WARNA ISLAM DALAM TEKS KLASIK LAYANG MURSADA PESISIRAN
A. Pendahuluan
Agama Islam mulai dikenal oleh
masyarakat nusantara kurang lebih pada abad ke- 9 Masehi (M). Beberapa abad
berikutnya, kontak komunitas nusantara ini semakin berkembang dengan adanya
aktifitas perdagangan. Pada masa ini pedagang asing yang beragama Islam bergaul
lebih intens dengan masyarakat nusantara. Kemudian pada abad ke- 15 dan 16,
agama Islam semakin menyebar luas dan berkembang pesat dengan peranan para wali
yang membentuk basis utama di daerah Pesisir Pulau Jawa seperti Tuban, Gresik, Jepara,
Demak, Cirebon, Banten, dan lain-lain (Pigeaud dalam Nugroho, 2000: 23).
Tumbuh dan berkembangnya agama Islam
tersebut membawa pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu
pengaruh yang signifikan tampak dalam aspek sastra. Warna Islam tampak secara
nyata dalam berbagai karya sastra. Basis para wali yang berada di daerah
Pesisiran pun dalam perkembangannya kemudian, membentuk suatu skriptoria yang
disebut dengan skriptoria Pesisiran. Karya sastra pesisiran ini pada
awal perkembangannnya cenderung bersifat mistis-religius yang diramu dalam
bentuk prosa liris ataupun tembang Macapat. Sifat mistis-religius ini
kemudian berkembang menjadi karya yang lebih kompleks dengan pengadaptasian
unsur-unsur budaya yang diberi warna-warna Islami (Purnomo, 2001: 2).
Tulisan ini akan mengkaji salah satu
hasil perkembangan karya sastra pesisiran yang berjudul Layang Mursada. Karya
ini ditulis kurang lebih pada tahun 1879 M (abad ke-19). Tulisan ini bertujuan
untuk mendeskripsikan visualisasi warna Islam dalam teks klasik Layang
Mursada (LM).
B. Deskripsi Teks Klasik Layang Mursada
Teks LM merupakan teks epik yang sangat
digemari pada masanya. Teks LM berkembang bersama-sama dengan teks Menak. Jika
teks Menak diadaptasi dari sejarah lokal Arab-Persia, teks LM muncul dari
penciptaan sastrawan lokal Jawa (Purnomo, 2001: 3-4). Tulisan ini bersumber
dari teks LM hasil suntingan S. Bambang Purnomo (2001). Teks LM digubah dalam
bentuk tembang Macapat yang terdiri dari 13 pupuh, yaitu Asmaradana,
Pangkur, Sinom, Durma, Dhandhanggula, Asmaradana, Sinom, Durma, Dhandhanggula,
Asmaradana, Pangkur, Durma, dan Asmaradana.
Suntingan didasarkan pada empat buah
naskah LM yang berasal dari Tuban dan Lamongan. Naskah-naskah ini ditulis
dengan aksara Jawa dan Pegon. Tahun penyalinan berkisar pada tahun 1879 M.
Identifikasi warna Islam dalam teks LM dilakukan dengan pembacaan
berulang-ulang teks LM. Kata, frasa, kalimat yang mengandung warna Islam
dicatat dan dianalisis secara deskriptif.
C. Kajian Teori
1.
Islam dalam Karya-Karya Sastra Jawa
Islam mulai
berkembang di Indonesia semenjak abad ke-13 M. Namun baru pada abad ke-16
sampai dengan 17 M, warna Islam mulai berpengaruh dalam karya-karya sastra,
baik sastra Melayu maupun sastra Jawa (Sedyawati, 2001: 424-425). Mulai abad ke-17 tepatnya mulai tahun 1651
sampai awal abad ke-20, kerajaan-kerajaan di Jawa yang sudah terpengaruh oleh
Islam juga terpengaruh oleh bangsa Barat, mengingat bangsa Eropa mulai
melakukan ekspansi ke Kerajaan Banten. Penjajahan bangsa Potugis, Belanda, dan
Jepang yang berlangsung berturut-turut ini juga merupakan faktor ekstrinsik
yang mempengaruhi karya sastra yang diciptakan pada masa tersebut.
Naskah Jawa pada masa itu ditulis dengan
aksara Jawa, mengadaptasi ayat-ayat dalam bahasa Arab dan ditulis sesuai dengan
ejaan Jawa. Islam dalam karya-karya sastra Jawa pada awal masa perkembangannya,
berisi buah pikiran ortodoks, baik itu Hinduisme, Buddhisme, ataupun Islam.
