PENINGKATAN KETRAMPILAN APRESIASI SASTRA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DENGAN MEDIA CAMPURSARI PADA SISWA KELAS XI IPA 1 SMAN 2 BANGUNTAPAN


A.   PENDAHULUAN

Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor: 423.5/0912 tanggal 29 Maret 2005 menetapkan bahwa pelajaran bahasa Jawa harus diajarkan di SMA/SMK/MA yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai muatan lokal wajib. Berbagai permasalahan seputar proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMA mengemuka dalam berbagai forum. Kondisi ini kerap menjadi rasanan ‘bahan pembicaraan’ antarguru. Berdasarkan permasalahan yang sering dikeluhkan oleh guru, guru-guru bahasa Jawa di SMA sering mengalami kesulitan dalam pengembangan bahan karena keterbatasan pengetahuan mengenai literatur yang dapat menjadi acuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar guru bahasa Jawa di SMA bukan merupakan guru dengan latar belakang pendidikan yang sama dengan mata pelajaran yang diampunya.
Selain keterbatasan literatur, guru-guru juga kesulitan untuk mendapatkan media yang sesuai dengan materi pembelajaran. Jadi sebagian guru hanya mengajar dengan sistem text book ‘menuang dari buku ajar’ kemudian disampaikan kepada para siswa. Kurangnya responsifnya siswa terhadap pelajaran yang diajarkan dikarenakan oleh berbagai faktor juga menjadi salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh para guru. Salah satu hal yang kerap dikeluhkan oleh guru dalam mata pelajaran bahasa Jawa adalah pembelajaran kompetensi sastra. Memang pengajaran sastra di sekolah merupakan topik hangat yang selalu mengemuka dalam berbagai diskusi maupun seminar sastra. Semua diskusi tersebut berujung pada satu kesimpulan bahwa pengajaran sastra di sekolah dianggap tidak berhasil.
Banyak faktor yang dianggap sebagai biang keladi ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah. Salah satu faktor penyebabnya adalah mekanisme masih dicangkokkannya pembelajaran sastra dalam pembelajaran bahasa. Hal ini memunculkan anggapan bahwa pelajaran sastra dianggap kurang begitu penting. Selain itu, juga berimplikasi pada alokasi waktu yang sangat terbatas untuk mengajarkan sastra di sekolah (Hidayat, 2002: 106). Kesimpulan lain lebih menuding guru sebagai penyebab terupuruknya pembelajaran sastra di sekolah. Kesimpulan ini didukung oleh hasil penelitian Yus Rusyana (1999) yang menyatakan bahwa sekitar 41% guru kurang mengetahui bagaimana cara mengajarkan sastra.
Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah, juga memadukan antara bahasa dan sastra. Untuk pengajaran sastra Jawa, keadaannya diperparah dengan adanya pengetahuan yang sangat dangkal dari para siswa mengenai bentuk-bentuk kesastraan Jawa. Disebabkan saat ini para siswa sendiri kurang menguasai bahasa Jawa, sehingga timbul keengganan mereka untuk membaca dan mempelajari bentuk-bentuk kesusastraannya. Kurangnya penggunaan media pembelajaran yang menarik dan atraktif juga membuat siswa bosan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran.
Bentuk-bentuk sastra Jawa, dewasa ini sebenarnya muncul dalam gubahan baru. Misalnya yang dapat dijumpai pada puisi, drama, maupun cerita pendek. Bentuk-bentuk sastra Jawa juga muncul pada teks-teks lagu campursari yang populer dan dikenal luas oleh masyarakat Jawa dalam berbagai usia. Para siswa SMA juga cukup familier dengan lagu-lagu campursari. Tidak jarang mereka juga hafal lirik lagu maupun iramanya. Namun para siswa tidak sadar bahwa sebenarnya dengan tidak sengaja mereka telah menghafal bentuk-bentuk kesastraan Jawa yang digunakan dalam syair lagu campursari.
Bentuk-bentuk kesastraan Jawa dalam lagu campursari cukup beragam. Misalnya yang berbentuk purwakanthi, parikan, wangsalan, pepindhan, dan lain-lain. Tentunya bentuk-bentuk sastra dalam syair lagu campursari akan lebih membekas di benak para siswa daripada bentuk-bentuk sastra ini diajarkan dengan teknik hafalan seperti biasa. Oleh karena itu, campursari bisa digunakan sebagai salah satu media pembelajaran alternatif yang menarik dalam mengajarkan sastra Jawa.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencobakan campursari sebagai media pembelajaran sastra di SMA. Sekolah yang akan dipakai sebagai setting penelitian adalah SMAN 2 Banguntapan yang dahulu lebih dikenal sebagai SMAN 12 Yogyakarta. SMA ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan diskusi dengan guru, para siswa masih kesulitan dalam menerima pelajaran mengenai sastra Jawa. Selain itu berdasarkan pengamatan, selama peneliti menjadi pembimbing PPL di sekolah ini, guru mata pelajaran bahasa Jawa maupun siswa-siswanya cukup kooperatif dalam menerima mata pelajaran bahasa Jawa.

B.    KESUSASTRAAN JAWA

Kesusastraan Jawa adalah semua bentuk hasil karya adi luhung yang memuat keindahan-keindahan yang digubah dengan menggunakan bahasa Jawa. Menurut Padmosoekotjo (1953:10-11), sastra Jawa tidak terbatas pada karya yang tertulis dalam naskah-naskah maupun buku-buku, tetapi juga sastra lisan. Tidak terbatas pula pada karya yang ditulis dengan aksara Jawa, tetapi bisa ditulis pula dengan aksara Latin, Arab, maupun aksara yang lain. Selain itu, karya sastra juga tidak dibatasi pada hasil karya suku Jawa. Karya siapapun bisa disebut dengan karya sastra Jawa jika memenuhi kriteria tersebut di atas.
Kasusastran Jawa dapat dibentuk dari keindahan sastra sebagai berikut: (1) tembung saroja, (2) yogyaswara, (3) tembung garba (sandi), (4) rura basa, (5) kerata basa, (6) tembung entar, (7) paribasan, (8) bebasan, (9) saloka, (10) sanepa, (11) cangkriman, (12) wangsalan, (13) dasanama, (14) purwakanthi,(15) parikan, (16) guritan, (17) ukara sesumbar, (18) gugon tuhon, (19) donga dan japa mantra, (20) isbat, (21) suluk, (22) pralambang, (23) basa paprenesan, (24) kasusastran kang tinemu ana ing gendhing, (25) pepindhan, (26) candra, (27) basa rinengga, (28) sandi asma, dan (29) sengkalan.
Pembagian di atas bukan berarti bahwa sastra Jawa bisa dipisah-pisahkan. Pembagian menjadi 29 macam tersebut diumpamakan sebagai unsur-unsur pembangun suatu karya sastra Jawa. Jika hasil karya sastra Jawa diumpamakan sebagai makanan, maka 29 bentuk sastra Jawa di atas merupakan bahan-bahan mentah sekaligus bumbunya. Karya sastra Jawa yang memenuhi kriteria keindahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) memakai paramasastra ‘tata bahasa’ sebagai pedoman, (2) menggunakan bahasa indah, dan (3) menter ‘berisi’ (Padmosoekotjo, 1953: 20).

