbatasan yang ada pada masa naskah tersebut ditulis, para
pujangga mampu menghasilkan karya yang luar biasa, baik dalam teknik penulisan
maupun variasi ornamen naskah yang sangat indah dan membutuhkan ketelitian
tingkat tinggi. Siswa juga dapat memperoleh keterangan bahwa isi naskah-naskah tersebut
masih relevan dengan masyarakat masa kini. Apalagi naskah-naskah yang berisi
sistem pengobatan tradisional, tata pemerintahan, sejarah, dan lain-lain. Namun
dari ribuan naskah tersebut, hanya beberapa puluh yang sudah dibaca, karena
kurangnya kemampuan baca tulis aksara Jawa. Dengan menyaksikan kondisi langsung
di lapangan, siswa dapat termotivasi untuk mempelajari baca tulis aksara Jawa.
6.
Pengembangan
Sumber Belajar
Selama ini, sumber belajar yang dipakai oleh guru dalam mengajarkan
materi baca tulis aksara Jawa terbatas pada buku pegangan, yang kadang isinya
tidak sesuai dengan kompetensi siswa-siswanya. Umumnya buku yang dipakai oleh
guru terlalu sulit, sehingga siswa merasa kesulitan dan terbebani dalam
mempelajari materi. Seharusnya guru lebih mengembangkan bahan ajarnya, misalnya
mencari buku-buku bacaan beraksara Jawa yang sesuai dengan kompetensi siswa.
Jika tidak dapat ditemui di pasaran, guru dapat membuat sendiri sumber ajarnya,
walaupun sederhana. Sumber belajar dapat dilengkapi dengan gambar-gambar dan
lain-lain yang mampu menarik minat siswa untuk belajar. Guru sebaiknya juga
menyediakan LKS maupun modul yang dapat digunakan siswa untuk lebih
memperlancar kemampuan baca tulis aksara Jawa.
Tempat atau lingkungan sekitar juga dapat digunakan sebagai sumber
belajar. Guru pada umumnya hanya membatasi sumber belajarnya dengan apa yang
ada di dalam kelas. Tempat atau lingkungan sekitar yang dapat digunakan sebagai
sumber belajar membaca dan menulis aksara Jawa misalnya museum, perpustakaan
yang menyimpan naskah-naskah beraksara Jawa, nama jalan yang ditulis dengan
aksara Jawa, gedung-gedung pertemuan dan instansi pemerintah yang menggunakan
aksara Jawa sebagai papan nama gedung, dan lain-lain. Sumber belajar lain
misalnya peristiwa atau fakta yang sedang terjadi, misalnya perjuangan untuk
menggolkan registrasi unicode aksara
Jawa, juga dapat digunakan sebagai sumber belajar aktual dan faktual yang
menarik untuk dibahas.
7.
Pengembangan
Media Pembelajaran
Selama ini, pembelajaran baca tulis aksara Jawa mayoritas
disampaikan dengan metode ceramah. Penggunaan media pembelajaran sangat minim.
Jika tersedia pun mayoritas hanya berupa media tradisional seperti
gambar-gambar dinding yang memuat aksara Jawa (BAPEDA DIY, 2004: 73). Untuk
memotivasi para siswa, perlu diterapkan metode dengan penggunaan media-media
pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif kreatif serta menumbuhkan
semangat para siswa dalam mempelajari aksara Jawa. Diperlukan pula permainan-permainan
yang dapat menarik minat dan motivasi siswa untuk belajar. Dengan proses
belajar mengajar yang menarik, materi yang dianggap sulit seperti membaca dan
menulis aksara Jawa dapat disampaikan dengan lebih mudah, dapat diterima dengan
baik oleh siswa, serta lebih membekas dalam ingatan.
Media pembelajaran yang dapat dipakai untuk mempermudah
penyampaian materi baca tulis aksara Jawa sebagai berikut:
a.