Hasil karya sastra mendapat pengaruh Islam tampak secara jelas dalam struktur ekstra
estetiknya. Berikut ini contoh karya Jawa yang terpengaruh ajaran Islam dalam
kerangka sejarah periode Islam:
No.
|
Kerajaan
|
Karya Sastra yang Muncul
|
1.
|
Demak (Islam)
|
Het Boek van Bonang, Een Javans Geschrift uit de 16e eeuw, Suluk
Sukarsa, Kodja Jajahan,
|
2.
|
Mataram II
|
Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Nitisruti, Nitipraja,
Sastragending, Suluk Sewaka,
|
3.
|
Kartasura
|
Serat Menak, Rengganis, Manik Maya, Ambiya, Kandha
|
Karya-karya sastra di atas
mengandung struktur estetik sebagai berikut: (1) terpengaruh oleh unsur Islam,
yang masih taat dan menggunakan tembang Macapat dalam karya sastranya. Dengan
kata lain disebut puisi Islam atau suluk, (2) pilihan kata sudah cenderung
lugas, (3) guru lagu dan guru wilangan merupakan salah satu sarana kepuitisan
yang utama, dan (4) menggunakan bahasa yang berciri baru, yang merupakan
perpindahan dari bahasa Jawa tengahan ke bahasa Jawa baru.
Sedangkan
struktur ekstra estetiknya sebagai berikut: (1) membahas masalah yang dibahas
berkisar pada ajaran mistik, asal mula dunia, serta kisah para nabi, dan (2)
ide-idenya bersifat religius
Karya Sastra pada masa ini sangat jelas
terpengaruh oleh Islam, hal ini sangat wajar, karena sentra budaya pada periode
Jawa tengahan, yaitu Majapahit sudah runtuh. Pusat perdagangan semakin meluas
dan berkembang di daerah-daerah pesisir. Hal ini semakin mendatangkan banyak
pedagang Islam yang berasal dari Persia yang membaur dengan para pedagang
Gujarat dengan paham Hindunya. Sehingga percampuran ini membuat suatu karya
sastra yang unik dan mempunyai ciri khas tersendiri yang sering disebut dengan
Mistis Jawa.Warna Islam berlanjut sampai dengan periode Surakarta awal yang
tetap didominasi oleh bentuk tembang. Pada masa ini, karya sastra sudah tidak
banyak terpengaruh oleh unsur Islam, tetapi masih ada ciri ke-Islaman dalam
karya-karyanya.
Penerimaan Islam oleh masyarakat Jawa
sering melalui proses tarik-menarik dengan budaya Jawa, oleh karena itu karya
sastra yang timbul juga merepresentasikan adanya proses seleksi,
kontekstualisasi, dan internalisasi terhadap ajaran Islam, sesuai dengan sistem
budaya Jawa. Proses ini membentuk corak lokal khas yang juga tercermin dalam
karya-karya sastra yang terpengaruh Islam (Fathurahman, 2004: 6-9).
Layang Mursada juga merupakan teks
sastra Jawa yang bernafaskan Islam. Menurut Sudikan (dalam Purnomo, 2001: v),
teks LM merupakan hasil karya sastra Jawa dari zaman Islam awal. Naskah ini
kemudian menjiwai karya sastra Jawa sesudahnya, misalnya Iman Sujana dan
Serat Jatiswara. Teks LM tampak sebagai karya sastra awal masa Islam,
karena dalam kisahnya masih terpengaruh konsep-konsep yang disesuaikan dengan
sistem budaya Jawa (Jawa-Hindu). Misalnya masih adanya konsep karma,tirakat,
tapa brata, konsep kadewatan, peri perayangan, serta kepercayaan
terhadap jimat dan ajian.
2.
Daerah Pesisir sebagai Skriptorium Karya Sastra
Pesisiran
Penyebaran agama Islam di pulau Jawa,
tidak semulus di luar pula Jawa. Ajaran Islam semula tidak dapat menembus
kuatnya pengaruh budaya Kraton Hindu-Jawa. Para petinggi kraton pada masa itu
menganggap budaya Islam masih rendah dan kearab-araban. Oleh karena itu, selama
beberapa abad, penyebaran Islam merangkak terlebih dahulu di daerah-daerah
pedesaan, terutama di sepanjang pesisir. Daerah pesisir ini kemudian berkembang
pesat menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi pusat pendidikan agama dan
menjadi mitra bagi lingkungan budaya kraton Hindu. Daerah pesisir ini kemudian
juga menjadi penghasil karya-karya sastra yang dikenal dengan karya sastra
pesisiran yang kental dengan muatan Islam (Sedyawati, 2001: 425).
