PENINGKATAN KETRAMPILAN APRESIASI SASTRA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DENGAN MEDIA CAMPURSARI PADA SISWA KELAS XI IPA 1 SMAN 2 BANGUNTAPAN
A.
PENDAHULUAN
Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor: 423.5/0912
tanggal 29 Maret 2005 menetapkan bahwa pelajaran bahasa Jawa harus diajarkan di
SMA/SMK/MA yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai muatan
lokal wajib. Berbagai permasalahan seputar proses belajar mengajar bahasa Jawa
di SMA mengemuka dalam berbagai forum. Kondisi ini kerap menjadi rasanan ‘bahan pembicaraan’ antarguru.
Berdasarkan permasalahan yang sering dikeluhkan oleh guru, guru-guru bahasa
Jawa di SMA sering mengalami kesulitan dalam pengembangan bahan karena
keterbatasan pengetahuan mengenai literatur yang dapat menjadi acuan. Hal ini
dikarenakan sebagian besar guru bahasa Jawa di SMA bukan merupakan guru dengan
latar belakang pendidikan yang sama dengan mata pelajaran yang diampunya.
Selain keterbatasan literatur, guru-guru juga kesulitan untuk mendapatkan
media yang sesuai dengan materi pembelajaran. Jadi sebagian guru hanya mengajar
dengan sistem text book ‘menuang dari
buku ajar’ kemudian disampaikan kepada para siswa. Kurangnya responsifnya siswa
terhadap pelajaran yang diajarkan dikarenakan oleh berbagai faktor juga menjadi
salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh para guru. Salah satu hal yang
kerap dikeluhkan oleh guru dalam mata pelajaran bahasa Jawa adalah pembelajaran
kompetensi sastra. Memang pengajaran sastra di sekolah merupakan topik hangat
yang selalu mengemuka dalam berbagai diskusi maupun seminar sastra. Semua
diskusi tersebut berujung pada satu kesimpulan bahwa pengajaran sastra di
sekolah dianggap tidak berhasil.
Banyak faktor yang dianggap sebagai biang keladi ketidakberhasilan
pembelajaran sastra di sekolah. Salah satu faktor penyebabnya adalah mekanisme
masih dicangkokkannya pembelajaran sastra dalam pembelajaran bahasa. Hal ini
memunculkan anggapan bahwa pelajaran sastra dianggap kurang begitu penting.
Selain itu, juga berimplikasi pada alokasi waktu yang sangat terbatas untuk
mengajarkan sastra di sekolah (Hidayat, 2002: 106). Kesimpulan lain lebih
menuding guru sebagai penyebab terupuruknya pembelajaran sastra di sekolah.
Kesimpulan ini didukung oleh hasil penelitian Yus Rusyana (1999) yang
menyatakan bahwa sekitar 41% guru kurang mengetahui bagaimana cara mengajarkan
sastra.
Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah, juga memadukan antara bahasa
dan sastra. Untuk pengajaran sastra Jawa, keadaannya diperparah dengan adanya
pengetahuan yang sangat dangkal dari para siswa mengenai bentuk-bentuk
kesastraan Jawa. Disebabkan saat ini para siswa sendiri kurang menguasai bahasa
Jawa, sehingga timbul keengganan mereka untuk membaca dan mempelajari
bentuk-bentuk kesusastraannya. Kurangnya penggunaan media pembelajaran yang
menarik dan atraktif juga membuat siswa bosan dan kurang bergairah dalam
mengikuti pelajaran.
Bentuk-bentuk sastra Jawa, dewasa ini sebenarnya muncul dalam gubahan
baru. Misalnya yang dapat dijumpai pada puisi, drama, maupun cerita pendek.
Bentuk-bentuk sastra Jawa juga muncul pada teks-teks lagu campursari yang
populer dan dikenal luas oleh masyarakat Jawa dalam berbagai usia. Para siswa
SMA juga cukup familier dengan lagu-lagu campursari. Tidak jarang mereka juga
hafal lirik lagu maupun iramanya. Namun para siswa tidak sadar bahwa sebenarnya
dengan tidak sengaja mereka telah menghafal bentuk-bentuk kesastraan Jawa yang
digunakan dalam syair lagu campursari.
Bentuk-bentuk kesastraan Jawa dalam lagu campursari cukup beragam.
Misalnya yang berbentuk purwakanthi,
parikan, wangsalan, pepindhan, dan lain-lain. Tentunya bentuk-bentuk sastra
dalam syair lagu campursari akan lebih membekas di benak para siswa daripada
bentuk-bentuk sastra ini diajarkan dengan teknik hafalan seperti biasa. Oleh
karena itu, campursari bisa digunakan sebagai salah satu media pembelajaran
alternatif yang menarik dalam mengajarkan sastra Jawa.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencobakan
campursari sebagai media pembelajaran sastra di SMA. Sekolah yang akan dipakai
sebagai setting penelitian adalah SMAN 2 Banguntapan yang dahulu lebih dikenal
sebagai SMAN 12 Yogyakarta. SMA ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena
berdasarkan diskusi dengan guru, para siswa masih kesulitan dalam menerima
pelajaran mengenai sastra Jawa. Selain itu berdasarkan pengamatan, selama
peneliti menjadi pembimbing PPL di sekolah ini, guru mata pelajaran bahasa Jawa
maupun siswa-siswanya cukup kooperatif dalam menerima mata pelajaran bahasa
Jawa.
B.
KESUSASTRAAN
JAWA
Kesusastraan Jawa adalah semua bentuk hasil karya adi luhung yang memuat
keindahan-keindahan yang digubah dengan menggunakan bahasa Jawa. Menurut
Padmosoekotjo (1953:10-11), sastra Jawa tidak terbatas pada karya yang tertulis
dalam naskah-naskah maupun buku-buku, tetapi juga sastra lisan. Tidak terbatas
pula pada karya yang ditulis dengan aksara Jawa, tetapi bisa ditulis pula
dengan aksara Latin, Arab, maupun aksara yang lain. Selain itu, karya sastra
juga tidak dibatasi pada hasil karya suku Jawa. Karya siapapun bisa disebut
dengan karya sastra Jawa jika memenuhi kriteria tersebut di atas.
Kasusastran Jawa dapat dibentuk dari keindahan sastra sebagai berikut:
(1) tembung saroja, (2) yogyaswara, (3) tembung garba (sandi), (4) rura
basa, (5) kerata basa, (6) tembung entar, (7) paribasan, (8) bebasan,
(9) saloka, (10) sanepa, (11) cangkriman, (12) wangsalan, (13) dasanama, (14) purwakanthi,(15) parikan, (16) guritan, (17) ukara
sesumbar, (18) gugon tuhon, (19) donga dan japa mantra, (20) isbat, (21) suluk, (22) pralambang, (23) basa paprenesan, (24) kasusastran kang tinemu ana ing gendhing, (25) pepindhan, (26) candra, (27) basa rinengga, (28) sandi asma, dan (29) sengkalan.
Pembagian di atas bukan berarti bahwa sastra Jawa bisa dipisah-pisahkan.