 C.     CAMPURSARI

1.    Pengertian Campursari
Salah satu kesenian yang banyak menggunakanbentuk-bentuk sastra adalah campursari. Kesenian campursari merupakan jenis musik baru yang mulai dikenal pada era tahun 80-an. Campursari, dalam waktu singkat berkembang dan menyebar secara luar biasa. Bahkan sebanding dengan penyebaran pop Barat. Campursari merupakan percampuran musik yang terdiri dari beberapa unsur dasar karawitan, keroncong/ langgam, dan musik pop (Setiono, 2003: 198). Campursari pada umumnya menggabungkan instrumen diatonis dan pentatonis secara harmonis. Alat musik yang biasa dipakai adalah piano, rebab, gitar, saron, demung, kendang, dan gong. Campursari paling tidak dapat menjelma dalam lima wujud, yaitu (1) lelagon campursari, (2) Sekar Gendhing Campursari, (3) Macapat Campursari, (4) Lelagon Dolanan Campursari, dan (5) Langgam Campursari.
Sesuai dengan hasil penelitian BAPEDA DIY (2004), kesenian campursari, berkembang secara pesat di masyarakat dewasa ini. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa 100% responden, menyatakan bahwa campursari masih hidup di lingkungan mereka. Walaupun berdasar pada bentuk kesenian tradisi Jawa yang menggunakan gamelan, namun kesenian ini dapat berpadu secara selaras dengan alat musik modern. Campursari merupakan kesenian yang sangat fleksibel sehingga mampu diterima masyarakat luas. Kesenian ini semakin berkembang, sejalan dengan maraknya industri rekaman yang mengemas produk campursari secara modern melalui format VCD, DVD, dan lain-lain yang disiarkan secara luas melalui televisi. Kehadiran televisi lokal dewasa ini juga berperan besar pada perkembangan campursari.
Dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, campursari juga berpadu dengan jenis-jenis musik yang lain seperti keroncong, dangdut, pop, dan lain-lain. Syair dan daya tarik penyanyi campursari yang kian variatif juga mendorong campursari makin mengedepan di masyarakat. Kehadiran campursari kian marak di upacara-upacara tradisi, panggung-panggung hiburan, dalam  pertunjukan wayang, dan lain-lain.

2.    Bentuk-Bentuk Sastra dalam Campursari
Bentuk-bentuk sastra Jawa banyak diterapkan dalam campursari. Beberapa contoh penerapannya menurut Sulastiani (2001: 198-214) dalam dilihat dalam paparan berikut.
a.     Tembung wancahan ‘singkatan’, yaitu tembung siji kang disuda wandane sarana dibuwang, ora dianggo ‘satu kata yang dikurangi suku katanya dengan cara dibuang atau tidak dipakai. Contohnya Ndak pundi Mbak-ayu, badhe tindak pundi. Kata tindak yang terdiri dari dua suku kata, dikurangi satu suku katanya, sehingga kata tindak menjadi ndak.
b.    Purwakanthi
Purwakanthi menurut Sutrisno (1982: 125-125), terbagi menjadi tiga, yaitu (1) purwakanthi guru swara, (2) guru sastra, dan (3) basa atau lumaksita. Purwakanthi guru swara adalah purwakanthi yang memakai swara atau vokal sebagai pedoman. Contohnya Critane wayang Ramayana, ing negara Ngalengkadiraja, ratu buta Rahwanaraja, gawe geger nyolong Dewi Sinta. Purwanthi guru sastra adalah purwakanthi yang memakai pedoman sastra atau aksara ‘bunyi konsonan’. Contoh: Pemudhi iku polatane ruruh, tandange sarta rereh, ririh, angarah-arah.  Purwakanthi basa atau lumaksita adalah purwakanthi yang menggunakan basa dalam pengertian ini adalah kata, sebagai pedomannya. Jadi yang diulang adalah katanya. Contoh: jamane mas jaman edan, edan tenan jaman semana, semune katon katingal kawistara, jam-jame jaman
c.     Parikan
Parikan yaitu salah satu bentuk sastra Jawa dengan aturan sebagai berikut: (1) satu bait terdiri dari 2 baris, (2) setiap kalimat terdiri dari dua baris, (3) baris kedua jumlah suku katanya 4 atau 8, sedangkan baris pertama selalu 4 suku kata, (4) dhong-dhing, atau bunyi pada akhir baris 1 harus runtut dengan baris 3, sedangkan bunyi akhir baris 2 harus runtut dengan baris 4 dan menggunakan purwakanthi guru swara, dan (5) kalimat pertama sebagai sampiran, kalimat kedua sebagai isi. (Padmosoekotjo, 1953: 64). Contoh parikan: pitik cilik ana ngembong, pikir dhisik lagi ngomong. Parikan dalam campursari biasanya lebih  sederhana dan cenderung bebas.
d.    Wangsalan
Wangsalan yaitu ungkapan yang mirip dengan cangkriman, tetapi biasanya tebakannya disebutkan. Tebakan tersebut tidak ditampakkan secara eksplisit, tetapi disamarkan. Contohnya wohing aren mbok ya eling dhek semana. Wohing aren=kolang-kaling.
e.     Pepindhan
Pepindhan yaitu ungkapan bahasa yang mengandung perbandingan dan perumpamaan. Bentukan pepindhan sering menggunakan kata umpama, kaya, lir, kadya, atau pindha (Subalidinata, 1981: 20). Contoh pepindhan contohnya umpama sliramu sekar melathi, aku kumbang nyidham sari. Umpama slirami margi wong manis, aku kang bakal ngliwati.
f.     Cecandran
Cecandran yaitu semacam pepindhan, yaitu ungkapanyang mengandung perbandingan serta mengandung persamaan yang di dalamnya berisi perbandingan keindahan (Subalidinata, 1981: 82). Contoh cecandran dalam campursari adalah mobat-mabit mung mripatmu, damar kanginan.