Pigeaud dalam Literature of Java Vol.
I (1967), menyatakan bahwa daerah Pesisir mulai menjadi skriptorium karya
sastra Jawa pesisiran mulai abad ke-15 M. Periode sastra Jawa pesisir
berkembang pesat dengan pusat-pusat di pantai utara, di Surabaya-Gresik,
Demak-Jepara, terus ke barat sampai ke Cirebon dan Banten. Dalam
perkembangannya, sastra Jawa pesisiran meluas ke barat sampai Palembang dan
Lampung, ke timur sampai ke Lombok, dan ke utara sampai Banjarmasin.
Karya sastra yang bernafaskan Islam Het
Boek van Bonang ‘kitab Bonang dan Een Javans Geschrift uit de 16e eeue ‘Primbon
Abad ke-16’ merupakan karya sastra yang merupakan tonggak berkembangnya sastra
Jawa Pesisiran. Selanjutnya skriptorium Pesisiran ini menghasilkan karya-karya
sastra dengan warna Islam, yang menyatakan sikap keagamaan masyarakat Pesisir
yang tertuang melalui bahasa estetik. Karya-karya yang muncul misalnya Suluk
Tembangraras, Sukarsa, Wujil, Suluk Sujinah, Suluk Dhudha, dan lain-lain.
3. Ciri Karya Sastra Pesisiran
Karya sastra Jawa Pesisiran pada masa perkembangannya mempunyai ciri
cenderung bersifat mistis religius dalam bentuk prosa liris atau tembang
Macapat. Masa berikutnya menjadi karya yang lebih kompleks dengan adaptasi
Jawa-Hindu yang diberi warna Islami. Karya sastra pesisiran dalam
perkembangannya dapat dipilah menjadi tiga ciri kelompok. Kelompok tersebut
antara lain: (1) karya yang mengandung tema etik religius yang ortodok dan
mengedepankan syariat Islam, (2) karya-karya yang berupa puisi naratif
didaktis; dan (3) karya-karya mistik.
Teks LM sendiri lebih condong pada kisah naratif didaktif yang mengisahkan
perjuangan dan kerja keras Raden Mursada. Hidupnya yang penuh penderitaan
akhirnya mampu diatasi dan berhasil diangkat menjadi raja.
Karya sastra Jawa pesisiran juga mempunyai ciri khas dalam struktur
estetisnya. Sebagian besar karya pesisiran, digubah dalam bentuk tembang
Macapat (Purnomo, 1992). Selain struktur estetis, naskah-naskah pesisiran juga
mempunyai ciri khas dalam segi ejaan. Penambahan dan pengurangan bunyi nasal
merupakan salah satu ciri pemakaian ejaan atau tulisan jenis Pesisir
(Behrend, 1990: 516). Bunyi nasal yang dihilangkan tersebut biasanya
adalah cêcak (ng). Pemakaian ejaan atau tulisan jenis Pesisir ini
sering disebut dengan gaya ortografik pélo pilêg, yaitu bahasa Jawa yang
ditulis dengan menghilangkan huruf sengau sehingga bunyinya tidak sempurna,
seperti orang pilek’ (Behrend, 1995: 660).
Ciri lain ejaan pesisir ini adalah penggantian vokal è, é menjadi
“i” atau sebaliknya, dari “i” menjadi é, è. Kasus ini timbul sebagai akibat
transkripsi antara manuskrip pégon dan aksara Jawi. Aksara “ya”
dalam pegon, digunakan untuk mewakili vokal è, é, maupun “i”, sehingga dapat
menimbulkan variasi dalam proses transkripsi. (Behrend, 1995: 53).
D. Warna Islam yang Terdapat dalam Teks Layang Mursada
Warna Islam yang terdapat dalam teks LM
akan dibahas secara urut berdasarkan pupuh, pada ‘bait’, dan gatra ‘baris’.
Angka romawi pada pembahasan melambangkan pupuh, angka Arab menunjukkan pada,
dan huruf Latin kecil menunjukkan letak baris.
1.
