NOVEL TUNGGAK-TUNGGAK JATI STRATEGI MENCARI TITIK TEMU ETNIS JAWA-TIONGHOA: SEBUAH KAJIAN POSKOLONIAL
A. Meretas Permasalahan Etnis Jawa-Tionghoa
Hubungan baik antara etnis Jawa dan Tionghoa mulai merosot pada sekitar
awal abad ke-19 karena keterlibatan etnis Tionghoa dalam konflik internal
kraton (Wahid, 2003: 73-74). Keadaan ini diperparah dengan penerapan politik devide et impera yang diduga merupakan akar
dari deskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia. Sistem politik warisan
kolonialisme ini membagi para penduduk menjadi tiga golongan. Golongan teratas
dalam pelapisan sosial ini adalah golongan Eropa (Europeanen), golongan kedua Vreemde
Oosterlingen atau golongan Timur Asing seperti Tionghoa , India ,
dan Arab. Golongan yang ketiga adalah Inlander
atau pribumi (Pemilia, 2006).
Golongan Eropa menempati tempat tertinggi dan secara penuh mengendalikan
struktur dan roda perekonomian. Lapisan kedua adalah para pedagang Cina yang
sama-sama merupakan pendatang di Indonesia . Etnis ini mempunyai jiwa
dagang yang tinggi, modal yang cukup, dan mempunyai kedekatan dengan bangsa
Belanda. Etnis Cina melalui keunggulannya dalam bidang ekonomi, mampu
menjalankan roda perekonomian. Sedangkan masyarakat lokal Jawa (pribumi)
cenderung menjadi objek, konsumen, dan sumber tenaga murah bagi bagi kolonial
maupun etnis Cina. Orang pribumi yang notabene merupakan tuan rumah bagi ras kulit
putih dan etnis Tionghoa digambarkan sebagai jongos yang hidupnya tergantung
pada majikan. Sebagai orang yang tidak punya kuasa dan harta, hanya punya
tenaga yang dijual dengan harga murah.
Penggolongan atau pelapisan masyarakat di atas, tertuang dalam Regeringsreglement tahun 1854. Etnis
Jawa merupakan salah satu etnis yang merasakan dampak ordonansi. Oleh Hinda
Belanda, politik ini secara efektif digunakan untuk memunculkan batas antara
etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Batas etnis dibangun dengan membangun
stigma-stigma etnis. Etnis Jawa digambarkan sebagai golongan inferior, tidak jujur, bodoh, dan selalu memusuhi etnis
Tionghoa. Sebaliknya etnis Tiongoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang
licik, eksklusif, kikir, dan srigala ekonomi, sehingga di bawah sadar timbul
kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa (Winarta,
2005). Penggambaran ini kemudian menjadi stigma kolektif etnis yang terpelihara
sejak berabad-abad silam. Stigma yang masih tersimpan dalam benak masyarakat
ini sangat riskan untuk memunculkan gejolak-gejolak sosial dalam masyarakat.
Upaya-upaya untuk menetralisir hal ini
diusahakan melalui dialog-dialog, seminar, penulisan buku, pembuatan film,
penulisan karya sastra berupa novel, puisi, dan lain-lain. Upaya ini pada
dasarnya dimaksudkan agar keberadaan komunitas Tionghoa tidak semata-mata
dipandang dengan cara pandang politis sebagai eksploitator ekonomi, tetapi
lebih secara sosiokultural sebagai salah satu bagian yang secara integratif
membentuk identitas masyarakat (Purwanto, 2007).
B. Kajian Poskolonial
Kritik Poskolonial dipakai dalam makalah ini, karena novel Tunggak-Tunggak Jati (TTJ) dalam struktur naratifnya berusaha
membaurkan etnis Jawa-Tionghoa melalui proses asimilasi. Seperti yang telah
dipahami bersama, kritik pascakolonial memiliki karakter untuk mengungkap
warisan-warisan akibat hubungan kuasa antara penguasa koloni dan subjek koloni
(Foulcher dan Day, 2006: xii). Keretakan hubungna antaretnis Jawa dan Tionghoa
juga merupakan warisan kebijakan kolonial yang masih kentara, berkepanjangan,
bahkan sampai koloni memperoleh kemerdekaannya. Hal ini senada dengan pendapat
Liliani (2007: 35), yang menyatakan bahwa studi pasca kolonial juga menelaah
dampak perjumpaan dengan kolonial (colonial
encounter), kaitannya dengan konstruk identitas, politik, sistem
kemasyarakatan, hukum, serta bangunan kebudayaan. Oleh karena itu, kritik ini
diharapkan dapat menafsirkan Novel TTJ dalam
perspektif poskolonial.
C. Novel Tunggak-Tunggak Jati
Novel TTJ merupakan salah satu
novel yang di dalamnya tersusun upaya-upaya untuk mencari titik temu antara
etnis Jawa-Tionghoa melalui proses asimilasi. Seperti dinyatakan oleh
Suryadinata (2003), bahwa nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan
konsep kepribumian. Oleh karena itu
etnis Tionghoa diposisikan sebagai orang asing (nonpribumi) dan pendatang baru
yang tidak bisa diterima dalam masyarakat sebelum mereka mengasimilasi diri.
Teknik asimilasi dalam novel ini dilakukan dengan strategi perjodohan antara etnis
Jawa dan Tionghoa. Novel TTJ yang
ditulis oleh Esmiet ini terdiri dari 13 bab yang termuat dalam 99 halaman buku.