D.     KONDISI PEMBELAJARAN SASTRA JAWA DI SMA

Pembelajaran bahasa Jawa di SMA mulai diberlakukan sebagai muatan lokal wajib berdasarkan SK dari Gubernur DIY Nomor: 423.5/0912 tanggal 29 Maret 2005. Pembelajaran bahasa Jawa diberlakukan sebagai muatan lokal wajib di 4 kabupaten (Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul) dan 1 kota (Kotamadya Yogyakarta) di wilayah DIY. Pembelajaran sastra Jawa di SMA pada umumnya sama dengan pembelajaran sastra Indonesia. Hanya saja kondisi pembelajaran sastra Jawa di SMA lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pembelajaran sastra Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, di antaranya (1) siswa sudah tidak mengenal bentuk-bentuk karya sastra Jawa, (3) mayoritas siswa memilih berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, sehingga mengalami kesulitan dalam apresiasi sastra, karena terhambat dalam segi bahasa.(4) masih menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang konvensional, (5) kurangnya media pembelajaran yang mampu menarik dan memotivasi siswa, (6) kurangnya sarana prasarana, termasuk buku-buku penunjang, dan (7) guru kurang menguasai materi, karena mayoritas guru bahasa Jawa SMA tidak mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Jawa.
Kondisi ini harus segera diperbaiki, agar mendapatkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kualitas belajar mengajar. Dinyatakan pula oleh (Suminto, 2001: 46), bahwa (1) pembelajaran sastra harus kreatif. Cara-cara tradisional yang lebih bersifat verbalistik dan inner ideas sudah saatnya ditinggalkan, diganti cara yang dinamis dan kreatif, (2) sekolah bukan tempat menghafal, jadi pembelajaran sebaiknya lebih ditekankan pada pemahaman bukan hanya hafalan.

E. CARA PENELITIAN

1.    Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (classroom action research). Konsep pokok dalam penelitian terdiri dari empat komponen pokok, yaitu (1) perencanaan; (2) tindakan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi. Hubungan keempat komponen dipandang sebagai satu siklus.
2.    Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan Bantul. Tindakan akan dicobakan pada kelas XI IPA 1. Pemilihan tingkatan kelas yang akan subjek penelitian disesuaikan dengan kurikulum muatan lokal yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DIY (2006: 7). Tertulis dalam kurikulum bahwa standar kompetensi untuk siswa kelas XI pada semester gasal untuk ketrampilan menyimak dan berbicara adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Kurikulum yang Memuat Materi Campursari
Menyimak
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.
Memahami dan menanggapi berbagai wacana lisan tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa dari berbagai sumber
1.2
Menyimak, memahami, dan menanggapi campursari melalui berbagai media

Berbicara
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
2.
Mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, dan pendapat dalam berbagai bentuk wacana lisan tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa, dengan menggunakan santun bhs atau unggah-ungguh bahasa sesuai dengan konteks budaya
2.2
Melagukan tembang campursari
Oleh karena itu, penelitian ini selaras dengan kurikulum dan disampaikan pada waktu dan subjek penelitian yang tepat, yaitu pada siswa kelas XI dan disampaikan pada semester gasal.
3.    Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan yaitu tes, lembar pengamatan, dan angket. Dasar pengamatan terdiri dari kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra.
4.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa pre test pada awal dan post test pada akhir siklus. Pengumpulan data yang kedua dengan lembar pengamatan yang memberi pernyataan tentang hal-hal yang terjadi selama PBM. Pengumpulan data juga dilakukan dengan angket setiap akhir siklus, untuk menjaring hal-hal yang masih menjadi permasalahan seputar PBM.
5.    Rencana Tindakan
Penelitian berlangsung dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan, serta refleksi.
a. Siklus 1:
Pada tahap perencanaan, dipersiapkan langkah-langkah (tindakan) sebagai berikut: (1) Materi pembelajaran sastra yang terkait dengan identifikasi dan analisis bentuk-bentuk sastra dalam campursari (2) menyebutkan bentuk-bentuk sastra dalam campursari; (3) penerapan media campursari; (4) angket dan lembar pengamatan untuk identifikasi kesulitan dan (5) pre-test dan post-test.
Pada tahap implementasi tindakan dan pengamatan, langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut: (1) selama kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi sastra digunakan campursari; (3) mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk sastra yang ada dalam campursari (4) belajar menulis bentuk-bentuk sastra seperti yang dicontohkan dalam campursari, (5) pre-test dan post-test.
b. Siklus 2:
Siklus 2 terdiri dari perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan, serta refleksi.
Pada tahap perencanaan, dipersiapkan langkah-langkah (tindakan) sebagai berikut: (1) Materi pembelajaran sastra yang kurang dikuasai siswa, yang merupakan hasil pengamatan dari refleksi siklus 1, diajarkan kembali, dan dianalisis dengan menggunakan campursari sebagai media, (2) Lebih banyak memberikan tugas kepada siswa untuk menganalisis materi mengenai bentuk bentuk sastra dalam campursari; (3) Menjelaskan kepada siswa, mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam syair lagu campursari, (4) penerapan media campursari; (5) membuat angket dan lembar pengamatan untuk mengidentifikasi kesulitan yang ditemui dalam pembelajaran; dan (6) pre-test dan post-test.
Pada tahap implementasi tindakan dan pengamatan, langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut: (1) selama kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi sastra digunakan campursari; (3) belajar mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk sastra yang ada dalam campursari yang diputarkan melalui VCD/ DVD oleh guru (4) belajar menulis bentuk-bentuk sastra seperti yang dicontohkan dalam campursari, (5) pre-test dan post-test.
Pada tahap refleksi, setiap tindakan yang diimplementasikan di kelas direfleksi dengan langkah analisis, penjelasan, dan simpulan.
6.    Analisis Data
Pada penelitian tindakan ini, data dianalisis sejak tindakan pembelajaran dilakukan. Dikembangkan selama proses refleksi sampai dengan penyusunan laporan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Data yang diperoleh dianalisis melalui tahap menyeleksi, mengklasifikasikan, mengorganisasikan, serta membuat kesimpulan makna hasil analisis.

F. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.    Setting Penelitian
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Banguntapan merupakan sekolah alih fungsi dari SPG IKIP Negeri Yogyakarta. Awalnya sekolah ini adalah Sekolah Pendidikan Guru Percobaan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra dan Filsafat UGM. Berdasarkan SK Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan RI Nomor 38115, tanggal 21 Oktober 1952, operasionalnya berada di bawah IKIP Yogyakarta dan berganti nama menjadi SPG IKIP Yogyakarta. SPG ini berlokasi di Bulaksumur, Sleman. Selanjutnya SPG IKIP Yogyakarta berturut-turut berubah nama menjadi SPG 3 dan SMAN 12 Yogyakarta, dan berlokasi di Panembahan Senopati Yogyakarta. Kemudian terhitung mulai 1 Juli 1995 berpindah tempat di desa Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul berdasarkan SK Mendikbud RI Nomor: 035/O/1997 tertanggal 7 Maret 1992, SMAN 12 Yogyakarta berubah menjadi SMAN 2 Banguntapan sampai sekarang.
SMAN 2 Banguntapan memiliki 12 ruang kelas, dengan 4 kelas untuk masing-masing tingkatannya, dengan jumlah siswa rata-rata 40 orang per kelas. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa diberikan kepada siswa kelas X, XI, dan XII. Untuk kelas X dan XI, alokasi waktu untuk pelajaran bahasa Jawa adalah 2 jam pelajaran x 45 menit per minggu. Guru mata pelajaran bahasa Jawa hanya satu orang, dengan latar belakang pendidikan S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa. Jadwal pelajaran bahasa Jawa untuk kelas XI IPA 1 setiap hari Kamis, dilangsungkan selama 2 jam pelajaran dari pukul 08.45-09.30 WIB. Penyampaian materi pelajaran bahasa Jawa menggunakan bahasa pengantar campuran, yaitu bahasa Jawa tingkat tutur krama dan sedikit bahasa Jawa tingkat tutur ngoko, dan sesekali dengan bahasa Indonesia untuk memperjelas pemahaman materi bagi siswa yang berbahasa ibu bahasa Indonesia.