Teks LM Pupuh I, Pada 1a-e
Ingsun amimiti amuji, anebut
asmaning Allah, kang murah ing donya mangko, kang pinuji datan pegat, ingkang
asih ing akhirat, kang angganjar kawlas ayun, angapura wong kang dosa
‘kubuka tembang ini dengan memuji,
menyebut Asma Allah, Yang Pemurah di dunia ini, yang selalu Terpuji tanpa
berkesudahan, Maha Pengasih di akherat kelak, ‘Maha Pengasih di akherat kelak,
yang menganugerahkan belas kasih, mengampuni mereka yang berdosa’
Berdasarkan
bait di atas, dapat dilihat adanya warna Islami. Teks ini mengadaptasi ajaran
dalam agama Islam untuk memulai semua hal yang baik dengan menyebut nama Allah.
Allah adalah sang Maha Pencipta yang menciptakan
semua isi alam. Allah adalah dzat yang Maha Tahu. Bait di atas juga
menyebutkan puji-pujian yang berupa sifat-sifat Allah, di antaranya adalah Maha
Pemurah, Maha Terpuji, Maha Kekal, Maha Pengasih, dan Maha Pengampun. Beberapa
rujukan dalam bait di atas dapat dijumpai dalam Alquran, Surat Al-Fatihah: 1 yang
berbunyi bismillaahirrahmaanirrahiim
‘Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’. Sifat-sifat
Allah yang lain, sesuai dengan bunyi bait di atas, dapat ditemui pula dalam
ayat-ayat Alqur’an sebagai berikut: “Katakanlah: Jika kamu benar-benar
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran: 31). Terdapat pula dalam QS.
Faathir: 15 yang diterjemahkan sebagai berikut. “Hai manusia, kamulah yang
berkehendak kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Pada
bait ini juga terdapat adanya konsep-konsep Islam, yaitu konsep mengenai dosa
dan akherat. Konsep mengenai akherat memang terdapat dalam Alquran di antaranya
pada QS. Al A’la dan Al-Hadid. Teks LM juga mengenal konsep mengenai dosa yang
merupakan kebalikan dari pahala. Pada prinsipnya, dosa akan disandang oleh umat
manusia jika melakukan larangan-larangan Tuhan.
2.
Teks LM Pupuh I, Pada 2a-b
Sampun amuji Hyang
Widdhi, amuji Nabi Muhammad,….
‘Setelah memuji Yang Maha
Kuasa, lalu memuji Nabi Muhammad, …
Warna Islam dalam teks LM juga tampak
dengan adanya pujian bagi Nabi Muhammad. Kepercayaan dan pujian kepada Nabi
Muhammad mengacu pada Qur’an Surat Al-Fath: 29 dengan diterjemahkan sebagai
berikut:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari kurnia Allah
dan keridhoan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud….
3.
Teks LM Pupuh I, Pada 2c-g
lawan para Sekabate, sekabat sekawan nika, ingkang
dhihin Abubakar, loro Umar Usman telu, sekawan Ali Bagendha‘bersama para sahabat, yakni keempat sahabat,
pertama Abubakar, kedua Umar dan ketiga Usman, keempat Baginda Ali’
Empat sahabat nabi yang
disebut dalam teks LM adalah khalifah Islam yang menggantikan Nabi. Mereka
disebut khulafaur raasyidiin, artinya para khalifah yang mermperoleh
petunjuk. Gelar tersebut diberikan karena mereka selalu berusaha mengikuti
jejak Rasulullah dalam segala hal. Khalifah ialah pimpinan umum kenegaraan
untuk rakyat buat membawa mereka kepada agama yang suci, menekan golongan yang
kuat jangan sampai berbuat sewenang-wenang terhadap golongan yang lemah di
dalam tugas kewajibannya dalam negara. Sedang terhadap pihak luar, dia
melindungi agama Islam dan menolak serangan dari luar, dan dia tidaklah dapat
berdiri melainkan dengan kemauan rakyat (Ahmad, 2004: 1-3).