Permainan
Media permainan sangat cocok untuk anak-anak usia sekolah, karena
dapat menumbuhkan semangat berkompetisi dengan teman. Namun dalam aplikasinya
perlu dilihat kesesuaiannya dengan materi, usia siswa, serta penguasaan
kompetensi siswa. Beberapa permainan yang dapat diterapkan untuk materi baca
tulis aksara Jawa adalah:
1)
Menyambung suku kata beraksara Jawa, permainan ini dapat dimainkan
secara berkelompok
2)
Silang datar beraksara Jawa
3)
Teka-teki silang beraksara Jawa
4)
Scrabble beraksara Jawa
5)
Cerdas-cermat aksara Jawa
6)
Ambil-ambilan dengan materi aksara Jawa
7)
Lomba membaca dan alih tulis aksara Jawa antarkelompok atau
individu.
8)
Berburu kata, permainan ini dapat dilakukan di luar kelas. Siswa
dibagi dalam kelompok-kelompok untuk mencari kata-kata yang ditulis dengan
aksara Jawa. Guru terlebih dahulu menyiapkan denah letak-letak kata beraksara
Jawa. Setelah letak lokasi ditemukan, para siswa kemudian mengerjakan perintah
dalam soal. Setelah selesai satu soal, pindah lokasi untuk mengerjakan soal
yang lain. Kelompok yang pertama kali selesai mengerjakan tugas, merupakan
kelompok yang menang.
b.
Media
Pandang
Media pandang yang dapat digunakan untuk membuat pembelajaran
aksara Jawa lebih menarik di antaranya:
1)
Papan flanel yang dapat dipakai sebagai media penyusun kata
beraksara Jawa
2)
Papan magnetis,
3)
Papan tali
4)
Wall chart
5)
Flow chart
6)
Papan selip
7)
Flash card aksara Jawa
8)
Kartu bergambar, misalnya dalam kartu diberi gambar yang sesuai
dengan kata yang ditulis dengan aksara Jawa. Kartu kemudian ditukar dengan
kartu milik siswa yang lain. Kartu dapat dibuat oleh siswa maupun guru.
9)
Buku IQRA’ aksara Jawa, berdasarkan hasil penelitian, media ini
dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk membaca aksara Jawa secara cepat dan
efektif.
10)
Slide dan OHP
c.
Komputer
dan Internet
Seiring dengan perkembangan jaman, media pembelajaran yang
dimiliki sekolah semakin lengkap. Sekarang ini pada umumnya sekolah sudah
memiliki laboratorium komputer yang dilengkapi dengan jaringan internet.
Komputer dapat dipakai sebagai media pembelajaran aksara Jawa. Lebih baik lagi
jika dilengkapi LCD sebagai proyektor. Aplikasi komputer berbasis aksara Jawa
dapat diajarkan kepada siswa untuk membantu proses pembelajaran baca tulis
aksara Jawa. Aplikasi ini dapat diperoleh dengan cara download dari internet maupun membeli CD program aksara Jawa.
Aplikasi komputer berbasis aksara Jawa dapat menggunakan program
Pallawa versi 1.0 yang tersedia di pasaran, dalam satu paket lengkap, terdiri
dari CD program original, buku panduan aplikasi, kartu keaslian produk, dan end user licensed and agreement. Dapat
pula menggunakan program HANACARAKA dari Dinas Kebudayaan Propinsi DIY. Program
ini dapat digunakan untuk konversi Jawa-Latin maupun Latin-Jawa serta
pengenalan aksara. Juga tersedia latihan soal-soal yang bersifat interaktif
yang dapat di-update sendiri oleh
guru. Situs-situs dalam internet juga dapat digunakan untuk pembelajaran aksara
Jawa. Misalnya http://www.pallawa.com yang
menyediakan bentuk-bentuk media pembelajaran bahasa Jawa, misalnya jam
beraksara Jawa, kuis interaktif aksara Jawa, dan lain-lain.
Guru juga dapat menugaskan para siswa untuk melakukan browsing data mengenai aksara Jawa,
sebagai tugas mandiri. Selain dari internet, guru juga dapat memanfaatkan
komputer untuk membuat media interaktif yang atraktif dan menarik dengan
program macromedia flash.