Pembagian menjadi 29 macam tersebut diumpamakan sebagai unsur-unsur pembangun
suatu karya sastra Jawa. Jika hasil karya sastra Jawa diumpamakan sebagai
makanan, maka 29 bentuk sastra Jawa di atas merupakan bahan-bahan mentah
sekaligus bumbunya. Karya sastra Jawa yang memenuhi kriteria keindahan harus
memenuhi syarat sebagai berikut: (1) memakai paramasastra ‘tata bahasa’ sebagai pedoman, (2) menggunakan bahasa
indah, dan (3) menter ‘berisi’
(Padmosoekotjo, 1953: 20).
C.
CAMPURSARI
1.
Pengertian
Campursari
Salah satu kesenian yang banyak menggunakanbentuk-bentuk sastra adalah
campursari. Kesenian campursari merupakan jenis musik baru yang mulai dikenal
pada era tahun 80-an. Campursari, dalam waktu singkat berkembang dan menyebar
secara luar biasa. Bahkan sebanding dengan penyebaran pop Barat. Campursari
merupakan percampuran musik yang terdiri dari beberapa unsur dasar karawitan,
keroncong/ langgam, dan musik pop (Setiono, 2003: 198). Campursari pada umumnya
menggabungkan instrumen diatonis dan pentatonis secara harmonis. Alat musik
yang biasa dipakai adalah piano, rebab, gitar, saron, demung, kendang, dan
gong. Campursari paling tidak dapat menjelma dalam lima wujud, yaitu (1) lelagon campursari, (2)
Sekar Gendhing Campursari, (3)
Macapat Campursari, (4) Lelagon Dolanan Campursari, dan (5) Langgam Campursari.
Sesuai dengan hasil penelitian BAPEDA DIY (2004), kesenian campursari,
berkembang secara pesat di masyarakat dewasa ini. Berdasarkan hasil penelitian,
didapatkan data bahwa 100% responden, menyatakan bahwa campursari masih hidup
di lingkungan mereka. Walaupun berdasar pada bentuk kesenian tradisi Jawa yang
menggunakan gamelan, namun kesenian ini dapat berpadu secara selaras dengan
alat musik modern. Campursari merupakan kesenian yang sangat fleksibel sehingga
mampu diterima masyarakat luas. Kesenian ini semakin berkembang, sejalan dengan
maraknya industri rekaman yang mengemas produk campursari secara modern melalui
format VCD, DVD, dan lain-lain yang disiarkan secara luas melalui televisi.
Kehadiran televisi lokal dewasa ini juga berperan besar pada perkembangan
campursari.
Dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, campursari juga berpadu dengan
jenis-jenis musik yang lain seperti keroncong, dangdut, pop, dan lain-lain.
Syair dan daya tarik penyanyi campursari yang kian variatif juga mendorong
campursari makin mengedepan di masyarakat. Kehadiran campursari kian marak di
upacara-upacara tradisi, panggung-panggung hiburan, dalam pertunjukan wayang, dan lain-lain.
2.
Bentuk-Bentuk
Sastra dalam Campursari
Bentuk-bentuk sastra Jawa banyak diterapkan dalam campursari. Beberapa
contoh penerapannya menurut Sulastiani (2001: 198-214) dalam dilihat dalam
paparan berikut.
a. Tembung wancahan ‘singkatan’, yaitu tembung siji kang disuda wandane sarana
dibuwang, ora dianggo ‘satu kata yang dikurangi suku katanya dengan cara
dibuang atau tidak dipakai. Contohnya Ndak pundi Mbak-ayu, badhe tindak pundi. Kata tindak yang terdiri dari dua suku kata, dikurangi satu suku
katanya, sehingga kata tindak menjadi
ndak.
b. Purwakanthi
Purwakanthi menurut Sutrisno
(1982: 125-125), terbagi menjadi tiga, yaitu (1) purwakanthi guru swara, (2) guru
sastra, dan (3) basa atau lumaksita. Purwakanthi guru swara adalah
purwakanthi yang memakai swara atau vokal sebagai pedoman.
Contohnya Critane wayang Ramayana, ing negara Ngalengkadiraja, ratu buta Rahwanaraja, gawe geger
nyolong Dewi Sinta. Purwanthi guru sastra adalah
purwakanthi yang memakai pedoman sastra atau
aksara ‘bunyi konsonan’. Contoh: Pemudhi iku polatane ruruh, tandange sarta rereh, ririh,
angarah-arah. Purwakanthi
basa atau lumaksita adalah purwakanthi yang menggunakan basa dalam pengertian ini adalah kata,
sebagai pedomannya. Jadi yang diulang adalah katanya. Contoh: jamane mas jaman
edan, edan tenan jaman semana,
semune katon katingal kawistara, jam-jame jaman
c. Parikan
Parikan yaitu salah satu bentuk sastra Jawa dengan aturan sebagai
berikut: (1) satu bait terdiri dari 2 baris, (2) setiap kalimat terdiri dari
dua baris, (3) baris kedua jumlah suku katanya 4 atau 8, sedangkan baris
pertama selalu 4 suku kata, (4) dhong-dhing,
atau bunyi pada akhir baris 1 harus runtut dengan baris 3, sedangkan bunyi
akhir baris 2 harus runtut dengan baris 4 dan menggunakan purwakanthi guru swara, dan (5) kalimat pertama sebagai sampiran,
kalimat kedua sebagai isi. (Padmosoekotjo, 1953: 64). Contoh parikan: pitik cilik ana ngembong, pikir dhisik lagi
ngomong. Parikan dalam campursari biasanya lebih sederhana dan cenderung bebas.
d. Wangsalan
Wangsalan yaitu ungkapan yang mirip dengan cangkriman, tetapi biasanya tebakannya disebutkan. Tebakan tersebut
tidak ditampakkan secara eksplisit, tetapi disamarkan. Contohnya wohing
aren mbok ya eling dhek semana. Wohing aren=kolang-kaling.
e. Pepindhan
Pepindhan yaitu ungkapan bahasa
yang mengandung perbandingan dan perumpamaan. Bentukan pepindhan sering menggunakan kata umpama, kaya, lir, kadya, atau pindha
(Subalidinata, 1981: 20). Contoh pepindhan
contohnya umpama sliramu sekar
melathi, aku kumbang nyidham sari. Umpama slirami margi wong manis, aku kang
bakal ngliwati.
f. Cecandran
Cecandran yaitu semacam pepindhan, yaitu ungkapanyang mengandung
perbandingan serta mengandung persamaan yang di dalamnya berisi perbandingan
keindahan (Subalidinata, 1981: 82). Contoh cecandran dalam campursari adalah mobat-mabit mung mripatmu, damar kanginan.
D.
KONDISI
PEMBELAJARAN SASTRA JAWA DI SMA
Pembelajaran bahasa Jawa di SMA mulai diberlakukan sebagai muatan lokal
wajib berdasarkan SK dari Gubernur DIY Nomor: 423.5/0912 tanggal 29 Maret 2005.
Pembelajaran bahasa Jawa diberlakukan sebagai muatan lokal wajib di 4 kabupaten
(Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul) dan 1 kota (Kotamadya Yogyakarta)
di wilayah DIY. Pembelajaran sastra Jawa di SMA pada umumnya sama dengan
pembelajaran sastra Indonesia .