Novel ini diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya yang beralamat di Jl. Kramat
II, No. 31A, Jakarta Pusat pada tahun 1977.
Deklarasi-deklarasi sebagai proses usaha pembauran antara etnis
Jawa-Tionghoa, digaungkan selama beberapa periode sejarah, misalnya Manifesto Politik Bung Hatta-1 November
1945, dan Piagam Asimilasi
Ambarawa-1961. Novel TTJ seakan-akan
merupakan bentuk dukungan dan persetujuan terhadap deklarasi-deklarasi yang
digaungkan sebagai proses pembauran (asimilasi) etnis Tionghoa dengan etnis
Jawa.
D. Novel Tunggak-Tunggak Jati dalam Tinjauan
Poskolonial
Seperti dikatakan di atas, novel TTJ
dipandang sebagai karya sastra yang berusaha untuk mencari titik temu
antara etnis Jawa-Tionghoa. Sentimen etnis yang merupakan warisan kolonial
berusaha dikikis dengan cara menghadirkan generasi-generasi baru (dalam makalah
ini disebut dengan generasi kedua) yang merupakan wakil-wakil dari
masing-masing etnis yang memiliki pandangan berbeda mengenai tipikal etnisnya dengan
generasi sebelumnya.
1. Generasi Pertama
Generasi pertama etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam novel ini masih
mengusung stereotip etnis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kondisi riil
di masyarakat tentang pandangan etnis Jawa kepada etnis Tionghoa dan
sebaliknya. Generasi pertama ini dalam alur cerita berikutnya akan mendapatkan
kesadaran-kesadaran bahwa stereotip yang selama ini sudah kekal dalam diri
mereka sebagai bentuk mind set dapat
berubah karena adanya penyadaran-penyadaran dari generasi kedua. Jika tidak
mendapatkan penyadaran, maka orang-orang dari generasi pertama ini akan
dihilangkan dalam cerita atau tampil sebagai orang-orang yang kalah.
Generasi pertama dan stereotipnya tampak dalam pembahasan di bawah ini.
a. Bapak dan Ibu Karsonto
Bapak dan Ibu Karsonto merupakan orang tua dari Karmodo dan Karsini.
Bapak dan Ibu Karsonto merupakan wakil generasi pertama dari etnis Jawa,
sedangkan Karmodo dan Karsini merupakan wakil generasi kedua dari etnis Jawa.
Bapak Ibu Karsonto masih mengusung stereotip etnis Jawa yang lemah, tidak berdaya, dan selalu menaruh
curiga pada etnis Tionghoa. Sifat ini tampak dalam kutipan berikut.
Pak Karsonto biyen tau dipisuh-pisuhi kalane isih manggon sadesa ana
ing Manting. Malah ora trima sadesa, nanging sasat dadi saomah. Jalaran Pak
Karsonto lanang wadon kuwi buruhe. Kulawargane Karsonto diwenehi papan ana ing
omah cilik ing pojok pekarangane, supaya yen ana pikongkonan sawayah-wayah, ora
kangelan nggoleki (Esmiet, 1977: 11).
‘Dahulu Pak Karsonto pernah dimaki-maki, saat masih tinggal satu desa
di Manting. Tidak hanya tinggal satu desa, malah serumah. Karena Bapak dan Ibu
Karsonto tersebut buruhnya. Keluarga Karsonto diberi tempat tinggal berupa
rumah kecil di sudut pekarangan. Supaya kalau sewaktu-waktu disuruh, tidak
sulit untuk mencarinya’
Embuh sabab apa, rong taun kepungkur Pak Karsonto sing wis dadi buruhe telung
puluh tahun lawase, ujug-ujug njaluk metu saka pagaweyane lan pamitan bakal
ngalih menyang desa Kalidawir. ‘Entah apa sebabnya, dua tahun yang lalu Pak
Karsonto yang sudah tiga puluh tahun bekerja sebagai buruhnya, tiba-tiba minta
berheni dari pekerjaannya, dan pamit akan pindah ke desa Kalidawir’(Esmiet,
1977: 11).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa keluarga Karsonto sebagai wakil etnis
Jawa pada novel ini hanya berprofesi sebagai pesuruh yang hidupnya bergantung
kepada seorang etnis Tionghoa yang menjadi majikannya. Pak Karsonto dan
keluarganya sudah 30 tahun menjadi pesuruh Bian Biau, etnis Tionghoa yang
menguasai daerah tersebut. Saat Pak Karsonto meminta berhenti, Bian Biau tidak
terima dan mengatakan bahwa keluarga Pak Karsonto masih mempunyai hutang,
karena kalau Ibu Karsonto sakit, Bian Biau yang memberi ongkos untuk berobat.
Oleh karena itu, Bian Biau meminta Karsini (adik Karmodo) tetap tinggal dan
menjadi pembantu di sana .
Lagi-lagi tipikal etnis Jawa yang nrima
dan serba ngalah tampak di sini.
Pak Karsonto tanpa mengemukakan ketidaksetujuannya, mengabulkan permintaan Bian
Biau. Akhirnya anak bungsunya ditinggal di rumah Bian Biau untuk menjadi
pembantu sampai hutang-hutangnya kepada Bian Biau lunas. Selain stereotip bahwa
etnis Jawa hanya mampu menjadi pembantu, selalu mengalah, dan lain-lain, sikap
etnis Jawa yang selalu menaruh curiga pada etnis Tinghoa juga tampak dalam
kutipan berikut.