 

2.    Deskripsi Awal Partisipan

            Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 yang berjumlah 36 siswa.  Sebagian besar partisipan merupakan siswa yang berbahasa ibu bahasa Jawa, namun ada beberapa siswa yang berasal dari luar Jawa. Meskipun demikian, mayoritas partisipan belum mengetahui bentuk-bentuk sastra Jawa. Sebagian dari mereka pernah mendengar dan mempelajari bentuk-bentuk sastra Jawa di SD dan SMP, walaupun kurang memahami maksudnya. Hal tersebut seperti contoh percakapan yang dilakukan oleh peneliti yang menanyakan tentang parikan. Mas, saged nyukani tuladha parikan boten?”, siswa tersebut tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala saja. Ada pula yang bisa mencontohkan “Wajik Klethik gula jawa, luwih becik sing prasaja”. Tetapi siswa ini hanya sekedar hafal saja satu buah parikan yang sering dicontohkan gurunya ketika SMP. Tanpa mengetahui pola, dan tidak bisa membuat contoh parikan yang lain. Selain parikan, siswa-siswa juga sudah tidak mengenal bentuk-bentuk sastra Jawa yang lain seperti tembung plutan, wancahan, pepindhan, wangsalan, tembung garba, dan lain-lain.
            Selain bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi, dalam observasi juga terlihat sikap siswa terhadap mata pelajaran bahasa Jawa. Sikap dan respon para siswa terhadap mata pelajaran bahasa Jawa beragam. Beberapa siswa sangat antusias (mayoritas siswa putri), dan ada beberapa siswa putra yang duduk di bagian belakang, kurang antusias bahkan cenderung menyepelekan. Sikap-sikap negatif yang ditunjukkan oleh para siswa cukup mengganggu proses belajar mengajar di dalam kelas. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari guru, siswa maupun dari lingkungan belajar.

3.    Siklus Penelitian

a.  Perencanaan Siklus I
Rancangan tindakan: rancangan penelitian tindakan ini disusun oleh peneliti dan guru bidang studi bahasa Jawa dengan tujuan untuk memudahkan pelaksanaan tindakan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan keterampilan apresiasi bentuk-bentuk sastra Jawa. Langkah-langkah kegiatan penelitian:
1)    Setiap pertemuan, guru selalu menggunakan media campursari yang disesuaikan dengan materi pembelajaran. Materi pelajaran bertujuan untuk mengenalkan bentuk-bentuk sastra Jawa, menerangkan manfaat sastra Jawa, dan mengajak siswa untuk membuat hasil karya sastra Jawa secara kreatif dengan menggunakan campursari sebagai media pembelajaran. Pembelajaran selama tindakan juga tidak hanya menggunakan bahan dari buku ajar saja.
2)    Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, terlebih dahulu dilakukan pre test untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pre test dilakukan secara tertulis dan lisan.
3)    Siswa diberikan materi tentang bentuk-bentuk kesusastraan Jawa. Materi tersebut meliputi: pengenalan bentuk-bentuk kesastraan Jawa yaitu: (1) tembung garba, (2) tembung wancahan, (3) pepindhan, (4) parikan, (5) plutan, dan (6) purwakanthi guru swara, sastra, dan basa.
4)    Siswa juga diberi materi dengan media campursari tentang fungsi masing-masing bentuk sastra, penggunaan, dan cara membuat bentuk-bentuk sastra tersebut di atas. Materi tersebut disampaikan oleh guru dengan tujuan agar siswa dapat membedakan mengenal bentuk-bentuk sastra, memahami fungsinya, membedakan masing-masing bentuk sastra, dan mampu membuat contoh bentuk-bentuk sastra dari hasil kreativitasnya sendiri.
5)    Setelah semua materi disampaikan, siswa diberi angket dan post test untuk mengetahui peningkatan keterampilan sastra Jawa dan kesulitan yang dihadapi oleh siswa
6)    Indikator keberhasilan yang diharapkan pada siklus pertama ini adalah jika terjadi perubahan-perubahan pada komponen-komponen yang diamati, yaitu sikap, perhatian, partisipasi, perilaku, dan interaksi.

b.    Implementasi
1)    Pada awal pertemuan, peneliti memberikan pre test untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pretest berbentuk multiple choices sebanyak 20 soal, dan 5 buah soal essay. Ternyata hasil pre-test menunjukkan bahwa pengetahuan siswa mengenai sastra Jawa benar-benar sangat minim.
2)    Berdasarkan hasil pre test yang telah dilakukan, nampak bahwa para siswa belum mengetahui dan mengenal bentuk-bentuk sastra Jawa, tidak mengetahui fungsi dan manfaatnya, serta tidak dapat memberikan contoh-contoh bentuk-bentuk sastra Jawa.
3)    Pada pertemuan selanjutnya, guru memutar DVD campursari berbahasa Jawa. Pada pelajaran pertama ini, siswa diminta menyimak campursari yang diputar oleh guru dengan menggunakan laptop dan LCD. Setelah diputarkan DVD, siswa diberi materi sastra Jawa berdasarkan bentuk-bentuk sastra yang ada dalam campursari. Materi pelajaran pertama yaitu parikan.
4)    Kemudian guru memberikan teori-teori umum tentang seluk-beluk kesastraan Jawa. Kemudian guru mulai fokus pada materi parikan. Materi tersebut meliputi: pengertian parikan, manfaat parikan, dan struktur parikan. Guru kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari parikan yang terdapat dalam teks campursari. Sebelum tugas dilaksanakan terlebih dahulu guru memberikan koreksi pada teks lagu campursari. Karena dalam teks tersebut banyak terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan ejaan. Misalnya kata lara ‘sakit’, dituliskan dengan kata loro yang berarti ‘dua’. Guru memberikan keterangan singkat tentang hal ini, kemudian memberikan koreksi-koreksi dengan melibatkan siswa secara aktif.
5)    Pada pertemua kedua, guru juga memutar DVD campursari. Pada pertemuan ini guru langsung meminta siswa untuk mencari parikan yang terdapat dalam campursari. Setelah itu siswa maju untuk menuliskan parikan yang sudah teridentifikasi. Guru kemudian menerangkan tentang struktur parikan dan cara-cara menyusun parikan. Kemudian siswa diminta untuk maju, menulis dan membacakan parikan buatan mereka sendiri. Setiap ada siswa yang maju, guru memberikan koreksi-koreksi, jika ada sturktur dan diksi yang kurang tepat. Setelah diberikan penjelasan setiap ada siswa yang maju, guru memberikan waktu senyap atau waktu senggang kepada para siswa untuk mengkoreksi lagi parikan yang mereka buat agar tidak melakukan kesalahan yang sama dengan temannya yang sudah maju terlebih dahulu.
6)    Pada pertemuan ketiga, guru menerangkan materi mengenai tembung garba, dan wancahan. Peneliti menggunakan media campursari dengan judul Taman Jurug dalam kegiatan belajar mengajar.
7)    Pada pertemuan keempat, guru kembali memutar lagu Taman Jurug kemudian menerangkan materi pepindhan dan purwakanthi.
8)    Pada setiap pertemuan, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya seputar materi pembelajaran. Guru juga mengulang memutarkan materi lagu campursari dengan bantuan laptop, jika siswa menghendaki. Pada setiap pertemuan, guru memberikan tugas kepada siswa, untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa mengenai bentuk-bentuk sastra Jawa.
9)    Ketika siswa mengerjakan tugas, guru membimbing secara aktif dengan berkeliling ruangan, membantu siswa yang kesulitan dalam mengerjakan tugas.
10) Pada akhir pertemuan siklus pertama, nampak adanya perubahan yang lebih baik berkaitan dengan sikap, motivasi, dan partisipasi siswa dalam belajar.