Hanya saja kondisi pembelajaran sastra Jawa di SMA lebih buruk dibandingkan
dengan kondisi pembelajaran sastra Indonesia . Hal ini disebabkan
karena beberapa hal, di antaranya (1) siswa sudah tidak mengenal bentuk-bentuk
karya sastra Jawa, (3) mayoritas siswa memilih berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia, sehingga mengalami kesulitan dalam apresiasi sastra, karena terhambat
dalam segi bahasa.(4) masih menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang
konvensional, (5) kurangnya media pembelajaran yang mampu menarik dan
memotivasi siswa, (6) kurangnya sarana prasarana, termasuk buku-buku penunjang,
dan (7) guru kurang menguasai materi, karena mayoritas guru bahasa Jawa SMA
tidak mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Jawa.
Kondisi ini harus segera diperbaiki, agar mendapatkan hasil yang
signifikan bagi peningkatan kualitas belajar mengajar. Dinyatakan pula oleh (Suminto,
2001: 46), bahwa (1) pembelajaran sastra harus kreatif. Cara-cara tradisional
yang lebih bersifat verbalistik dan inner
ideas sudah saatnya ditinggalkan, diganti cara yang dinamis dan kreatif,
(2) sekolah bukan tempat menghafal, jadi pembelajaran sebaiknya lebih
ditekankan pada pemahaman bukan hanya hafalan.
E. CARA
PENELITIAN
1.
Pendekatan
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (classroom
action research). Konsep pokok dalam penelitian terdiri dari empat komponen
pokok, yaitu (1) perencanaan; (2) tindakan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi.
Hubungan keempat komponen dipandang sebagai satu siklus.
2.
Subjek
Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan
Bantul. Tindakan akan dicobakan pada kelas XI IPA 1. Pemilihan tingkatan kelas
yang akan subjek penelitian disesuaikan dengan kurikulum muatan lokal yang
dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DIY (2006: 7). Tertulis dalam
kurikulum bahwa standar kompetensi untuk siswa kelas XI pada semester gasal
untuk ketrampilan menyimak dan berbicara adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Kurikulum yang Memuat Materi Campursari
Menyimak
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
||
1.
|
Memahami dan menanggapi
berbagai wacana lisan tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa dari berbagai
sumber
|
1.2
|
Menyimak, memahami, dan
menanggapi campursari melalui berbagai media
|
Berbicara
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
||
2.
|
Mampu mengungkapkan pikiran,
gagasan, dan pendapat dalam berbagai bentuk wacana lisan tentang bahasa,
sastra, dan budaya Jawa, dengan menggunakan santun bhs atau unggah-ungguh bahasa sesuai dengan
konteks budaya
|
2.2
|
Melagukan tembang campursari
|
Oleh karena itu,
penelitian ini selaras dengan kurikulum dan disampaikan pada waktu dan subjek
penelitian yang tepat, yaitu pada siswa kelas XI dan disampaikan pada semester
gasal.
3.
Instrumen
Penelitian
Instrumen yang digunakan yaitu tes, lembar pengamatan, dan angket. Dasar
pengamatan terdiri dari kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra.
4.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa pre test pada
awal dan post test pada akhir siklus. Pengumpulan data yang kedua dengan
lembar pengamatan yang memberi pernyataan tentang hal-hal yang terjadi selama
PBM. Pengumpulan data juga dilakukan dengan angket setiap akhir siklus, untuk
menjaring hal-hal yang masih menjadi permasalahan seputar PBM.
5.
Rencana
Tindakan
Penelitian berlangsung dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari
perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan, serta refleksi.
a. Siklus 1:
Pada tahap perencanaan, dipersiapkan langkah-langkah (tindakan)
sebagai berikut: (1) Materi pembelajaran sastra yang terkait dengan
identifikasi dan analisis bentuk-bentuk sastra dalam campursari (2) menyebutkan
bentuk-bentuk sastra dalam campursari; (3) penerapan media campursari; (4)
angket dan lembar pengamatan untuk identifikasi kesulitan dan (5) pre-test dan
post-test.
Pada tahap implementasi tindakan dan pengamatan, langkah-langkah
yang dilakukan sebagai berikut: (1) selama kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan
apresiasi sastra digunakan campursari; (3) mengidentifikasi dan menganalisis
bentuk-bentuk sastra yang ada dalam campursari (4) belajar menulis
bentuk-bentuk sastra seperti yang dicontohkan dalam campursari, (5) pre-test
dan post-test.
b. Siklus 2:
Siklus 2 terdiri dari perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan,
serta refleksi.
Pada tahap perencanaan, dipersiapkan langkah-langkah (tindakan)
sebagai berikut: (1) Materi pembelajaran sastra yang kurang dikuasai siswa,
yang merupakan hasil pengamatan dari refleksi siklus 1, diajarkan kembali, dan
dianalisis dengan menggunakan campursari sebagai media, (2) Lebih banyak
memberikan tugas kepada siswa untuk menganalisis materi mengenai bentuk bentuk
sastra dalam campursari; (3) Menjelaskan kepada siswa, mengenai nilai-nilai
moral yang terdapat dalam syair lagu campursari, (4) penerapan media
campursari; (5) membuat angket dan lembar pengamatan untuk mengidentifikasi
kesulitan yang ditemui dalam pembelajaran; dan (6) pre-test dan post-test.
Pada tahap implementasi tindakan dan pengamatan, langkah-langkah
yang dilakukan sebagai berikut: (1) selama kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan apresiasi sastra digunakan campursari; (3) belajar
mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk sastra yang ada dalam
campursari yang diputarkan melalui VCD/ DVD oleh guru (4) belajar menulis
bentuk-bentuk sastra seperti yang dicontohkan dalam campursari, (5) pre-test
dan post-test.
Pada tahap refleksi, setiap tindakan yang diimplementasikan di
kelas direfleksi dengan langkah analisis, penjelasan, dan simpulan.
6.
Analisis
Data
Pada penelitian tindakan ini, data dianalisis sejak tindakan pembelajaran
dilakukan. Dikembangkan selama proses refleksi sampai dengan penyusunan
laporan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Data
yang diperoleh dianalisis melalui tahap menyeleksi, mengklasifikasikan,
mengorganisasikan, serta membuat kesimpulan makna hasil analisis.
F. HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Setting
Penelitian
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Banguntapan merupakan sekolah alih
fungsi dari SPG IKIP Negeri Yogyakarta. Awalnya sekolah ini adalah Sekolah
Pendidikan Guru Percobaan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra dan
Filsafat UGM. Berdasarkan SK Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan RI
Nomor 38115, tanggal 21 Oktober 1952, operasionalnya berada di bawah IKIP
Yogyakarta dan berganti nama menjadi SPG IKIP Yogyakarta. SPG ini berlokasi di
Bulaksumur, Sleman. Selanjutnya SPG IKIP Yogyakarta berturut-turut berubah nama
menjadi SPG 3 dan SMAN 12 Yogyakarta, dan berlokasi di Panembahan Senopati Yogyakarta . Kemudian terhitung mulai 1 Juli 1995
berpindah tempat di desa Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul berdasarkan
SK Mendikbud RI Nomor: 035/O/1997 tertanggal 7 Maret 1992, SMAN 12 Yogyakarta
berubah menjadi SMAN 2 Banguntapan sampai sekarang.