“…aja nganti kulawargane dadi
gedibale Cina. Lha kok kowe malah nekad arep dadi gundhik, coba …” ‘Jangan
sampai keluarganya menjadi budak Cina. Lha kamu malah nekat ingin menjadi gundik orang Cina’ (Esmiet, 1977: 21).
Kutipan di atas menunjukkan sikap kecurigaan etnis Jawa yang diwakili
oleh Bapak dan Ibu Karsonto terhadap etnis Tionghoa. Saat anak perempuannya
(Karsini) menjalin hubungan dekat dengan etnis Tionghoa, mereka menunjukkan
ketidaksetujuannya. Menurut mereka, etnis Tionghoa hanya menginginkan perempuan
dari etnis Jawa sebagai gundik (istri simpanan dan bukan istri yang sah), hanya
dipelihara dan tidak diberi hak seperti layaknya istri. Pandangan ini pada alur
cerita selanjutnya akan dilawan dengan kisahan-kisahan wakil etnis dari
generasi kedua yang menunjukkan bahwa etnis Tionghoa pada generasi berikutnya
akan lebih menghargai perempuan Jawa, dan menikahinya sebagai istri yang syah,
bahkan bersedia untuk memeluk agama yang sama dengan yang dipeluk oleh
perempuan Jawa tersebut.
b. Tan Bian Biau
Tan Bian Biau adalah majikan keluarga Karsonto. Bian Biau merupakan wakil
etnis Tionghoa yang masih memegang teguh prinsip bahwa etnis Tionghoa lebih
unggul daripada etnis Jawa. Bahkan Bian Biau meyakini bahwa orang Jawa dan
keturunan-keturunannya tidak mungkin memperbaiki nasib dan selamanya hanya
mampu menjadi jongos. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
“Pak Karsonto, bapake Karmodo
kuwi tilas jongosku. Ora bisa anake jongos dadi insinyur…,” celathune Bian Biau
karo menjep. ‘Pak Karsonto, bapaknya Karmodo itu bekas jongosku. Tidak akan mungkin anak jongos bisa jadi insinyur, kata Bian Biau sambil mencibir’ (Esmiet,
1977: 10-11).
Selain itu, Bian Biau juga tampil sebagai etnis Tionghoa dengan stigma
yang biasa melekat pada etnis Tionghoa yaitu licik,
eksklusif, kikir, dan srigala ekonomi, suka menyuap, dan mampu mengorbankan
segala hal demi uang. Srigala ekonomi memang tampak jelas dalam perwatakan Bian
Biau, sebagai wakil etnis Tionghoa generasi pertama dalam novel ini. Kelicikan
Bian Biau tampak dalam taktiknya dalam mempermainkan peraturan pemerintah dalam
hal pembukaan hutan sebagai lahan perkebunan. Menurut peraturan yang berlaku,
penduduk yang sanggup bekerja pada perusahaan diberi hak untuk menanam tanaman
lain, selain tanaman baku .
Tetapi kemudian tanah-tanah tersebut semuanya disewakan kepada Bian Biau, dan
para penduduk hanya bekerja untuk Bian Biau. Dengan jumlah tanah yang
berhektar-hektar tersebut Bian Biau mampu mengekspor hasil kebunnya sampai ke
Jepang. Hal ini kemudian diketahui oleh Karmodo yang diberi wewenang oleh
pemerintah untuk mengatur wilayah yang dikuasi oleh Bian Biau.
Karmodo bersikap keras kepada Bian Biau.
Bahkan mengancam akan menutup semua perkebunan yang disewa Bian Biau, karena
selama ini Bian Biau dianggap melanggar peraturan. Karena seharusnya hak
menanam di luar tanaman baku
tersebut merupakan imbalan kepada para pembuka lahan untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Tetapi ternyata malah disewakan kepada Bian Biau. Hal ini
menyalahi aturan dan Karmodo bermaksud untuk menegakkan aturan tersebut. Sifat
Bian Biau yang lain yaitu mampu melakukan apa saja demi uang. Untuk menaklukkan
Karmodo, berbagai cara dilakukan oleh Bian Biau dari usaha untuk menyuap,
sampai mengorbankan dua orang anaknya untuk menaklukkan hati Karmodo.
Sebenarnya Bian Biau sendiri juga
memperistri seorang perempuan Jawa, dan mempunyai satu orang anak yaitu Lien
Nio, tetapi Bian Biau tidak pernah berhubungan dengan keluarga istrinya yang
berasal dari etnis Jawa. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:
“Neng Parijatah, kowe mesthi arep menyang
omahe kulawarga saka ibumu, iya? Emane kowe wiwit cilik ora ditepungake marang
kulawarga ing Parijatah.” “Di Parijatah, kamu pasti akan menuju ke rumah
kerabat ibumu, iya? Sayangnya sejak kecil (kamu) tidak pernah dikenalkan dengan
kerabat yang ada di Parijatah.” (Esmiet, 1977: 60).
Bian Biau memang melarang anaknya
berhubungan dengan keluarga ibunya karena Biau Biau menganggap etnis Jawa
rendah dan hina. Seperti dalam kutipan berikut ini.