8.
Pengembangan
Sistem Penilaian
Penilaian berfungsi untuk memotivasi siswa untuk belajar, sehingga
terdorong untuk menguasai materi yang belum dikuasai. Selain itu, juga berfungsi
untuk memantau ketuntasan belajar, indikator efektivitas pembelajaran, dan
umpan balik kepada guru (Majid, 2007: 188-189). Pada umumnya guru-guru hanya
mengandalkan penilaian dengan bentuk instrumen pilihan ganda dan essay untuk
menilai kemampuan siswa dalam membaca dan menulis aksara Jawa. Padahal bentuk
instrumen tes dan skoringnya dapat dibuat variatif. Selain pilihan ganda, dapat
pula dalam bentuk sebagai berikut:
a.
Menjodohkan
b.
Evaluasi dengan bentuk-bentuk permainan seperti silang datar, TTS,
cerdas-cermat, berburu kata, dan lain-lain.
c.
Evaluasi berbasis komputer, dengan menggunakan program Hanacaraka
versi 1.0, maupun program yang lain
d.
Soal benar salah untuk melatih ketelitian siswa. Guru menuliskan
kata atau kalimat beraksara Jawa, sebanyak 3-4 baris, disesuaikan dengan
kompetensi siswa, kemudian siswa diminta untuk memberikan label benar-salah
pada setiap soal.
e.
Soal uraian, misalnya siswa diminta untuk menulis kata maupun
kalimat beraksara Jawa. Untuk soal bentuk ini, sistem skoring yang ditetapkan
juga harus sesuai. Biasanya untuk mempersingkat waktu, jika terdapat kesalahan dalam
salah satu aksara cenderung dinilai salah semua untuk satu kalimat. Hal ini
membuat siswa putus asa. Karena bisa saja dalam satu kalimat mereka hanya salah
dua-empat huruf. Untuk itu diperlukan skoring yang adil, untuk menghargai para
siswa dalam menghafal aksara. Skoring yang baik untuk pembelajaran menulis
aksara Jawa adalah dengan menilai setiap huruf. Jadi, setiap aksara yang
ditulis dengan benar oleh para siswa, diberi poin oleh guru. Walaupun
penilaiannya agak rumit, namun sistem ini akan membuat siswa lebih dihargai
jerih payahnya. Agar proses koreksi cepat, siswa dilibatkan untuk koreksi
silang antarteman, dengan guru sebagai pemandunya.
f.
Ujian Lesan untuk materi membaca aksara Jawa mutlak diperlukan.
Untuk materi ini, ujian tertulis kurang efektif. Karena guru tidak tahu secara
pasti kemampuan siswa dalam membaca aksara Jawa, baik kecepatan maupun
ketepatan pelafalan. Dengan ujian lesan, akan diketahui kemampuan sebenarnya
dari masing-masing siswa. Bahan ujian tidak perlu terlalu panjang, sejauh mampu
mendeteksi kemampuan individu setiap siswa dalam membaca aksara Jawa.
g.
Penilaian tugas siswa oleh guru selama ini hanya dilakukan sambil
lalu. Biasanya tugas hanya dikomentari baik, cukup, bagus, dan lain-lain,
tetapi siswa tidak tahu di mana letak baiknya, cukupnya, bagusnya, dan
lain-lain. Seharusnya sistem penilaian tugas dibuat lebih terperinci. Tugas
tidak perlu terlalu banyak, tetapi diberi feed
back yang memadai oleh guru. Diberi penjelasan letak benar salahnya, jika
perlu diberi komentar yang sifatnya personal, sehingga setiap siswa merasa
mendapat perhatian dari guru dan dihargai pekerjaannya.
9.