SMAN 2 Banguntapan memiliki 12 ruang kelas, dengan 4 kelas untuk
masing-masing tingkatannya, dengan jumlah siswa rata-rata 40 orang per kelas.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa diberikan kepada siswa kelas X, XI, dan
XII. Untuk kelas X dan XI, alokasi waktu untuk pelajaran bahasa Jawa adalah 2
jam pelajaran x 45 menit per minggu. Guru mata pelajaran bahasa Jawa hanya satu
orang, dengan latar belakang pendidikan S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa
Jawa. Jadwal pelajaran bahasa Jawa untuk kelas XI IPA 1 setiap hari Kamis,
dilangsungkan selama 2 jam pelajaran dari pukul 08.45-09.30 WIB. Penyampaian
materi pelajaran bahasa Jawa menggunakan bahasa pengantar campuran, yaitu
bahasa Jawa tingkat tutur krama dan
sedikit bahasa Jawa tingkat tutur ngoko,
dan sesekali dengan bahasa Indonesia untuk memperjelas pemahaman materi bagi
siswa yang berbahasa ibu bahasa Indonesia.
2. Deskripsi
Awal Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini
adalah siswa kelas XI IPA 1 yang berjumlah 36 siswa. Sebagian besar partisipan merupakan siswa
yang berbahasa ibu bahasa Jawa, namun ada beberapa siswa yang berasal dari luar
Jawa. Meskipun demikian, mayoritas partisipan belum mengetahui bentuk-bentuk
sastra Jawa. Sebagian dari mereka pernah mendengar dan mempelajari
bentuk-bentuk sastra Jawa di SD dan SMP, walaupun kurang memahami maksudnya.
Hal tersebut seperti contoh percakapan yang dilakukan oleh peneliti yang
menanyakan tentang parikan. “Mas, saged nyukani tuladha parikan boten?”,
siswa tersebut tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala saja. Ada pula yang bisa
mencontohkan “Wajik Klethik gula jawa,
luwih becik sing prasaja”. Tetapi siswa ini hanya sekedar hafal saja satu
buah parikan yang sering dicontohkan gurunya ketika SMP. Tanpa mengetahui pola,
dan tidak bisa membuat contoh parikan yang
lain. Selain parikan, siswa-siswa
juga sudah tidak mengenal bentuk-bentuk sastra Jawa yang lain seperti tembung plutan, wancahan, pepindhan,
wangsalan, tembung garba, dan lain-lain.
Selain bahasa yang dipergunakan
untuk berkomunikasi, dalam observasi juga terlihat sikap siswa terhadap mata
pelajaran bahasa Jawa. Sikap dan respon para siswa terhadap mata pelajaran
bahasa Jawa beragam. Beberapa siswa sangat antusias (mayoritas siswa putri), dan
ada beberapa siswa putra yang duduk di bagian belakang, kurang antusias bahkan
cenderung menyepelekan. Sikap-sikap negatif yang ditunjukkan oleh para siswa cukup
mengganggu proses belajar mengajar di dalam kelas. Hal tersebut dipengaruhi
oleh banyak faktor, baik faktor dari guru, siswa maupun dari lingkungan
belajar.
3.
Siklus Penelitian
a.
Perencanaan Siklus I
Rancangan tindakan: rancangan penelitian tindakan ini disusun oleh
peneliti dan guru bidang studi bahasa Jawa dengan tujuan untuk memudahkan pelaksanaan
tindakan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan keterampilan apresiasi
bentuk-bentuk sastra Jawa. Langkah-langkah kegiatan penelitian:
1) Setiap
pertemuan, guru selalu menggunakan media campursari yang disesuaikan dengan
materi pembelajaran. Materi pelajaran bertujuan untuk mengenalkan bentuk-bentuk
sastra Jawa, menerangkan manfaat sastra Jawa, dan mengajak siswa untuk membuat
hasil karya sastra Jawa secara kreatif dengan menggunakan campursari sebagai
media pembelajaran. Pembelajaran selama tindakan juga tidak hanya menggunakan
bahan dari buku ajar saja.
2) Sebelum
melakukan kegiatan belajar mengajar, terlebih dahulu dilakukan pre test untuk
mengetahui kemampuan awal siswa. Pre test dilakukan secara tertulis dan lisan.
3) Siswa
diberikan materi tentang bentuk-bentuk kesusastraan Jawa. Materi tersebut
meliputi: pengenalan bentuk-bentuk kesastraan Jawa yaitu: (1) tembung garba, (2) tembung wancahan, (3) pepindhan,
(4) parikan, (5) plutan, dan (6) purwakanthi guru swara, sastra, dan basa.
4) Siswa
juga diberi materi dengan media campursari
tentang fungsi masing-masing bentuk sastra, penggunaan, dan cara membuat
bentuk-bentuk sastra tersebut di atas. Materi tersebut disampaikan oleh guru
dengan tujuan agar siswa dapat membedakan mengenal bentuk-bentuk sastra, memahami
fungsinya, membedakan masing-masing bentuk sastra, dan mampu membuat contoh
bentuk-bentuk sastra dari hasil kreativitasnya sendiri.
5) Setelah
semua materi disampaikan, siswa diberi angket dan post test untuk mengetahui peningkatan keterampilan sastra Jawa dan
kesulitan yang dihadapi oleh siswa
6) Indikator
keberhasilan yang diharapkan pada siklus pertama ini adalah jika terjadi
perubahan-perubahan pada komponen-komponen yang diamati, yaitu sikap,
perhatian, partisipasi, perilaku, dan interaksi.
b.
Implementasi
1) Pada
awal pertemuan, peneliti memberikan pre test untuk mengetahui kemampuan awal
siswa. Pretest berbentuk multiple choices
sebanyak 20 soal, dan 5 buah soal essay. Ternyata hasil pre-test
menunjukkan bahwa pengetahuan siswa mengenai sastra Jawa benar-benar sangat
minim.
2) Berdasarkan
hasil pre test yang telah dilakukan, nampak bahwa para siswa belum mengetahui
dan mengenal bentuk-bentuk sastra Jawa, tidak mengetahui fungsi dan manfaatnya,
serta tidak dapat memberikan contoh-contoh bentuk-bentuk sastra Jawa.
3) Pada
pertemuan selanjutnya, guru memutar DVD campursari berbahasa Jawa. Pada
pelajaran pertama ini, siswa diminta menyimak campursari yang diputar oleh guru
dengan menggunakan laptop dan LCD. Setelah diputarkan DVD, siswa diberi materi
sastra Jawa berdasarkan bentuk-bentuk sastra yang ada dalam campursari. Materi
pelajaran pertama yaitu parikan.
4) Kemudian
guru memberikan teori-teori umum tentang seluk-beluk kesastraan Jawa. Kemudian
guru mulai fokus pada materi parikan. Materi
tersebut meliputi: pengertian parikan, manfaat
parikan, dan struktur parikan. Guru kemudian memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mencari parikan
yang terdapat dalam teks campursari. Sebelum tugas dilaksanakan terlebih
dahulu guru memberikan koreksi pada teks lagu campursari. Karena dalam teks
tersebut banyak terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan ejaan. Misalnya
kata lara ‘sakit’, dituliskan dengan
kata loro yang berarti ‘dua’. Guru
memberikan keterangan singkat tentang hal ini, kemudian memberikan
koreksi-koreksi dengan melibatkan siswa secara aktif.
5) Pada
pertemua kedua, guru juga memutar DVD campursari.
Pada pertemuan ini guru langsung meminta siswa untuk mencari parikan yang terdapat dalam campursari. Setelah itu siswa maju untuk
menuliskan parikan yang sudah teridentifikasi.