…Papah mesthi isih nganggep ina marang wong Jawa,
nganti Papah lali yen Mamah uga wong Jawa. Apa aku dudu turune wong
Jawa?...Papah pasti masih menganggap hina orang Jawa, sampai Papah lupa bahwa
Mamah juga orang Jawa. Apa aku juga bukan keturunan orang Jawa? (Esmiet, 1977:
13).
c.
Ing Hwat
Ing Hwat juga merupakan wakil generasi
pertama yang pada dirinya masih melekat kuat stereotip etnis Tionghoa. Ing Hwat
yang merupakan pedagang besar juga masih menganggap etnis Tionghoa lebih tinggi
derajatnya daripada orang Jawa. Hal ini tampak ketika anaknya Ing Liem
tertangkap basah memberi tumpangan kepada Karsini, seperti dalam kutipan
berikut.
Kowe apa arep gawe isinku, ya? Lha wong anake Pak Karsonto wae ndadak
kokboncengake barang. Kokjak sir-siran? Salawase wong Jawa iku potongan jongos,
potongan babu. Apa kowe ora isin karo kanca-kanca sabangsamu?” ‘Kamu ingin
membuatku malu, ya? Lha cuma anaknya Pak Karsonto saja harus kamu beri
tumpangan. Kamu ajak bersukaan? Selamanya orang Jawa itu potongan jongos, potongan
babu. Apa kamu tidak malu dengan teman-teman sebangsamu?” (Esmiet, 1977: 20).
Tokoh-tokoh yang mewakili generasi pertama dari dua etnis ini, dalam alur
cerita selanjutnya memperoleh penyadaran-penyadaran. Bapak/ Ibu Karsonto sadar
bahwa etnis Tionghoa juga bisa membaur dengan etnis Jawa, karena Karmodo,
anaknya sendiri berhubungan dengan keturuan etnis Tionghoa. Sedangkan Ing Hwat
dan Bian Biau mulai menghargai etnis Jawa, dan tidak melarang anak-anaknya
mempunyai hubungan dengan etnis Jawa. Walaupun ijin untuk berhubungan dengan
etnis Jawa ini masih didasari keinginan agar dekat dengan Karmodo, etnis Jawa
yang sekarang punya kekuasaan.
2. Generasi Kedua
Generasi kedua dalam novel ini diisi oleh tokoh-tokoh yang merupakan anak
dari generasi pertama. Tokoh-tokoh dari generasi kedua mempunyai cara pandang
yang berbeda kepada masing-masing etnis. Stigma yang selama ini melekat pada
pola pikir generasi pertama dikikis oleh para tokoh generasi kedua. Generasi
ini lebih menghargai etnis yang lain, dan cenderung menganggap tidak ada satu
etnis yang lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada etnis yang lain.
Beberapa pendapat generasi kedua mengenai etnis Jawa maupun etnis Tionghoa
dapat dilihat pada pembahasan berikut.
a. Karsini dan Ing Liem
Karsini dan Ing Liem merupakan wakil etnis Jawa dan Tionghoa generasi
kedua. Keduanya menjalin hubungan kasih, dan tentu saja hubungan ini ditentang
oleh orang tua masing-masing yang masih memegang teguh sentimen antaretnis.
Berbeda dengan pendapat orang tua masing-masing, Ing Liem dan Karsini mempunyai
pandangan yang berbeda tentang etnis Jawa dan etnis Tionghoa. Hal ini nampak
pada pembelaan Karsini kepada Ing Liem, maupun pembelaan Ing Liem saat hubungan
mereka ditentang baik oleh orang tua Karsini maupun Ing Liem. Seperti dalam
kutipan berikut.
“Sing arep dadi gundhik sapa ta, Mbok? Aran gundhik kuwi rak yen dirabi
singkek sing sadurunge wis
duwe anak bojo, mung diingoni thok tanpa diwenehi hak kaya dene wong bebrayan
lumrah. Balik Ing Liem kuwi niyate becik marang aku. Malah dheweke janji saguh
kawin cara agamaku. Coba? Apa kaya ngono kuwi gundhik?”
“Arepa janji piye wae, jenenge wong Jawa dikawin Cina kuwi nistha,
dakomongi. Nistha!” Emboke nggetak ora kalah santak (Esmiet, 1977: 21).
“Yang mau jadi gundik itu siapa Mbok? Yang dinamakan gundik itu kalau
dinikahi singkek yang sudah beranak istri, cuma dipelihara saja tanpa diberi
hak selayaknya orang berkeluarga. Sebaliknya Ing Liem punya niat baik. Malah
dia berjanji, sanggup untuk menikah dengan cara sesuai agamaku. Coba? Apa
seperti itu masih disebut gundik?”
“Walaupun sanggup berjanji seperti apapun, jika orang Jawa kawin dengan
Cina itu namanya nista, kuberitahu. Nista!” Ibunya membentak dengan suara yang
tidak kalah kerasnya.
Ing Liem sendiri sebagai wakil etnis Tionghoa generasi kedua menyadari
sepenuhnya bahwa selama ini etnis Tionghoa telah melakukan banyak hal-hal yang
merugikan. Ing Liem juga merasa bahwa etnis Tionghoa hanya menumpang hidup di
bumi Indonesia .
Oleh karena itu, dia bertekad untuk memperbaiki sikap etnis Tionghoa, walaupun
hanya di kalangan keluarganya. Seperti dalam kutipan berikut.