Tindak
Lanjut Pembelajaran
Tindak lanjut pembelajaran seringkali tidak dilakukan oleh para
guru karena keterbatasan waktu. Dalam pembelajaran aksara Jawa, tindak lanjut
pembelajaran sebenarnya mutlak diperlukan. Tindak lanjut dapat dilakukan dengan
cara mengidentifikasi permasalahan seputar pembelajaran aksara Jawa baik dari
segi materi maupun siswa. Dengan identifikasi masalah, dapat dipikirkan dan ditindaklanjuti
pemecahannya, sehingga guru dapat dengan segera mengatasi masalah serupa yang
timbul dalam PBM selanjutnya. Remedial
teaching bagi siswa yang belum tuntas belajar sebaiknya juga dilakukan.
Jika jam pelajaran tidak mencukupi, diperlukan dedikasi tinggi dari seorang guru
untuk memberikan bimbingan secara khusus dan perorangan bagi siswa yang belum
tuntas belajar. Dapat pula melalui pemberian tugas-tugas yang secara bertahap
mampu meningkatkan pemahaman siswa.
10. Peningkatan Kualitas Guru
Berdasarkan penelitian BAPEDA DIY (2004: 74), salah satu faktor
yang menghambat proses pembelajaran bahasa Jawa, 75% disebabkan oleh kurangnya
kemampuan guru dalam penguasaan dan penyampaian materi. Untuk meningkatkan
kualitas guru, khususnya dalam penguasaan materi aksara Jawa, diperlukan
pelatihan-pelatihan khusus. Selain itu, diusahakan guru yang mengajar bahasa
Jawa merupakan lulusan lembaga pendidikan formal bahasa dan sastra Jawa, sehingga
terjamin penguasaan kompetensinya. Untuk menjaga kualitas pengajaran aksara
Jawa pada khususnya, dan pengajaran bahasa Jawa pada umumnya, diperlukan
pengontrolan yang terus-menerus dan berkelanjutan. Misalnya dengan program lesson study bagi guru-guru bahasa Jawa
di SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA. Peningkatan kualitas guru juga dapat
dilakujkan dengan uji kompetensi yang secara teoritis maupun praktis mempunyai
manfaat yang sangat penting, terutama dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan melalui peningkatan kualitas guru (Mulyasa, 2007: 188).
D.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan
pembelajaran aksara Jawa tergantung dari kemampuan guru untuk menguasai serta
menyampaikan materi, dan kemampuannya untuk mendudukkan diri sebagai mediator
dan fasilitator pembelajaran. Selain itu juga ditentukan oleh ketrampilan guru
dalam mengembangkan rencana pembelajaran, pemanfaatan apersepsi, mengelola
siswa, memilih pendekatan, metode, sumber belajar, media pembelajaran, dan
sistem penilaian. Unsur-unsur tersebut harus dipilih dan dikelola oleh guru
untuk menciptakan proses belajar mengajar yang mampu mengantarkan siswa untuk
meraih pengalaman belajar dan kompetensi pembelajaran dalam suasana belajar
yang kondusif dan menyenangkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hardiati, Endang Sri. 2002. Pameran Perkembangan Aksara di Indonesia . Jakarta : Museum Nasional.
Majid, Abdul. 2007. Perencanaan
Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung : Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2007. Menjadi
Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : Rosdakarya.
Riyadi, Slamet. 1996. Ha-Na-Ca-Ra-Ka: Kelahiran, Penggunaan,
Fungsi, dan Makna. Yogyakarta : Yayasan
Pustaka Nusatama.
Sedyawati, Edi. 2001. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Jakarta : Balai Bahasa.
Sudiana, Nana. 1989. Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar. Bandung :
Sinar Baru Algensindo.
Tim Jarlit BAPEDA DIY. 2004. Pemberdayaan Bahasa, Sastra,
Budaya, dan Aksara Jawa melalui Jalur Formal dan Nonformal dalam Era
Multikultur di DIY. Laporan Penelitian. Yogyakarta :
BAPEDA Propinsi DIY.
Ikut kelas belajar aksara jawa ^^
ReplyDeleteMari mariii ... makasih sudah mampir
ReplyDeletemetodenya variatif....kelasnya pasti menyenangkan...lanjutkan
ReplyDeleteSeperti kelasnya Bu Nur ... selalu dirindukan
Delete