Guru kemudian menerangkan tentang struktur parikan
dan cara-cara menyusun parikan. Kemudian
siswa diminta untuk maju, menulis dan membacakan parikan buatan mereka sendiri. Setiap ada siswa yang maju, guru memberikan
koreksi-koreksi, jika ada sturktur dan diksi yang kurang tepat. Setelah
diberikan penjelasan setiap ada siswa yang maju, guru memberikan waktu senyap
atau waktu senggang kepada para siswa untuk mengkoreksi lagi parikan yang mereka buat agar tidak
melakukan kesalahan yang sama dengan temannya yang sudah maju terlebih dahulu.
6) Pada
pertemuan ketiga, guru menerangkan materi mengenai tembung garba, dan wancahan. Peneliti
menggunakan media campursari dengan judul Taman
Jurug dalam kegiatan belajar mengajar.
7) Pada
pertemuan keempat, guru kembali memutar lagu Taman Jurug kemudian menerangkan materi pepindhan dan purwakanthi.
8) Pada
setiap pertemuan, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya
seputar materi pembelajaran. Guru juga mengulang memutarkan materi lagu
campursari dengan bantuan laptop, jika siswa menghendaki. Pada setiap
pertemuan, guru memberikan tugas kepada siswa, untuk mengetahui tingkat
pemahaman siswa mengenai bentuk-bentuk sastra Jawa.
9) Ketika
siswa mengerjakan tugas, guru membimbing secara aktif dengan berkeliling ruangan,
membantu siswa yang kesulitan dalam mengerjakan tugas.
10) Pada akhir
pertemuan siklus pertama, nampak adanya perubahan yang lebih baik berkaitan
dengan sikap, motivasi, dan partisipasi siswa dalam belajar.
c.
Hasil
Pengamatan
Berikut ini adalah hasil pengamatan berdasarkan proses pembelajaran
keterampilan sastra dengan media campursari:
1) Siswa
masih kesulitan membedakan antara bentuk sastra plutan dan wancahan
2) Siswa
masih kesulitan membedakan antara purwakanthi
basa, sastra, dan basa (lumaksita).
3) Siswa
masih melakukan kesalahan-kesalahan penulisan ejaan
4) Siswa
masih kurang berani untuk maju ke depan kelas, sehingga harus ditunjuk dan
diberi motivasi terlebih dahulu oleh guru.
5) Sikap,
perhatian, partisipasi, dan perilaku siswa dalam kegiatan belajar mengajar bahasa
Jawa cukup baik;
6) Media
campursari yang digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Jawa dapat
memotivasi siswa, sehingga siswa lebih tertarik untuk belajar. Siswa tidak
merasa bosan mengikuti pelajaran bahasa Jawa;
Siswa mengalami
peningkatan dalam hal keterampilan bersastra. Hal ini terlihat dari peningkatan
rata-rata hasil pre test pada saat
dilakukan post test pada siklus I,
yaitu dari 38, 05 menjadi 66,52 (kecenderungan naik: 28%)
d.
Refleksi
Peneliti dan guru bahasa Jawa pada tahap ini melakukan refleksi bersama
atas tindakan yang telah dilakukan selama siklus pertama. Kemudian meninjau
kembali atas perubahan pada komponen yang diamati, seberapa jauh tindakan telah
sesuai dengan rencana, bagaimana keberhasilan, hambatan-hambatan, serta langkah
yang harus dilakukan pada siklus berikutnya.
1) Siswa
masih kesulitan membedakan bentuk sastra plutan dan wancahan.
Untuk itu siswa perlu diterangkan secara lebih lanjut mengenai tembung plutan dan wancahan. Selain itu, siswa perlu diberikan contoh-contoh lain tentang
tembung plutan dan wancahan.
2) Siswa
masih kesulitan membedakan antara purwakanthi
basa, sastra, dan basa (lumaksita).
Hal ini dikarenakan materi mengenai purwakanthi
disampaikan dalam satu kesempatan, tanpa jeda, dan hanya dalam satu lagu
campursari saja. Oleh karena itu, perlu diterangkat lebih lanjut mengenai purwakanthi. Selain itu perlu diberikan
contoh-contoh yang lebih beragam agar siswa lebih paham mengenai purwakanthi.
3) Siswa
masih melakukan kesalahan-kesalahan penulisan ejaan
Hasil pekerjaan siswa yang dikumpulkan secara tertulis, nampak bahwa penulisan
ejaan belum tepat. Untuk mengatasi masalah tersebut maka, guru menyampaikan
materi ejaan bahasa Jawa yang benar dengan contoh-contohnya. Untuk mengecek
pemahaman siswa, maka guru memberikan latihan secara langsung. Hasil dari siswa
cukup baik, sehingga kesulitan pemahaman ejaan bahasa Jawa sudah cukup
teratasi.
4) Siswa
kurang berani untuk maju ke depan kelas, sehingga harus ditunjuk dan diberi
motivasi terlebih dahulu oleh guru.
Siswa tidak berani maju secara sukarela ke dapan kelas. Hal ini
disebabkan karena siswa merasa tidak mampu untuk melaksanakan perintah guru
dengan baik, sehingga takut salah dan ditertawakan oleh siswa yang lain. Guru
juga menerapkan sistem reward kepada para siswa, untuk merangsang siswa
agar lebih aktif. Jadi guru memberikan hadiah kepada para siswa yang maju dan
dengan hasil pekerjaan yang paling baik. Cara ini sangat efektif, siswa berebut
untuk maju ke depan kelas. Rasa malu dan canggung dikalahkan dengan motivasi
untuk memperoleh hadiah. Para siswa juga
sangat bersemangat dan tumbuh iklim kompetitif selama proses belajar mengajar.
Bahkan kreativitas siswa mulai berkembang demi memperoleh poin tinggi. Siswa
tidak hanya bentuk-bentuk sastra Jawa seperti yang sudah diterangkan, tetapi
ada pula yang sudah berani mengarang lagu campursari sendiri, dengan
menyisipkan bentuk-bentuk sastra seperti yang sudah diterangkan oleh guru.
5) Sikap,
perhatian, partisipasi, dan perilaku siswa dalam kegiatan belajar mengajar
bahasa Jawa cukup baik;
Siswa yang pada mulanya gaduh mulai tekun untuk mengerjakan tugas, karena
tugas tersebut akan dipresentasikan ke depan kelas. Perhatian siswa juga
meningkat karena jika tidak memperhatikan keterangan guru, mereka akan salah
dalam mengerjakan tugas, sehingga akan memperoleh poin rendah dan tidak
mendapat hadiah. Media campursari efektif untuk memberikan motivasi kepada
siswa sehingga siswa lebih tertarik untuk belajar. Hal ini dikarenakan campursari
dikemas dalam tampilan yang menarik (menggunakan model dalam video klip,
menggunakan musik yang menarik) sehingga menarik perhatian para siswa. Selain
itu, para siswa juga sudah banyak yang hafal dengan syair yang terdapat dalam
lagu campursari, sehingga mempermudah siswa untuk belajar. Media campursari
juga menggugah motivasi siswa, karena dalam proses pembelajaran mereka bisa
bernyanyi bersama, mengikuti alunan lagu yang diputarkan oleh guru. Belajar
dengan media campursari mengarahkan siswa untuk belajar secara kreatif sehingga
materi lebih mudah diterima mudah diterima oleh siswa;
6) Siswa
mengalami peningkatan dalam hal keterampilan bersastra
Peningkatan keterampilan bersastra dapat dilihat dari perbandingan nilai
rata-rata pre test dan post test. Nilai rata-rata siswa sebelum penerapan campursari
adalah 38,06. Nilai ini meningkat menjadi 66,53. Hambatan yang dirasakan adalah
alokasi waktu yang kurang. Pada saat pemberian tindakan, biasanya waktu sudah
habis saat sebagian siswa belum maju untuk mempresentasikan tugas. Namun secara
umum, pada akhir siklus ini sudah ada peningkatan keterampilan sastra siswa.
e.