Empat sahabat Nabi tersebut yaitu:
Sayidina Abu Bakar adalah khalifah Islam pertama yang menggantikan Nabi. Abu
Bakar Ali adalah orang yang paling terpercaya, dan pembantu nabi yang paling
setia. Dilahirkan di Makkah dua setengah tahun setelah tahun Gajah, atau lima
puluh setengah tahun sebelum dimulainya hijrah. Di masa pra Islam dikenal sebagai
Abul Ka'ab dan waktu masuk Islam, Nabi memberinya nama Abdullah dengan gelar ash-Shiddiq ‘orang terpercaya’. Sahabat Nabi yang kedua adalah Umar bin Khatthab yang
sekaligus menjadikan khalifah kedua setelah Abu Bakar. Sahabat nabi yang ketiga
sekaligus khalifah ketiga setelah Abu Bakar adalah Usman bin Affan, dan
khalifah yang keempat adalah Ali bin Abi
Thalib.
4.
Teks LM Pupuh II, Pada 28d
Takona guru kang nyata, endi gon-gone sukma kang
pati sejati, yen weruha ta puniku, pinaringan swarga padhang, merga iku tunggal
sejatine ngelmu, kang aran Bental Mukadas, panggenan guru sejati
‘Bertanyalah kepada Guru yang benar, di manakah
tempat suksma yang hakiki, jika memahami hal itu, dianugerahi sorga yang
terang, sebab itu satu-satunya ilmu sejati, yang bernama Baitul Muqodas, tempat
guru yang sejati’
Disebutkan dalam teks tersebut adanya
konsep mengenai sorga. Bahwa sorga merupakan anugrah kepada manusia yang
menyerahkan segala hal kepada Tuhan. Karena hanya kepada Tuhan manusia akan kembali, dan hanya di atas
jalan-Nyalah seseorang harus beramal baik. Sorga juga merupakan imbalan yang
setimpal bagi manusia yang menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
5.
Teks LM Pupuh II, Pada 30a
Sarta lawan malaekat, ingkang mapag dhumateng Dewi
Sukarsi, katrima maring Hyang Agung, ingunggahaken ana ing swarga, Retna Ayu
ngungkuli sasaminipun, ya ta ing pratandhanira, wong madhep maring ing laki
‘Serta bersama malaikat, yang menjemput Dewi
Sukarsi, diterima di haribaan Tuhan, dinaikkan ke dalam sorga, Retna Ayu lebih
dari sesamanya, sebagai pertanda adalah, orang yang setia pada suami’
Warna Islam dalam teks LM juga tampak dengan adanya kepercayaan kepada
Malaikat. Acuan keimanan kepada malaikat ini dapat dilihat pada Alquran surat At-Tahriim: 6
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu
dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu (berhala); neraka itu
dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka
tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkan-Nya kepada
mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan”
Selain itu, eksistensi
malaikat dalam agama Islam juga tercermin dalam QS. Al- Mudatstsir: 21 yang
berarti: “Dan tidaklah mereka mengetahui tentang bala tentara Allah
(malaikat-malaikat) melainkan hanya Dia”. Kepercayaan dan konsep tentang
malaikat dalam teks LM hadir ketika Dewi Sukarsi meninggal. Dewi Sukarsi
merupakan istri Raja Baitul Mukadas. Karena adanya persekongkolan di kerajaan,
raja memerintahkan Arya Cengkiling untuk membunuh Dewi Sukarsi. Walaupun sudah
menghunus keris, Arya Cengkiling tetap tidak tega untuk membunuh junjungannya
tersebut. Akhirnya Dewi Sukarsi menabrak keris yang sudah terhunus tersebut dan
akhirnya tewas. Karena kesuciannya, roh Dewi Sukarsi dijemput oleh para
bidadari dan malaikat, dan selanjutnya dinaikkan menuju sorga.
6.
Teks LM Pupuh III, Pada 4a-g
Sarupane wong kasmaran, maring sira Raden pekik, jin
setan lan perayangan, gendruwo lan banaspati, padha asih aningali, sarupane
kang lelembut, lanang wadon padha ngresa, rahina kalawan wingi, Raden Mursada
nyata trah kusuma nata
‘Semua orang menaruh sayang, pada Raden yang
rupawan, jin setan, dan perayangan, gendruwo dan banaspati, kasih sayang
melihatnya, segala makhluk halus, jantan betina turut menjaganya, siang dan
malan, sungguh Raden Mursada keturunan raja.
Bait ini mengisahkan, putra Dewi Sukarsi yang dititipkan kapda Kyai dan
Nyai Nambi, sesaat sebelum meninggal, tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan berwibawa. Laku prihatin yang
dijalaninya, membuat pemuda yang diberi nama Raden Mursada semakin tampak
sebagai tokoh pilihan. Cahaya pun seperti memancar di dalam dirinya. Hal inilah
yang membuat manusia maupun makhluk halus jatuh cinta kepadanya. Pada kutipan
bait di atas, terlihat adanya warna Islam dengan pengakuan eksistensi jin dan
setan.