“Anu kok, Mas, aku isih panggah
ngugemi janjiku biyen. Kepengin melu ngowahi sikepe bangsaku sing melu nunut
urip ing bumi Indonesia
kene.” “Anu kok Mas, aku masih tetap menepati janjiku dulu. Ingin ikut merubah
sikap bangsaku yang menumpang hidup di bumi Indonesia ini.”
“Kasil ora? Saora-orane ing kalangane kulawargamu dhewe, ngono ta
janjimu biyen?” “Berhasil tidak?
Setidak-tidaknya di kalangan keluargamu sendiri, seperti itu kan janjimu dulu?” (Esmiet, 1977: 23).
b. Lien Nio
Lien Nio dalam novel ini adalah figur yang mengalami kegamangan karena
ketidakjelasan identitas dirinya. Di satu pihak, dia hidup dan dibesarkan di
lingkungan etnis Tionghoa, tetapi dalam berbagai hal dia menggugat cara-cara
yang dilakukan oleh ayahnya dalam usaha mengeruk keuntungan. Bahkan Lien Nio
memilih pergi dari rumah karena tidak mau menuruti nafsu serakah ayahnya untuk
merayu Karmodo demi mendapat ijin sewa tanah yang menjadi hak tanam para
pembuka lahan. Selain itu, dia juga tidak setuju dengan sikap etnis Tionghoa yang
selalu merendahkan dan menghina etnis Jawa.
Lien Nio berdarah campuran. Ibunya seorang etnis Jawa, sedangkan ayahnya
etnis Tionghoa. Keberadaan ibu kandung Lien Nio tidak jelas. Selama ini dia
tinggal bersama ayahnya Bian Biau dan ibu tirinya yang juga etnis Tionghoa, Bun
Lian Nio. Lien Nio juga tidak diijinkan untuk mengenal keluarga dari ibu
kandungnya karena ayahnya menganggap orang Jawa lebih rendah derajatnya,
sehingga dia melarang anaknya bergaul
dengan etnis Jawa.
Untuk mengatasi problem tentang kegamangan identitas dirinya, Lien Nio
melakukan peniruan atau mimikri dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan
orang Jawa. Mimikri pada dasarnya merupakan keinginan menjadi subjek yang
berbeda, yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, menyebutkan not
quite) (Bhabha, 1994: 86).
Mimikri yang dilakukan oleh Lien Nio meliputi peniruan dalam identitas
yang paling mendasar yaitu nama, cara berfikir, dan cara berpakaian. Karena mimikri
inilah, orang-orang dari etnis Jawa, walaupun dari generasi pertama pun
bersedia menerima kehadiran Lien Nio. Seperti keluarga Bapak Karsonto yang
tidak keberatan jika Lien Nio menikah dengan Karmodo. Hal ini tampak dalam
kutipan berikut.
“Nek prekara sesambungane masmu karo Lien Nio, aku lan embokmu ora
kabotan. Jalaran Lien Nio kuwi njawani katimbang nyinani. Mula aku setuju.
‘Kalau masalah hubungan kakakmu dengan Lien Nio, aku dan ibumu tidak keberatan.
Karena Lien Nio lebih njawani daripada
nyinani. Makanya aku setuju’.
(Esmiet, 1977: 22).
Lie Nio berusaha menanggalkan identitas dirinya sebagai etnis Tionghoa
dengan cara mengganti nama Tionghoa-nya dengan nama Jawa Tarlinah, dan merubah
cara berpakaiannya seperti orang Jawa, seperti dalam kutipan berikut.
“Kira-kira wae, kowe iki mrina,
jalaran wong tuwamu seneng ngenyek marang wong Jawa. Mangka ibumu kuwi wong
Jawa.”
“Nitik kowe banjur macak cara
Jawa, lan kowe ora seneng yen diundang Lien Nio.” Lien Nio isih meneng.
“Awit kowe wis
duwe jeneng Jawa, yaiku Tarlinah, rak iya ta?”
Lagi Lien Nio manthuk. Nanging eluhe isih dleweran. (Esmiet, 1977: 60).
“Kira-kira saja, kamu ikut tidak terima, karena orang tuamu suka
menghina orang Jawa. Padahal ibumu sendiri orang Jawa.”
“Melihat kamu kemudian berdandan ala Jawa, dan kamu tidak suka jika
dipanggil Lien Nio.” Lien Nio masih terdiam.
“Karena kamu sudah punya nama Jawa, yaitu Tarlinah, iya kan ?” Lien Nio kemudian
mengangguk. Tetapi air matanya masih mengalir deras.
Lien Nio juga berusaha untuk menegaskan identitasnya sebagai etnis Jawa.
Hal ini nampak pada kutipan beerikut.
“Niki mpun tekan, Yuk,” kandhane
tukang dhokar kuwi.
“Ampun ngundang Yuk teng kula, Pak. Kula sanes Cina,” semanthane
Lien, ewa. Apa maneh dheweke wektu iku menganggo jaritan (Esmiet, 1977: 57).
“Sudah
sampai, Yuk,” kata tukang dokar itu.
“Jangan
panggil saya Yuk, Pak. Saya bukan orang Cina, kata Lien dengan perasaan kurang
senang. Apalagi saat itu dirinya memakai kain.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang
positif. Hal tersebut dalam rangka mendapatkan pengakuan dan persamaan sosial.
Jika identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga, akan muncul
fenomena misidentification, yaitu
upaya untuk mengidentifikasi diri pada kelompok lain yang dianggap lebih baik.