c.     Hasil Pengamatan
Berikut ini adalah hasil pengamatan berdasarkan proses pembelajaran keterampilan sastra dengan media campursari:
1)    Siswa masih kesulitan membedakan antara bentuk sastra plutan dan wancahan
2)    Siswa masih kesulitan membedakan antara purwakanthi basa, sastra, dan basa (lumaksita).
3)    Siswa masih melakukan kesalahan-kesalahan penulisan ejaan
4)    Siswa masih kurang berani untuk maju ke depan kelas, sehingga harus ditunjuk dan diberi motivasi terlebih dahulu oleh guru.
5)    Sikap, perhatian, partisipasi, dan perilaku siswa dalam kegiatan belajar mengajar bahasa Jawa cukup baik;
6)    Media campursari yang digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Jawa dapat memotivasi siswa, sehingga siswa lebih tertarik untuk belajar. Siswa tidak merasa bosan mengikuti pelajaran bahasa Jawa;
Siswa mengalami peningkatan dalam hal keterampilan bersastra. Hal ini terlihat dari peningkatan rata-rata hasil pre test pada saat dilakukan post test pada siklus I, yaitu dari 38, 05 menjadi 66,52 (kecenderungan naik: 28%)

d.     Refleksi
Peneliti dan guru bahasa Jawa pada tahap ini melakukan refleksi bersama atas tindakan yang telah dilakukan selama siklus pertama. Kemudian meninjau kembali atas perubahan pada komponen yang diamati, seberapa jauh tindakan telah sesuai dengan rencana, bagaimana keberhasilan, hambatan-hambatan, serta langkah yang harus dilakukan pada siklus berikutnya.
1)    Siswa masih kesulitan membedakan bentuk sastra plutan dan wancahan.
Untuk itu siswa perlu diterangkan secara lebih lanjut mengenai tembung plutan dan wancahan. Selain itu, siswa perlu diberikan contoh-contoh lain tentang tembung plutan dan wancahan.
2)    Siswa masih kesulitan membedakan antara purwakanthi basa, sastra, dan basa (lumaksita). Hal ini dikarenakan materi mengenai purwakanthi disampaikan dalam satu kesempatan, tanpa jeda, dan hanya dalam satu lagu campursari saja. Oleh karena itu, perlu diterangkat lebih lanjut mengenai purwakanthi. Selain itu perlu diberikan contoh-contoh yang lebih beragam agar siswa lebih paham mengenai purwakanthi.
3)    Siswa masih melakukan kesalahan-kesalahan penulisan ejaan
Hasil pekerjaan siswa yang dikumpulkan secara tertulis, nampak bahwa penulisan ejaan belum tepat. Untuk mengatasi masalah tersebut maka, guru menyampaikan materi ejaan bahasa Jawa yang benar dengan contoh-contohnya. Untuk mengecek pemahaman siswa, maka guru memberikan latihan secara langsung. Hasil dari siswa cukup baik, sehingga kesulitan pemahaman ejaan bahasa Jawa sudah cukup teratasi.
4)    Siswa kurang berani untuk maju ke depan kelas, sehingga harus ditunjuk dan diberi motivasi terlebih dahulu oleh guru.
Siswa tidak berani maju secara sukarela ke dapan kelas. Hal ini disebabkan karena siswa merasa tidak mampu untuk melaksanakan perintah guru dengan baik, sehingga takut salah dan ditertawakan oleh siswa yang lain. Guru juga menerapkan sistem reward kepada para siswa, untuk merangsang siswa agar lebih aktif. Jadi guru memberikan hadiah kepada para siswa yang maju dan dengan hasil pekerjaan yang paling baik. Cara ini sangat efektif, siswa berebut untuk maju ke depan kelas. Rasa malu dan canggung dikalahkan dengan motivasi untuk memperoleh hadiah. Para siswa juga sangat bersemangat dan tumbuh iklim kompetitif selama proses belajar mengajar. Bahkan kreativitas siswa mulai berkembang demi memperoleh poin tinggi. Siswa tidak hanya bentuk-bentuk sastra Jawa seperti yang sudah diterangkan, tetapi ada pula yang sudah berani mengarang lagu campursari sendiri, dengan menyisipkan bentuk-bentuk sastra seperti yang sudah diterangkan oleh guru.
5)    Sikap, perhatian, partisipasi, dan perilaku siswa dalam kegiatan belajar mengajar bahasa Jawa cukup baik;
Siswa yang pada mulanya gaduh mulai tekun untuk mengerjakan tugas, karena tugas tersebut akan dipresentasikan ke depan kelas. Perhatian siswa juga meningkat karena jika tidak memperhatikan keterangan guru, mereka akan salah dalam mengerjakan tugas, sehingga akan memperoleh poin rendah dan tidak mendapat hadiah. Media campursari efektif untuk memberikan motivasi kepada siswa sehingga siswa lebih tertarik untuk belajar. Hal ini dikarenakan campursari dikemas dalam tampilan yang menarik (menggunakan model dalam video klip, menggunakan musik yang menarik) sehingga menarik perhatian para siswa. Selain itu, para siswa juga sudah banyak yang hafal dengan syair yang terdapat dalam lagu campursari, sehingga mempermudah siswa untuk belajar. Media campursari juga menggugah motivasi siswa, karena dalam proses pembelajaran mereka bisa bernyanyi bersama, mengikuti alunan lagu yang diputarkan oleh guru. Belajar dengan media campursari mengarahkan siswa untuk belajar secara kreatif sehingga materi lebih mudah diterima mudah diterima oleh siswa;
6)    Siswa mengalami peningkatan dalam hal keterampilan bersastra
Peningkatan keterampilan bersastra dapat dilihat dari perbandingan nilai rata-rata pre test dan post test. Nilai rata-rata siswa sebelum penerapan campursari adalah 38,06. Nilai ini meningkat menjadi 66,53. Hambatan yang dirasakan adalah alokasi waktu yang kurang. Pada saat pemberian tindakan, biasanya waktu sudah habis saat sebagian siswa belum maju untuk mempresentasikan tugas. Namun secara umum, pada akhir siklus ini sudah ada peningkatan keterampilan sastra siswa.