Perencanaan Siklus II
Siklus pertama dalam penelitian ini sudah menunjukkan hasil bahwa
kemampuan untuk mengapresisasi bentuk-bentuk sastra Jawa pada siswa sudah
mengalamai peningkatan. Akan tetapi masih terdapat kesulitan-kesulitan yang
ditemui oleh para siswa dalam mengapresiasi bentuk-bentuk sastra Jawa. Oleh
karena itu, perlu dilanjutkan pada siklus dua. Rancangan tindakan untuk siklus
kedua, didasarkan pada refleksi pada siklus pertama. Langkah-langkah kegiatan
penelitian adalah sebagai berikut.
1) Peneliti
memanfaatkan campursari sebagai media pembelajaran
2) Siswa
diberi tugas untuk menganalisis bentuk-bentuk sastra dalam campursari
3) Siswa
diberi materi mengenai tembung plutan,
wancahan, dan purwakanthi swara,
sastra, dan purwakanthi basa
(lumaksita)
4) Siswa
diberi materi mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam syair campursari
5) Siswa
diberi materi mengenai ejaan bahasa Jawa agar kesalahan-kesalahan dalam
penggunaan ejaan pada siklus satu dapat ditanggulangi
6) Siswa
diberi tugas untuk membetulkan ejaan bahasa Jawa dalam syair lagu campursari
7) Keberhasilan
tindakan pada siklus dua dilihat dari adanya perubahan pada komponen sikap dan
motivasi siswa dalam proses belajar mengajar, serta hasil post-test yang akan dilaksanakan pada akhir siklus
f.
Implementasi
1. Materi
yang disampaikan pada pertemuan pertama adalah tembung wancahan dan plutan. Materi
difokuskan pada perbedaan antara tembung
wancahan dan plutan. Karena
berdasarkan hasil post-test terdapat
indikasi bahwa siswa sebenarnya sudah bisa membedakan bentuk-bentuk sastra
Jawa, tetapi untuk membedakan tembung
wancahan dan plutan, masih banyak
siswa yang kebingungan.
2. Materi
ini disampaikan oleh guru dengan menggunakan media campursari. Namun sebelum
campursari diputar, guru menerangkan materi terlebih dahulu, kemudian siswa
berlatih dengan menggunakan media campursari. Awalnya siswa masih kesulitan
membedakan tembung wancahan dan plutan, tetapi kemudian dibimbing oleh
guru. Pada pertemuan berikutnya, siswa sudah tidak kesulitan dalam
mengidentifikasi tembung wancahan dan
plutan.
3. Pada
pertemuan kedua pada siklus dua, siswa diberi materi mengenai purwakanthi. Siswa masih kesulitan
mengidentifikasi antara purwakanthi
swara, sastra, dan basa karena
adanya kemiripan jika sudah diimplementasikan dalam suatu bentuk sastra.
Misalnya dalam ungkapan gemi, nastiti,
ngati-ati. Siswa masih bingung, apakah ungkapan tersebut memuat purwakanthi swara, sastra, atau basa karena dalam ungkapan tersebut bisa
dikategorikan dalam purwakanthi swara,
sastra, maupun basa. Kemudian
guru menerangkan bahwa jenis-jenis purwakanthi
bisa dipakai secara bersamaan. Guru juga menggunakan media campursari untuk
mengajar materi purwakanthi.
4. Pada
pertemuan ketiga, guru masih memanfaatkan campursari dalam pembelajaran. Tetapi
pada pertemuan ketiga ini, guru memusatkan perhatian pada syair lagu
campursari. Berdasarkan syair lagu campursari, guru menerangkan mengenai
nilai-nilai moral dan budi pekerti yang terdapat dalam syair lagu campursari.
Guru kemudian memutar lagu campursari untuk dianalisis nilai-nilai budi
pekertinya. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan diskusi kelompok.
5. Pada
pertemuan 1-3, guru selalu mengingatkan untuk menggunakan ejaan bahasa Jawa
yang baik dan benar.
g.
Hasil
Pengamatan
1. Pada
awalnya siswa kesulitan untuk membedakan antara tembung wancahan dan tembung
plutan. Sehingga terkadang dalam mengidentifikasi tembung wancahan dan tembung
plutan sering terbalik, termasuk dalam membuat contoh dan menganalisis.
Siswa pada awalnya juga masih bingung untuk membedakan antara purwakanthi swara, sastra, dan basa jika diterapkan dalam suatu
ungkapan.
2. Siswa
sudah mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam syair lagu
campursari
3. Pembelajaran
dengan menggunakan media campursari memberikan hasil yang baik dalam
peningkatan partisipasi, motivasi, perhatian, serta hasil belajar siswa.
h.
Refleksi
1) Pada
awalnya siswa kesulitan untuk membedakan antara tembung wancahan dan tembung
plutan.
Terkadang dalam mengidentifikasi tembung
wancahan dan tembung plutan sering
terbalik, termasuk dalam membuat contoh dan menganalisis. Siswa pada awalnya
juga masih bingung untuk membedakan antara purwakanthi
swara, sastra, dan basa jika
diterapkan dalam suatu ungkapan. Untuk mengatasi hal ini, guru menerangkan lagi
perbedaan antara plutan dan wancah. Kemudian guru memberikan
latihan-latihan khusus kepada siswa untuk bisa membedakan antara plutan dan wancah. Selanjutnya guru memberi tugas kepada siswa untuk membuat
tembung plutan dan wancah. Kemudian hasil pekerjaan siswa,
ditukarkan dengan siswa yang lain untuk kemudian dikoreksi bersama. Siswa yang
masih membuat kesalahan, diberi perhatian khusus oleh guru. Media campursari
tetep digunakan untuk menampilkan contoh-contoh plutan dan wancah. Untuk
mengatasi masalah kurangnya pemahaman siswa dalam materi purwakanthi swara, sastra, dan basa digunakan metode yang sama
dengan cara menerangkan materi plutan dan
wancah.
2) Siswa
sudah mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam syair lagu
campursari
Untuk pertemuan-pertemuan pada siklus pertama dan kedua, guru selalu
menyinggung mengenai muatan nilai budi pekerti dalam syair lagu campursari.
Tetapi guru baru memfokuskan mengenai muatan nilai-nilai budi pekerti dalam
syair lagu campursari pada pertemuan ketiga siklus kedua. Jadi, sebelumnya
siswa sudah mendapat gambaran mengenai nilai-nilai budi pekerti, kemudin
diperjelas dengan keterangan dan materi dari guru pada pertemuan ketiga.