Pengakuan tentang zat ghaib memang telah diperintahkan Allah dalam QS.
Al-Baqarah: 4: “Mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Makhluk
Allah yang bersifat ghaib selain malaikat adalah jin dan iblis (setan). Secara
implisit, penciptaan jin termaktub dalam QS. Adz-Dzaariyaat: 60 yang artinya: “Dan
tidaklah aku menjadikan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadat
kepada-Ku”. Dalam teks LM juga disebutkan bahwa “sarupane kang
lelembut, lanang wadon padha ngresa” ‘segala makhluk halus, jantan
betina turut menjaganya’. Kutipan teks LM ini sesuai dengan konsep dalam Islam
bahwa jin tercipta dari api yang sangat panas dan dalam golongan jin, ada yang lelaki dan ada perempuan. Jin juga
berkeluarga, dan diantaranya ada mukmin dan kafir.
Teks LM juga mengenal konsep
adanya setan/ iblis. Setan/ iblis merupakan makhluk gaib dari golongan jin yang
murtad. Iblis pemimpin dari para setan. Setiap yang murtad dari golongan jin
adalah setan, dan setiap setan adalah jin, tetapi tidak semua jin adalah setan.
Rujukan mengenai kepercayaan tentang eksistensi iblis, salah satunya terdapat
dalam firman Allah surat Al-A'raaf ayat
12 yang berarti:
"Apakah
penghalangnya yang menyekatmu daripada sujud ketika Aku perintahmu?" Iblis
menjawab: "Aku lebih baik daripada Adam, Engkau (wahai Tuhan) jadikan daku
dari api sedang dia Engkau jadikan dari tanah."
Penggalan bait pada teks LM
menunjukkan adanya perpaduan antara budaya Jawa dan konsep dalam Islam. Selain
kepercayaan tentang adanya jin dan setan, dalam teks LM tersebut disebutkan
adanya perayangan ‘makhluk halus/ roh yang tinggal di tempat-tempat
angker, seperti pohon dan sebagainya’ (Poerwadarminta, 1939: 509). Selain itu
disebutkan pula adanya makhluk halus yang disebut gendruwo ‘setan yang
berwujud raksasa’ (Poerwadarminta, 1939: 143), dan banaspati, sebutan
untuk sejenis hantu tanpa kepala. Bait ini menunjukkan bahwa Islam dan budaya
Jawa hidup berdampingan. Konsep kepercayaan terhadap jin dan setan dipadu dengan
berbagai jenis makhluk halus yang hidup di alam pikir orang Jawa, seperti gendruwo
dan banaspati. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisiran yang
pada masa itu masih terpengaruh dengan tradisi anistis dan dinamistis, ternyata
bisa menerima Islam tanpa kehilangan ciri kultural kejawaannya (Abdalla,
2005: 1-3).
7.
Teks LM Pupuh V, Pada 1-2a-g
Wus sinegeg wahu ingkang guling, kawarnaha ing pulo
Ngijerak, wonten putri ayu rupane, lir widadari tumurun, akekasih Ni
Gendrasari, ayune tanpa tandhingan, sembada lan dedegipun, kuninge
amonda-monda, Gendrasari lumun mesem pait gendhis, putrine Nabi Sulaeman
Rama Nabi ibunira ejin, Gendrasari dadi padhalungan,
mulane ayu rupane, tur sekti bisa mabur, amarentah sagunge jin, marentah jin
pitung yuta, kaprentah maring Sang Ayu, jumeneng maksih walajang, dados nata
Gendrasari risang putri, dulure namung satunggal
‘Sudah
selesai cerita tentang orang yang tertidur, kemudian tersebutlah di pulau
Ngijerak, puteri yang cantik rupanya, bagaikan bidadari yang menjelma, bernama
Ni Gendrasari, cantik tiada bandingannya, selaras dengan sosok tubuhnya, kuning
berkilat-kilat, jika tersenyum semanis madu, (dialah) puteri Nabi Sulaiman’
‘Ayahnya
seorang Nabi ibunya jin, Gendrasari jadi padhalungan, oleh karena itu cantik
wajahnya, lagi pula sakti dan dapat terbang, menguasai segala jenis jin,
menguasai tujuh juta jin, di bawah kekuasaan Sang Ayu, dinobatkan semenjak
masih gadis, menjadi Ratu Risang Putri Gendrasari, saudaranya hanya satu’
Cerita mengenai Nabi Sulaiman
dalam LM sesuai dengan cerita Nabi Sulaiman dalam ajaran Islam. Nabi Sulaiman
merupakan putra Nabi Daud. Dalam teks-teks klasik Jawa, selain Nabi Muhammad,
Nabi Sulaiman menjadi salah satu nabi yang banyak disebut namanya di teks-teks
klasik Jawa. Hal ini dikarenakan kekuasaan Nabi Sulaiman atas jin, dan
kemampuannya untuk memahami bahasa binatang.