e.       Perencanaan Siklus II

Siklus pertama dalam penelitian ini sudah menunjukkan hasil bahwa kemampuan untuk mengapresisasi bentuk-bentuk sastra Jawa pada siswa sudah mengalamai peningkatan. Akan tetapi masih terdapat kesulitan-kesulitan yang ditemui oleh para siswa dalam mengapresiasi bentuk-bentuk sastra Jawa. Oleh karena itu, perlu dilanjutkan pada siklus dua. Rancangan tindakan untuk siklus kedua, didasarkan pada refleksi pada siklus pertama. Langkah-langkah kegiatan penelitian adalah sebagai berikut.
1)      Peneliti memanfaatkan campursari sebagai media pembelajaran
2)      Siswa diberi tugas untuk menganalisis bentuk-bentuk sastra dalam campursari
3)      Siswa diberi materi mengenai tembung plutan, wancahan, dan purwakanthi swara, sastra, dan purwakanthi basa (lumaksita)
4)      Siswa diberi materi mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam syair campursari
5)      Siswa diberi materi mengenai ejaan bahasa Jawa agar kesalahan-kesalahan dalam penggunaan ejaan pada siklus satu dapat ditanggulangi
6)      Siswa diberi tugas untuk membetulkan ejaan bahasa Jawa dalam syair lagu campursari
7)      Keberhasilan tindakan pada siklus dua dilihat dari adanya perubahan pada komponen sikap dan motivasi siswa dalam proses belajar mengajar, serta hasil post-test yang akan dilaksanakan pada akhir siklus

f.        Implementasi
1.     Materi yang disampaikan pada pertemuan pertama adalah tembung wancahan dan plutan. Materi difokuskan pada perbedaan antara tembung wancahan dan plutan. Karena berdasarkan hasil post-test terdapat indikasi bahwa siswa sebenarnya sudah bisa membedakan bentuk-bentuk sastra Jawa, tetapi untuk membedakan tembung wancahan dan plutan, masih banyak siswa yang kebingungan.
2.     Materi ini disampaikan oleh guru dengan menggunakan media campursari. Namun sebelum campursari diputar, guru menerangkan materi terlebih dahulu, kemudian siswa berlatih dengan menggunakan media campursari. Awalnya siswa masih kesulitan membedakan tembung wancahan dan plutan, tetapi kemudian dibimbing oleh guru. Pada pertemuan berikutnya, siswa sudah tidak kesulitan dalam mengidentifikasi tembung wancahan dan plutan.
3.     Pada pertemuan kedua pada siklus dua, siswa diberi materi mengenai purwakanthi. Siswa masih kesulitan mengidentifikasi antara purwakanthi swara, sastra, dan basa karena adanya kemiripan jika sudah diimplementasikan dalam suatu bentuk sastra. Misalnya dalam ungkapan gemi, nastiti, ngati-ati. Siswa masih bingung, apakah ungkapan tersebut memuat purwakanthi swara, sastra, atau basa karena dalam ungkapan tersebut bisa dikategorikan dalam purwakanthi swara, sastra, maupun basa. Kemudian guru menerangkan bahwa jenis-jenis purwakanthi bisa dipakai secara bersamaan. Guru juga menggunakan media campursari untuk mengajar materi purwakanthi.
4.     Pada pertemuan ketiga, guru masih memanfaatkan campursari dalam pembelajaran. Tetapi pada pertemuan ketiga ini, guru memusatkan perhatian pada syair lagu campursari. Berdasarkan syair lagu campursari, guru menerangkan mengenai nilai-nilai moral dan budi pekerti yang terdapat dalam syair lagu campursari. Guru kemudian memutar lagu campursari untuk dianalisis nilai-nilai budi pekertinya. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan diskusi kelompok.
5.     Pada pertemuan 1-3, guru selalu mengingatkan untuk menggunakan ejaan bahasa Jawa yang baik dan benar.

g.       Hasil Pengamatan
1.     Pada awalnya siswa kesulitan untuk membedakan antara tembung wancahan dan tembung plutan. Sehingga terkadang dalam mengidentifikasi tembung wancahan dan tembung plutan sering terbalik, termasuk dalam membuat contoh dan menganalisis. Siswa pada awalnya juga masih bingung untuk membedakan antara purwakanthi swara, sastra, dan basa jika diterapkan dalam suatu ungkapan.
2.     Siswa sudah mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam syair lagu campursari
3.     Pembelajaran dengan menggunakan media campursari memberikan hasil yang baik dalam peningkatan partisipasi, motivasi, perhatian, serta hasil belajar siswa.