Untuk mencari kandungan muatan budi pekerti dalam syair lagu, digunakan
pula media campursari yang diputar melalui LCD dan laptop. Compact Disc (CD) yang digunakan adalah CD campursari, sehingga
syair lagu juga tampak di layar. Setiap pertemuan guru juga membetulkan
ejaan-ejaan yang terdapat dalam syair lagu campursari.
Dewasa ini lagu-lagu campursari memuat syair yang cukup beragam. Mulai
dari soal percintaaan, hubungan dengan sesama manusia, melukiskan keindahan
alam, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak juga syair lagu campursari yang berbau
pornografi. Oleh karena itu, guru sebagai kolaborator beserta peneliti cukup
berhati-hati dalam memilih lagu campursari yang akan dijadikan media
pembelajaran bagi siswa. Secara khusus guru dan peneliti memilih campursari
yang memuat banyak bentuk-bentuk sastra, sekaligus memuat nilai-nilai budi pekerti.
3) Pembelajaran
dengan menggunakan media campursari memberikan hasil yang baik dalam
peningkatan partisipasi, motivasi, perhatian, serta hasil belajar siswa.
Penggunaan media campursari mampu meningkatkan antusiasme siswa dalam
mengikuti proses belajar mengajar. Ketika guru masuk kelas dan memberitahukan
bahwa pembelajaran bahwa pelajaran bahasa Jawa akan menggunakan lagi lagu
campursari, seketika kelas menjadi gaduh. Hal ini dikarenakan antusiasme siswa.
Siswa merasa lebih senang dan termotivasi untuk belajar.
Proses belajar mengajar juga lebih
hidup, karena secara aktif siswa menyimak lagu campursari. Bahkan semua siswa
juga ikut menyanyikan lagu campursari yang sedang diputar. Siswa juga
bersemangat ketika guru memberikan tugas untuk mengapresiasi sastra yang
terdapat dalam syair lagu campursari. Hal ini membuat kelas agak gaduh, karena
siswa mendiskusikan tugas dengan teman yang lain. Tetapi kelas terkesan lebih
hidup dan santai, sekaligus tercapai tujuan pembelajarannya. Keterlibatan siswa
juga meningkat, terutama ketika diterapkan metode diskusi. Siswa yang pendiam
sudah berani untuk mengungkapkan pikirannya terutama kepada teman-teman
diskusinya.
Perhatian siswa terhadap materi yang diberikan oleh guru juga semakin
meningkat. Karena jika tidak mendengarkan materi yang diberikan oleh guru,
siswa tidak dapat menganalisis lagu campursari yang sedang diputar. Setelah
campursari diputar, para siswa dengan serius mengerjakan tugas yang diberikan
oleh guru.
G.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian tindakan dimulai pada tanggal 23 Oktober–6
November 2008 untuk siklus I. Sedangkan siklus II dilaksanakan pada tanggal
13-27 November 2008. Sebelum tindakan dimulai, diadakan pretest untuk
mengetahui kemampuan awal siswa dalam mengapresiasi bentuk-bentuk sastra Jawa. Setelah
siklus berakhir, diadakan post test untuk mengetahui tingkat
keberhasilan siswa setelah diberi tindakan berupa pemakaian media campursari dalam
proses belajar mengajar.
1.
Perubahan
Sikap Siswa dalam Proses Belajar Mengajar
Media campursari efektif digunakan sebagai media pembelajaran sastra
Jawa. Penggunaan media campursari juga dapat menumbuhkan semangat dan motivasi
belajar siswa. Selain itu, siswa juga lebih interaktif yang ditunjukkan dengan
keaktifan di dalam kelas, sikap yang lebih baik, perhatian yang lebih terfokus.
Suasana di dalam kelas juga lebih hidup karena pada saat menerima materi siswa
ikut menyanyikan lagu campursari yang sedang diputar oleh guru.
Perubahan sikap para siswa selama penelitian dalam siklus I tampak dalam
amatan peneliti sebagai berikut.
Tabel 2: Amatan Peneliti terhadap Perubahan Sikap Siswa Setelah Siklus I
No.
|
Deskripsi Sikap
|
Sebelum Tindakan
|
Sesudah Tindakan
|
Kecenderungan
|
A.
|
Perilaku negatif:
|
|||
1. terkadang ramai
|
17
|
12
|
turun 17 %
|
|
2. takut
bertanya
|
15
|
6
|
turun 43 %
|
|
3. takut
berpendapat
|
13
|
9
|
turun 18 %
|
|
4. pasif
dalam mengikuti pelajaran
|
20
|
10
|
turun 33%
|
|
B.
|
Perilaku positif:
|
|||
1. tenang
dan berkonsentrasi belajar
|
18
|
26
|
Naik 18%
|
|
2. memperhatikan
pelajaran
|
22
|
28
|
Naik 12 %
|
|
3. menyimak
ketika guru bertanya dan menerangkan
|
19
|
23
|
Naik 10 %
|
|
4. mengerjakan
tugas dari guru
|
30
|
34
|
Naik 15 %
|
Setelah dilanjutkan pada siklus
II, sikap positif siswa cenderung naik, jika dibandingkan dengan sikap siswa
pada siklus I. Berikut tabel hasil amatan peneliti terhadap sikap siswa.
Tabel 3: Amatan Peneliti terhadap Perubahan Sikap Siswa Setelah Siklus II
No.
|
Deskripsi Sikap
|
Siklus I
|
Siklus II
|
Kecenderungan
|
|||
A.
|
Perilaku negatif:
|
||||||
1. terkadang
ramai
|
12
|
9
|
turun 14 %
|
||||
2. takut
bertanya
|
6
|
3
|
turun 33 %
|
||||
3. takut
berpendapat
|
9
|
6
|
turun 20 %
|
||||
4. pasif
dalam mengikuti pelajaran
|
10
|
7
|
turun 18 %
|
||||
B.
|
Perilaku positif:
|
||||||
1. tenang
dan berkonsentrasi belajar
|
26
|
28
|
Naik 4 %
|
||||
2. memperhatikan
pelajaran
|
28
|
34
|
Naik 10 %
|
||||
3. menyimak
ketika guru bertanya dan menerangkan
|
23
|
32
|
Naik 16 %
|
||||
4. mengerjakan
tugas dari guru
|
34
|
35
|
Naik 3 %
|
||||
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media
campursari dapat meningkatkan sikap positif siswa dan menurunkan perilaku
negatifnya. Perilaku negatif seperti terkadang ramai, takut bertanya, takut
berpendapat, dan pasif dalam mengikuti pelajaran cenderung menurun. Walaupun
belum 100% siswa mengalami penurunan, namun mayoritas kelas mampu dikuasai oleh
guru dan menurun perilaku negatifnya.
Sebaliknya perilaku positif naik
cukup signifikan, dibandingkan pada saat awal pembelajaran. Siswa semakin
tenang dan berkonsentrasi belajar, memperhatikan materi yang disampaikan oleh
guru, menyimak ketika guru bertanya dan memberi tugas, serta semakin rajin
mengerjakan tugas dari guru.