Dalam hal ini Lien Nio yang besar di lingkungan etnis Tionghoa lebih memilih
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok etnis Jawa, yang menurutnya lebih
baik, dan sesuai dengan identitas ibu kandungnya (Susetyo, tt).
c. Karmodo sebagai Pendobrak Stigma Etnis Jawa
Stigma sebagai etnis rendahan, miskin, dan selalu tunduk pada etnis
Tionghoa melekat pada etnis Jawa. Stigma ini dalam novel TTJ, masih muncul pada orang tua Karmodo, yaitu Pak Karsonto. Pak
Karsonto sekeluarga bekerja sebagai jongos di rumah Bian Biau, seorang etnis
Tionghoa. Selama bekerja, orang tua Karmodo diperlakukan dengan tidak adil.
Bahkan selama 30 tahun masa kerjanya, orang tua Karmodo dianggap masih mempunyai
setumpuk hutang kepada Bian Biau.
Narator selaku fokalisator ekstern menggambarkan sosok Karmodo sebagai deus ex machina dalam pengertian klasik
sebagai ‘dewa yang turun dari langit’. Bertahun-tahun Karmodo menghilang tanpa
jejak. Tidak diceritakan secara logis mengenai keberadaan Karmodo, dan secara
tiba-tiba setelah 10 tahun kepergian Karmodo, pemuda ini hadir sebagai sosok
tak terkalahkan yang mempunyai pangkat dan kekuasaan melebihi Bian Biau,
majikannya terdahulu. Narator secara intensif menggambarkan sosok Karmodo
sebagai penguasa. Pada bab pertama, tampak bahwa Karmodo ingin merombak sistem
penggarapan hutan yang diatur secara licik oleh Bian Biau, seorang etnis
Tionghoa yang selama ini dengan bebas memutarbalikkan aturan pemerintah dalam
hal penebangan hutan demi keuntungannya sendiri. Melalui fokalisasi, tampaknya
stigma negatif tentang ketidakberdayaan etnis Jawa berusaha untuk dikikis. Oleh
narator, Karmodo sebagai orang Jawa diunggulkan. Beberapa kutipan yang
menampilkan kekuasaan Karmodo tampak dalam kutipan berikut ini.
Saiki Ir. Karmodo wiwit migunakake sikepe penggedhe kang arep nyrengeni andhahane. Dheweke mbenakake
lungguhe, terus rembugan sarwa cekak ngudhal prabawa. ‘Sekarang Ir. Karmodo
menggunakan sikapnya sebagai seorang pembesar yang akan memarahi anak buahnya.
Dia membenarkan letak duduknya, lalu berbicara pendek-pendek, menebar
kewibawaannya’ (Esmiet, 1977: 8).
Senajan basane Pak Direktur marang
dheweke isih jangkep, nanging Kaudin krasa banget yen prentah iku ora kena
dilirwakake. ‘Walaupun bahasa Pak Direktur kepada dirinya masih sopan, tetapi
Kaudin merasakan sekali bahwa perintah tersebut tidak boleh disepelekan’ (Esmiet, 1977: 9).
Bareng wong-wong sing padha kaceluk lan misuwur iku malah prasasat padha nyembah marang Karmodo, wong-wong
Kalidawir lagi padha ngerti yen anake Pak Karsonto iku tetela dudu wong baen-baen ‘Saat orang-orang yang
terkenal dan berkedudukan tinggi itu sekarang malah menyembah Karmodo,
orang-orang Kalidawir baru paham kalau anak Pak Karsoto itu ternyata bukan
orang sembarangan’ (Esmiet, 1977: 19).
Ing Hwat, sing duwe toko gedhe dhewe ing pasar Kalidawir banjur ngerti
yen Karmodo saiki dadi wong pangkat,
malah ngluwihi Pak Mujahit. Mula niyate sing arep nembung Karsini supaya dadi
rewang ing omahe, sakala diwurungake. ‘Ing Hwat, yang memiliki toko paling
besar di Pasar Kalidawir kemudian paham kalau sekarang Karmodo sudah jadi orang
berpangkat, malah melebihi Pak Mujahit. Oleh karena itu, niatnya untuk meminta
Karsini menjadi pembantu di rumahnya, saat itu juga langsung diurungkan’
(Esmiet, 1977: 19).
Kemejane putih lengen dawa lan clana biru laut iku durung tau metu saka
koper. Klambi iku klambi pethingan. Aja bakal sowan ing ngarsane penggedhe ora bakal nganggo setelan iku ‘Kemeja
putih lengan panjang dan celana biru laut itu belum pernah keluar dari koper.
Baju itu baju andalan. Jika bukan karena ingin menghadap pembesar, tidak akan
mungkin setelan itu dipakai’(Esmiet, 1977: 32)
Bian Biau krasa puyeng sirahe. Wis
ana lapuran marang dheweke yen Pak Mujahit ora kasil nelukake atine insinyur mudha Karmodo ‘Bian Biau merasa
pusing. Sudah ada laporan padanya kalau Pak Mujahit tidak berhasil menaklukkan
hati insinyur muda Karmodo’ (Esmiet, 1977: 37).