h.      Refleksi
1)      Pada awalnya siswa kesulitan untuk membedakan antara tembung wancahan dan tembung plutan.
Terkadang dalam mengidentifikasi tembung wancahan dan tembung plutan sering terbalik, termasuk dalam membuat contoh dan menganalisis. Siswa pada awalnya juga masih bingung untuk membedakan antara purwakanthi swara, sastra, dan basa jika diterapkan dalam suatu ungkapan. Untuk mengatasi hal ini, guru menerangkan lagi perbedaan antara plutan dan wancah. Kemudian guru memberikan latihan-latihan khusus kepada siswa untuk bisa membedakan antara plutan dan wancah. Selanjutnya guru memberi tugas kepada siswa untuk membuat tembung plutan dan wancah. Kemudian hasil pekerjaan siswa, ditukarkan dengan siswa yang lain untuk kemudian dikoreksi bersama. Siswa yang masih membuat kesalahan, diberi perhatian khusus oleh guru. Media campursari tetep digunakan untuk menampilkan contoh-contoh plutan dan wancah. Untuk mengatasi masalah kurangnya pemahaman siswa dalam materi purwakanthi swara, sastra, dan basa digunakan metode yang sama dengan cara menerangkan materi plutan dan wancah.
2)      Siswa sudah mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam syair lagu campursari
Untuk pertemuan-pertemuan pada siklus pertama dan kedua, guru selalu menyinggung mengenai muatan nilai budi pekerti dalam syair lagu campursari. Tetapi guru baru memfokuskan mengenai muatan nilai-nilai budi pekerti dalam syair lagu campursari pada pertemuan ketiga siklus kedua. Jadi, sebelumnya siswa sudah mendapat gambaran mengenai nilai-nilai budi pekerti, kemudin diperjelas dengan keterangan dan materi dari guru pada pertemuan ketiga.
Untuk mencari kandungan muatan budi pekerti dalam syair lagu, digunakan pula media campursari yang diputar melalui LCD dan laptop. Compact Disc (CD) yang digunakan adalah CD campursari, sehingga syair lagu juga tampak di layar. Setiap pertemuan guru juga membetulkan ejaan-ejaan yang terdapat dalam syair lagu campursari.
Dewasa ini lagu-lagu campursari memuat syair yang cukup beragam. Mulai dari soal percintaaan, hubungan dengan sesama manusia, melukiskan keindahan alam, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak juga syair lagu campursari yang berbau pornografi. Oleh karena itu, guru sebagai kolaborator beserta peneliti cukup berhati-hati dalam memilih lagu campursari yang akan dijadikan media pembelajaran bagi siswa. Secara khusus guru dan peneliti memilih campursari yang memuat banyak bentuk-bentuk sastra, sekaligus memuat nilai-nilai budi pekerti.
3)      Pembelajaran dengan menggunakan media campursari memberikan hasil yang baik dalam peningkatan partisipasi, motivasi, perhatian, serta hasil belajar siswa.
Penggunaan media campursari mampu meningkatkan antusiasme siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Ketika guru masuk kelas dan memberitahukan bahwa pembelajaran bahwa pelajaran bahasa Jawa akan menggunakan lagi lagu campursari, seketika kelas menjadi gaduh. Hal ini dikarenakan antusiasme siswa. Siswa merasa lebih senang dan termotivasi untuk belajar.
            Proses belajar mengajar juga lebih hidup, karena secara aktif siswa menyimak lagu campursari. Bahkan semua siswa juga ikut menyanyikan lagu campursari yang sedang diputar. Siswa juga bersemangat ketika guru memberikan tugas untuk mengapresiasi sastra yang terdapat dalam syair lagu campursari. Hal ini membuat kelas agak gaduh, karena siswa mendiskusikan tugas dengan teman yang lain. Tetapi kelas terkesan lebih hidup dan santai, sekaligus tercapai tujuan pembelajarannya. Keterlibatan siswa juga meningkat, terutama ketika diterapkan metode diskusi. Siswa yang pendiam sudah berani untuk mengungkapkan pikirannya terutama kepada teman-teman diskusinya.
Perhatian siswa terhadap materi yang diberikan oleh guru juga semakin meningkat. Karena jika tidak mendengarkan materi yang diberikan oleh guru, siswa tidak dapat menganalisis lagu campursari yang sedang diputar. Setelah campursari diputar, para siswa dengan serius mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

G.     PEMBAHASAN

Pelaksanaan penelitian tindakan dimulai pada tanggal 23 Oktober–6 November 2008 untuk siklus I. Sedangkan siklus II dilaksanakan pada tanggal 13-27 November 2008. Sebelum tindakan dimulai, diadakan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam mengapresiasi bentuk-bentuk sastra Jawa. Setelah siklus berakhir, diadakan post test untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa setelah diberi tindakan berupa pemakaian media campursari dalam proses belajar mengajar.

1.    Perubahan Sikap Siswa dalam Proses Belajar Mengajar
Media campursari efektif digunakan sebagai media pembelajaran sastra Jawa. Penggunaan media campursari juga dapat menumbuhkan semangat dan motivasi belajar siswa. Selain itu, siswa juga lebih interaktif yang ditunjukkan dengan keaktifan di dalam kelas, sikap yang lebih baik, perhatian yang lebih terfokus. Suasana di dalam kelas juga lebih hidup karena pada saat menerima materi siswa ikut menyanyikan lagu campursari yang sedang diputar oleh guru.
Perubahan sikap para siswa selama penelitian dalam siklus I tampak dalam amatan peneliti sebagai berikut.
Tabel 2: Amatan Peneliti terhadap Perubahan Sikap Siswa Setelah Siklus I

No.
Deskripsi Sikap
Sebelum Tindakan
Sesudah Tindakan
Kecenderungan
A.
Perilaku negatif:
1.   terkadang ramai
17
12
turun 17 %
2.    takut bertanya
15
6
turun 43 %
3.    takut berpendapat
13
9
turun 18 %
4.    pasif dalam mengikuti pelajaran
20
10
turun 33%
B.
Perilaku positif:
1.    tenang dan berkonsentrasi belajar
18
26
Naik 18%
2.    memperhatikan pelajaran
22
28
Naik 12 %
3.    menyimak ketika guru bertanya dan menerangkan
19
23
Naik 10 %
4.    mengerjakan tugas dari guru
30
34
Naik 15 %
Setelah dilanjutkan pada siklus II, sikap positif siswa cenderung naik, jika dibandingkan dengan sikap siswa pada siklus I. Berikut tabel hasil amatan peneliti terhadap sikap siswa.
Tabel 3: Amatan Peneliti terhadap Perubahan Sikap Siswa Setelah Siklus II

No.
Deskripsi Sikap
Siklus I
Siklus II
Kecenderungan
A.
Perilaku negatif:
1.    terkadang ramai
12
9
turun 14 %
2.    takut bertanya
6
3
turun 33 %
3.    takut berpendapat
9
6
turun 20 %
4.    pasif dalam mengikuti pelajaran
10
7
turun 18 %
B.
Perilaku positif:
1.    tenang dan berkonsentrasi belajar
26
28
Naik 4 %
2.    memperhatikan pelajaran
28
34
Naik 10 %
3.    menyimak ketika guru bertanya dan menerangkan
23
32
Naik 16 %
4.    mengerjakan tugas dari guru
34
35
Naik 3 %