Saat mengerjakan tugas pun para siswa masih mendendangkan lagu campursari
yang baru saja diputar. Bahkan beberapa siswa sudah mencoba untuk menulis lagu
campursari dengan menggunakan bentuk-bentuk sastra yang baru saja diterangkan
oleh guru. Walaupun suasana saat para siswa mengerjakan tugas agak gaduh, namun
tetap kondusif.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator, setelah
diterapkan penggunaan media campursari, terdapat peningkatan kondisi siswa,
terkait dengan keterampilan apresiasi sastra maupun perubahan sikap dan tingkah
laku mereka, seperti yang terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 4: Deskripsi Perubahan Kondisi Siswa
No.
|
Kondisi siswa
sebelum diberi tindakan
|
Kondisi siswa
setelah diberi tindakan
|
1.
|
Tidak menggunakan media
pembelajaran campursari
|
Menggunakan media campursari
|
2.
|
Siswa kurang aktif dan
motivasinya rendah untuk mengikuti pelajaran bahasa Jawa
|
Siswa lebih aktif dan dan
termotivasi untuk mengikuti pelajaran bahasa Jawa
|
3.
|
Siswa belum mengenal dan
memahami bentuk-bentuk sastra Jawa seperti parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan
purwakanthi
|
Siswa sudah mengenal dan
memahami bentuk-bentuk sastra Jawa seperti parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan
purwakanthi
|
4.
|
Siswa belum mampu membuat parikan, tembung garba, tembung wancahan,
tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi
|
Siswa sudah mampu membuat parikan, tembung garba, tembung wancahan,
tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi
|
5.
|
Siswa belum mampu memahami
nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam campursari
|
Siswa sudah mampu memahami
nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam campursari
|
6.
|
Siswa belum mampu menggunakan
ejaan bahasa Jawa dengan baik dan benar
|
Siswa sudah mampu menggunakan
ejaan bahasa Jawa dengan baik dan benar
|
7.
|
Kurangnya nuansa Jawa dalam
pembelajaran bahasa Jawa di kelas
|
Terciptanya nuansa Jawa dalam
pembelajaran bahasa Jawa di kelas
|
8.
|
Siswa tidak berani maju secara
sukarela ke depan kelas
|
Siswa lebih berani maju secara
sukarela ke depan kelas
|
2.
Peningkatan
Perolehan Hasil Test
Berdasarkan hasil pre test dan post test yang diperoleh
pada tindakan selama siklus I, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bersastra siswa
mengalami peningkatan. Terbukti adanya kenaikan nilai yang cukup signifikan.
Sebelum diadakan tindakan, rata-rata nilai pre-test siswa adalah 38,05. Setelah
diberi tindakan, rata-rata nilai siswa adalah 66,52. Sehingga terdapat
peningkatan sebesar 28 poin. Seperti dalam tabel berikut.
Tabel 5: Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa Setelah Siklus I
Jumlah Siswa
|
Nilai Rata-Rata
|
||
Pre-Test
|
Post-Test Siklus I
|
Selisih
|
|
36
|
38,06
|
66,53
|
28
|
Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan jika digambarkan
dalam bentuk grafik, sebagai berikut:
Diagram 1: Peningkatan Nilai Siswa Setelah Siklus I

Berdasarkan post-test siklus
II, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bersastra siswa semakin mengalami
peningkatan. Terbukti adanya kenaikan nilai yang cukup signifikan. Setelah
siklus I, nilai rata-rata siswa adalah 66,53. Setelah diberi tindakan pada
siklus II, nilai rata-rata siswa adalah
87,4. Sehingga terdapat peningkatan sebesar 20,4 poin. Seperti dalam
tabel berikut.
Tabel 6: Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa Setelah Siklus II
Jumlah Siswa
|
Nilai Rata-Rata
|
||
Siklus I
|
Post-Test Siklus II
|
Selisih
|
|
36
|
66,53
|
87,4
|
20,4
|
Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan pada siklus II jika
digambarkan dalam bentuk grafik, sebagai berikut:
Diagram 2: Peningkatan Nilai Siswa Setelah Siklus II

H.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
Simpulan
Sesuai dengan
hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan campursari dapat
meningkatkan keterampilan bersastra siswa, khususnya pada siswa kelas XI IPA 1,
SMAN 2 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta .
Penggunaan campursari dapat meningkatkan keaktifan siswa selama PBM,
meningkatkan prestasi hasil belajar siswa, meningkatkan motivasi, meningkatkan
keberanian siswa untuk menunjukkan kemampuan di depan kelas, dan mempermudah
siswa dalam menerima materi.
2.
Saran
Guru disarankan untuk lebih variatif dalam menggunakan media
pembelajaran, tidak hanya berupa buku, tetapi media-media lain yang dapat
mempermudah pemahaman materi siswa. Guru dapat menggunakan media campursari
untuk mengajarkan materi-materi pelajaran yang lain. Tidak terbatas pada
pelajaran apresiasi sastra, tetapi juga bisa digunakan untuk mengajar paramasastra, tembang, unggah-ungguh, dan
lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Ahid. 2002. “Guru dan Kakilangit Pengajaran Sastra” dalam Sastra Masuk Sekolah. (ed. Sarumpaet,
Riris K. Toha). Magelang: Indonesia
Tera.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan
Kasusastran Djawa. Yogyakarta : Soejadi.
Dinas Pendidikan Provinsi DIY. 2006. Kurikulum Muatan Lokal: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta :
Dinas Pendidikan Provinsi DIY.
Rustaman, Nuryani K, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi.
Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia .
Rusyana, Yus. 1999. Horison, No.
8-11 Th. XXXI, Juli 1999.
Sadiman, Arif S. 1990. Media Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press.
Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran:
Beberapa Catatan” dalam Sastra Masuk
Sekolah. (ed. Sarumpaet, Riris K. Toha). Magelang: Indonesia Tera.
Setiono, Budi. 2003. “Campursari: Nyanyian Hibrida dari Jawa
Poskolonial” dalam Identitas dan
Poskolonialitas di Indonesia. (ed. Budi Susanto). Yogyakarta :
Kanisius.
Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Klaten: Intan
Pariwara.
Subalidinata, R.S. 1981. Seluk
Beluk Kesastraan Jawa. Yogyakarta :
Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara Fakultas Sastra UGM.
Sudjana, N. 1991. Media Pengajaran. Bandung : Sinar Baru.
Sulastiani, Sri. 2001. “Teks Lagu Pop Jawa sebagai Media Alternatif
Pembelajaran Bahasa Jawa” dalam Makalah
KBJ III Yogyakarta . Yogyakarta: Panitia
KBJ III Yogyakarta .
Sutrisno, Ign. S.I. 1982. Pathining
Basa Jawa. Semarang :
Mutiara Pertama Widya.
Suwarna, dkk. 2005. Pengajaran Mikro. Yogyakarta :
Tiara Wacana.
Tim Jarlit BAPEDA DIY. 2004. Pemberdayaan Bahasa, Sastra, Budaya,
dan Aksara Jawa melalui Jalur Formal dan Nonformal dalam Era Multikultur di
DIY. Laporan Penelitian. Yogyakarta :
BAPEDA Propinsi DIY.
Hasil penelitiannya menarik. Ternyata untuk mengapresiasi sebuah karya itu tidaklah mustahil, meskipun tidak mudah ^^
ReplyDeleteBetul ... betul ... mari sama2 mengapresiasi sastra.
Deletemari belajar tembang campur sari....belajar dan bernyanyi...sangat menyenangkan
ReplyDeleteMari ... mari jadi sobat ambyaaaar
Delete