Kutipan-kutipan di atas merupakan penggambaran narator yang bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang kekuasaan Karmodo. Karmodo sendiri
digambarkan sebagai seorang raja kecil di daerah kekuasaannya. Karmodo hadir
sebagai seorang penguasa yang sontak memutarbalikkan keadaan yang sudah
berpuluh tahun berjalan di Kalidawir. Narator berusaha membangun image bahwa Karmodo berkedudukan jauh di
atas orang-orang yang selama ini berkuasa di Kalidawir. Mulai dari para mandor
yang selama ini dikendalikan oleh etnis Tionghoa sampai Bian Biau, etnis
Tionghoa yang menguasai perekonomian di Kalidawir.
Narator secara intensif membangun image Karmodo. Jika Karmodo sedang
berhubungan dengan pelaku cerita yang lain, narator cenderung menggunakan kata
ganti yang diberi embel-embel dengan kata Pak, maupun gelar Insinyur atau Insinyur mudha. Kutipan di atas juga
menunjukkan bahwa narator berusaha untuk menampilkan Karmodo yang notabene
sebagai wakil etnis Jawa sebagai super
hero, penguasa semua orang, penakluk, penentu nasib orang lain, orang yang
kekuasaannya melebihi siapapun, ditakuti, disegani, dihormati, bahkan disembah oleh
semua orang. Diceritakan pula ada beberapa orang yang gemetar ketakutan bila
berhadapan dan berbicara langsung dengan Ir. Karmodo.
Kutipan nomor empat di atas juga menunjukkan kekaguman salah satu orang
terkaya di daerah Kalidawir, yang juga merupakan etnis Tinghoa kepada Karmodo.
Kutipan tersebut memberi pesan bahwa orang Tionghoa pun kagum akan kekuasaan
Karmodo, sehingga keinginan untuk menjadikan etnis Jawa pada generasi kedua,
dalam hal ini diwakili oleh Karsini (adik Karmodo) yang merupakan etnis Jawa, pada
kedudukannya semula (sebagai pembantu) diurungkan. Karena orang Jawa generasi
kedua (terwakili oleh Karmodo) bukan stereotip orang Jawa dahulu yang hanya
bisa berkedudukan sebagai pembantu.
Tampilnya Karmodo merupakan media pencapaian angan-angan kolektif orang
Jawa yang selama ini ditempatkan pada lapisan sosial di bawah etnis Tionghoa.
Karmodo merupakan sosok etnis Jawa yang dikedepankan untuk mendobrak stigma etnis
Jawa yang selama ini terbangun. Karmodo merupakan generasi kedua yang berbeda
jauh kedudukannya dengan orang tuanya yang hanya merupakan jongos etnis
Tionghoa. Karmodo merupakan penguasa, pembesar, orang berpangkat yang
kedudukannya di atas etnis Tionghoa yang selama ini menjadi majikan orang
tuanya.
Selain digambarkan sebagai penguasa, pembesar, dan lain-lain Karmodo juga
digambarkan mempunyai sifat-sifat positif yang menonjol. Hal ini juga merupakan
media penyalur angan-angan kolektif orang Jawa tentang sifat orang Jawa
sebenarnya. Beberapa kutipan tentang penggambaran sifat-sifat Karmodo tampak
dalam kutipan berikut ini.
“Ngadhepi pimpinan siji iki repot, Yuk. Dheweke ora tedhas sogokan!”
Bian Biau banjur mepetake lambene menyang kupinge Lauri. Bisik-bisik. Lauri gebes
maneh. “Gak isa Yuk. Tuan Ali, pedagang
kayu saka Bandawasa, tau diusir warasan jalaran nawani bangsane ngono-ngono
iku.” Sopire sumambung: “Embuh nek Cik Lien sing sampeyan wenehake.”
“Menghadapi pimpinan satu ini repot Yuk. Dia tidak mempan disuap!” Bian
Biau lalu merapatkan bibirnya ke telinga Lauri. Membisikkan sesuatu. Lauri
menggeleng lagi. “Tidak bisa Yuk. Tuan Ali, pedagang kayu dari Bandawasa,
pernah diusir mentah-mentah karena menawarkan hal-hal seperti itu.” Sopirnya
menyambung: “Entah kalau Cik Lien yang Anda berikan.”
Kutipan di atas
semakin memberikan gambaran superioritas Karmodo. Etnis Jawa yang pada masa
tersebut mempunyai tipikal mudah disuap dan penurut.Karmodo dibangun sebagai
sosok pemimpin yang tidak mempan disuap, disogok, dan tidak suka main
perempuan.
Novel TTJ merupakan novel
dengan skenario untuk mengasimilasikan etnis Tionghoa agar bisa berbaur dengan
etnis Jawa melalui proses perjodohan. Beberapa peristiwa yang terjalin dalam
novel ini mengindikasikan bahwa etnis Jawa pun merupakan pilihan yang tidak
kalah berharga untuk dijadikan pasangan bagi etnis Tionghoa. Hal ini tercermin
dalam kisah cinta antara Siau Yung dan Ing Liem. Siau Yung dan Ing Liem semula
sudah bertunangan, tetapi selanjutnya Ing Liem lebih memilih perempuan dari
etnis Jawa, yaitu Karsini untuk dijadikan kekasihnya. Begitu pula dengan Siau
Yung, dia lebih memilih laki-laki dari etnis Jawa, yaitu Karmodo untuk dipilih
sebagai pasangan daripada Ing Liem, walaupun Karmodo lebih memilih kakak Siau Yung
yang merupakan campuran Jawa-Tionghoa untuk menjadi pasangannya.