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media campursari dapat meningkatkan sikap positif siswa dan menurunkan perilaku negatifnya. Perilaku negatif seperti terkadang ramai, takut bertanya, takut berpendapat, dan pasif dalam mengikuti pelajaran cenderung menurun. Walaupun belum 100% siswa mengalami penurunan, namun mayoritas kelas mampu dikuasai oleh guru dan menurun perilaku negatifnya.
Sebaliknya  perilaku positif naik cukup signifikan, dibandingkan pada saat awal pembelajaran. Siswa semakin tenang dan berkonsentrasi belajar, memperhatikan materi yang disampaikan oleh guru, menyimak ketika guru bertanya dan memberi tugas, serta semakin rajin mengerjakan tugas dari guru.
Saat mengerjakan tugas pun para siswa masih mendendangkan lagu campursari yang baru saja diputar. Bahkan beberapa siswa sudah mencoba untuk menulis lagu campursari dengan menggunakan bentuk-bentuk sastra yang baru saja diterangkan oleh guru. Walaupun suasana saat para siswa mengerjakan tugas agak gaduh, namun tetap kondusif.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator, setelah diterapkan penggunaan media campursari, terdapat peningkatan kondisi siswa, terkait dengan keterampilan apresiasi sastra maupun perubahan sikap dan tingkah laku mereka, seperti yang terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 4: Deskripsi Perubahan Kondisi Siswa
No.
Kondisi siswa sebelum diberi tindakan
Kondisi siswa setelah diberi tindakan
1.     
Tidak menggunakan media pembelajaran campursari
Menggunakan media campursari
2.     
Siswa kurang aktif dan motivasinya rendah untuk mengikuti pelajaran bahasa Jawa
Siswa lebih aktif dan dan termotivasi untuk mengikuti pelajaran bahasa Jawa
3.     
Siswa belum mengenal dan memahami bentuk-bentuk sastra Jawa seperti parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi
Siswa sudah mengenal dan memahami bentuk-bentuk sastra Jawa seperti parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi
4.     
Siswa belum mampu membuat parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi
Siswa sudah mampu membuat parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi
5.     
Siswa belum mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam campursari
Siswa sudah mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam campursari
6.     
Siswa belum mampu menggunakan ejaan bahasa Jawa dengan baik dan benar
Siswa sudah mampu menggunakan ejaan bahasa Jawa dengan baik dan benar
7.     
Kurangnya nuansa Jawa dalam pembelajaran bahasa Jawa di kelas
Terciptanya nuansa Jawa dalam pembelajaran bahasa Jawa di kelas
8.     
Siswa tidak berani maju secara sukarela ke depan kelas
Siswa lebih berani maju secara sukarela ke depan kelas

2.    Peningkatan Perolehan Hasil Test
Berdasarkan hasil pre test dan post test yang diperoleh pada tindakan selama siklus I, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bersastra siswa mengalami peningkatan. Terbukti adanya kenaikan nilai yang cukup signifikan. Sebelum diadakan tindakan, rata-rata nilai pre-test siswa adalah 38,05. Setelah diberi tindakan, rata-rata nilai siswa adalah 66,52. Sehingga terdapat peningkatan sebesar 28 poin. Seperti dalam tabel berikut.
Tabel 5: Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa Setelah Siklus I
Jumlah Siswa
Nilai Rata-Rata

Pre-Test
Post-Test Siklus I
Selisih
36
38,06
66,53
28

Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan jika digambarkan dalam bentuk grafik, sebagai berikut:
Diagram 1: Peningkatan Nilai Siswa Setelah Siklus I



 Berdasarkan refleksi siklus I, didapatkan hasil bahwa masih ada beberapa materi pembelajaran yang belum tuntas dipelajari oleh para siswa. Oleh karena itu, diputuskan untuk mengadakan tindakan siklus II agar peningkatan ketrampilan apresiasi sastra lebih maksimal. Setelah siklus II dilaksanakan, peneliti bersama kolaborator kemudian mengadakan post test siklus II.
Berdasarkan post-test siklus II, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bersastra siswa semakin mengalami peningkatan. Terbukti adanya kenaikan nilai yang cukup signifikan. Setelah siklus I, nilai rata-rata siswa adalah 66,53. Setelah diberi tindakan pada siklus II, nilai rata-rata siswa adalah  87,4. Sehingga terdapat peningkatan sebesar 20,4 poin. Seperti dalam tabel berikut.

Tabel 6: Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa Setelah Siklus II
Jumlah Siswa
Nilai Rata-Rata

Siklus I
Post-Test Siklus II
Selisih
36
66,53
87,4
20,4

Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan pada siklus II jika digambarkan dalam bentuk grafik, sebagai berikut:
Diagram 2: Peningkatan Nilai Siswa Setelah Siklus II



H.     KESIMPULAN DAN SARAN
1.       Simpulan
Sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan campursari dapat meningkatkan keterampilan bersastra siswa, khususnya pada siswa kelas XI IPA 1, SMAN 2 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Penggunaan campursari dapat meningkatkan keaktifan siswa selama PBM, meningkatkan prestasi hasil belajar siswa, meningkatkan motivasi, meningkatkan keberanian siswa untuk menunjukkan kemampuan di depan kelas, dan mempermudah siswa dalam menerima materi.
2.       Saran
Guru disarankan untuk lebih variatif dalam menggunakan media pembelajaran, tidak hanya berupa buku, tetapi media-media lain yang dapat mempermudah pemahaman materi siswa. Guru dapat menggunakan media campursari untuk mengajarkan materi-materi pelajaran yang lain. Tidak terbatas pada pelajaran apresiasi sastra, tetapi juga bisa digunakan untuk mengajar paramasastra, tembang, unggah-ungguh, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA


Hidayat, Ahid. 2002. “Guru dan Kakilangit Pengajaran Sastra” dalam Sastra Masuk Sekolah. (ed. Sarumpaet, Riris K. Toha). Magelang: Indonesia Tera.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Yogyakarta: Soejadi.
Dinas Pendidikan Provinsi DIY. 2006. Kurikulum Muatan Lokal: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Provinsi DIY.
Rustaman, Nuryani K, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Rusyana, Yus. 1999. Horison, No. 8-11 Th. XXXI, Juli 1999.
Sadiman, Arif S. 1990. Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa Catatan” dalam Sastra Masuk Sekolah. (ed. Sarumpaet, Riris K. Toha). Magelang: Indonesia Tera.
Setiono, Budi. 2003. “Campursari: Nyanyian Hibrida dari Jawa Poskolonial” dalam Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia. (ed. Budi Susanto). Yogyakarta: Kanisius.
Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Klaten: Intan Pariwara.
Subalidinata, R.S. 1981. Seluk Beluk Kesastraan Jawa. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara Fakultas Sastra UGM.
Sudjana, N. 1991. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.
Sulastiani, Sri. 2001. “Teks Lagu Pop Jawa sebagai Media Alternatif Pembelajaran Bahasa Jawa” dalam Makalah KBJ III Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia KBJ III Yogyakarta.
Sutrisno, Ign. S.I. 1982. Pathining Basa Jawa. Semarang: Mutiara Pertama Widya.
Suwarna, dkk. 2005. Pengajaran Mikro. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tim Jarlit BAPEDA DIY. 2004. Pemberdayaan Bahasa, Sastra, Budaya, dan Aksara Jawa melalui Jalur Formal dan Nonformal dalam Era Multikultur di DIY. Laporan Penelitian. Yogyakarta: BAPEDA Propinsi DIY.

Comments

  1. Hasil penelitiannya menarik. Ternyata untuk mengapresiasi sebuah karya itu tidaklah mustahil, meskipun tidak mudah ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul ... betul ... mari sama2 mengapresiasi sastra.

      Delete
  2. mari belajar tembang campur sari....belajar dan bernyanyi...sangat menyenangkan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NASKAH DAN BAHAN NASKAH JAWA

KONTEKSTUALISASI HISTORIS BABAD PAKEPUNG: UPAYA PENEMPATAN BABAD SEBAGAI SUMBER SEJARAH REPRESENTATIF

REVITALISASI DAN REAKTUALISASI MAKANAN TRADISIONAL JAWA DALAM SERAT CENTHINI