Selain mengusung misi pembauran etnis Jawa-Tionghoa, novel ini juga
menempatkan Karmodo, wakil dari etnis Jawa dalam posisi puncak, yaitu sebagai
pemimpin yang kekuasaannya melebihi penguasa ekonomi dari etnis Tionghoa.
Kekuasaan Karmodo ini diperkuat dengan sifat-sifat positif yang ada pada
dirinya. Melalui kekuasaan dan sifat-sifat positif inilah etnis Jawa dalam
novel ini mampu meruntuhkan stereotip negatif mengenai etnisnya.
Pada akhir novel pembaca dibawa pada alur cerita yang mengejutkan dan
mengharukan. Diceritakan adanya sekelompok bawahan Karmodo yang menghasut para
petani penggarap untuk berdemonstrasi melawan kekuasaan Karmodo, untuk meminta
kembali lahan garapan mereka yang dulu dikuasai oleh Bian Biau sebagai majikan.
Karmodo sebagai sasaran demonstrasi akhirnya diselamatkan oleh Lien Nio yang
mewarisi usaha Bian Biu. Kejadian ini menyebabkan hubungan Karmodo dan Lien Nio
yang berakhir karena adanya konflik dan kesalahpahaman kembali bersemi. Mereka
berdua akhirnya bersatu. Penyatuan cinta ini dalam novel TTJ ditanggapi seperti dalam kutipan berikut.
“Nanging yen Lien Nio beda Kang. Dheweke kuwi calon garwane Pak
Karmodo. Olehe tunangan wis
suwe. Malah kabar wiwit Pak Karsonto dadi jongose Bian Biau.”
Rembug iki mesthi wae nuwuhake pengarep-arep becik. Grombolane
wong-wong sing padha ngrasani nasibe kuwi sakala katon sigrak. Katon bingar
dadakan…(Esmiet, 1977: 92).
“Tapi kalau Lien Nio berbeda Kang. Dia itu calon istrinya Pak Karmodo.
Sudah lama bertunangan. Malah kabarnya sejak Pak Karsonto jadi jongosnya Bian
Biau”
Pembicaraan ini sudah pasti menumbuhkan harapan-harapan baik.
Gerombolan orang yang sedang membicarakan nasibnya itu, langsung terlihat bersemangat.
Cerah ceria seketika…
Kutipan di atas mengandung makna bahwa penyatuan cinta Karsini-Ing Liem
dan Karmodo-Lien Nio yang merupakan gambaran pembauran etnis Jawa dan Tionghoa
akan memberikan angin segar dan harapan baru bagi kehidupan masyarakat, baik
etnis Jawa maupun Tionghoa pada masa yang akan datang.
E. Penutup
Novel Tunggak-Tunggak Jati
merupakan novel yang memuat keinginan dan angan-angan kolektif etnis Jawa untuk
menempatkan dirinya sejajar, bahkan lebih tinggi daripada etnis Tionghoa yang dalam
ordonansi warisan kolonial berada satu tingkat lebih tinggi. TTJ juga mengisyaratkan pentingnya
asimilasi dan pembauran antaretnis Jawa dan Tionghoa. Novel ini juga mengusung
amanat bahwa pada generasi kedua (generasi penerus), sentimen antaretnis Jawa-Tionghoa
tidak perlu terjadi lagi, kesejajaran antaretnis Jawa dan Tionghoa dapat selalu
terpelihara sehingga tidak timbul deskriminasi-deskriminasi etnis yang
merugikan berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of
Culture. London :
Routledge.
Budiman, Manneke. 2006. “Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik Pasca
Kolonial” dalam Clearing a Space, Kritik
Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia
Modern. (ed. Foulcher dan Day, Keith dan Tony). Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia .
Esmiet. 1977. Tunggak-Tunggak
Jati. Jakarta :
Pustaka Jaya.
Faruk. 2007. Belenggu
Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia . Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Liliani, Else. 2007. “Struktur Naratif 9 Oktober 1740 Karya Remy
Silado: Sebuah Kajian Poskolonial”. Tesis
S2. Yogyakarta : Pascasarjana UGM.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University
Press.
Pemilia, Kartika. 2006. “Geliat Muslim Tionghoa di Kota Pahlawan”
diakses dari www.swaramuslim.net pada
27 November 2007.
Purwanto, Bambang. 2007. “Menjadi
Jawa di Tengah-Tengah Pengasingan yang Berlanjut (Pengantar)” diakses dari www.mail-archive.com pada 26 November
2007.
Suryadinata, Leo. 2003. “Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran
Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan Antaretnis” diakses dari iccsg.wordpress.com pada 27 November 2007.
Susetyo, Budi DP. - . “Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia” diakses
dari http: www.unika.ac.id pada 26 November
2007.
Wahid, Abdul. 2003. “Proses Menjadi (Tidak) Indonesia ?, Persepsi dan Memori
Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta” dalam Identitas
dan Poskolonialitas di Indonesia. (ed. Budi Susanto). Yogyakarta :
Kanisius.
Winarta, Frans Hendra. 2005. “Hambatan
Sosial Budaya dalam Pembauran Masyarakat Tionghoa dengan Masyarakat Lokal”
diakses dari www.komisihukum.go.id/ pada 27 November 2007.
Menarik sekaliiiii ^^
ReplyDeleteNyastra bener admin blog ini.
Hahahaha ... oh reviewer-ku tersayang
Deleteselamat membingkai multikultural...tunggak tunggak jati semi...
ReplyDeleteThank uuuu .... semoga kita juga selalu bersemi
Delete