Teks LM menyebutkan bahwa Nabi
Sulaiman mempunyai putra dengan seorang jin wanita. Hal ini merupakan
pengembangan dari acuan QS. An-Naml: 15-44. Dalam ayat ini diceritakan bahwa
Nabi Sulaiman meng-Islamkan ratu Balqis yang memimpin kerajaan Saba. Kerajaan
ini yang sangat berkuasa, kaya, dan sangat makmur, tetapi masih menyembah
matahari sebagai Tuhan. Selanjutnya dengan ijin Allah, dan dibantu oleh pasukan
jin, Sulaiman mampu meyakinkan Ratu Balqis untuk memeluk agama Islam. Menurut
beberapa ahli tafsir dan ahli sejarah nabi-nabi, dikatakan bahwa pada
akhirnya Nabi Sulaiman memperistri Ratu Balqis dan mempunyai seorang putra.
Dua bait teks LM di atas
mengandung warna Islam, tentang konsep
kepercayaan kepada Nabi Sulaiman. Disebutkan dalam teks LM, Nabi Sulaiman
menikah dengan seorang jin wanita dan mempunyai dua orangputeri, bernama
Gendrasari dan Retnakumala. Putrinya yang bernama Gendrasari, selain cantik
juga mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga menjadi ratu dari tujuh juta
jenis jin. Teks LM mengadopsi riwayat Nabi Sulaiman, dan mengembangkannya
secara lebih mendetail mengenai istri dan puteri Nabi Sulaiman. Selanjutnya
disebutkan pula bahwa Putri Gendrasari inilah yang akan menjadi istri Raden
Mursada.
8.
Teks LM Pupuh V, Pada 20a-g
Sejatine
walese Hyang Widdhi, kala mateni keng garwa, punika Raden wiyose, utang pati
nyaur lampus, adilira Hyang Maha Suci, utang wirang nyaur wirang, walese Hyang
Agung yen saking tingal kawula, amung dika ingkang saged anambani, sakite Sri
Naranata
‘Sesungguhnya
itu balasan Tuhan, karena membunuh permaisuri, kono karena itulah Raden, hutang
mati bayar mati, keadilan Tuhan Yang Maha Suci, hutang malu bayar malu, balasan
dari Tuhan, dari pengamatan hamba, hanya Anda yang dapat mengobatinya, sakit
Sri Naranata’
Teks LM pada kutipan di atas
menceritakan bahwa Raja Ngerum (ayah Raden Mursada) sakit parah. Tidak ada yang
seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Warna Islam tampak dalam kutipan di
atas, yaitu adanya konsep Tuhan Yang Maha Adil. Keadilan Tuhan ini, menurut
teks LM disebutkan bahwa sakit yang diderita oleh Raja, merupakan hukuman dari
Tuhan karena telah tega membunuh permaisurinya sendiri. Warna Islam juga tampak
dengan adanya konsep Tuhan Yang Maha Suci. Acuan tentang Allah Maha Suci, dapat
dilihat dalam firman Allah surat Az-Zumar: 4 yang artinya: “Kalau sekiranya
Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di
antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. Dialah Allah
Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. Sedangkan acuan mengenai konsep Allah
Maha Adil, dapat dilihat dalam Q.S. Ghafir: 20, yang berarti: Dan
pula Allah Taala berfirman, “Allah memutuskan perkara dengan kebenaran
(keadilan). Apa yang mereka seru (puja) selain dari Allah itu, tidaklah dapat
memutuskan perkara apa pun. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Melihat.”
9.
Teks LM Pupuh IX, Pada 1a-g
Wus
sinigeg wau ingkang jurit, kawarnaha panjenengan Sri Nalendra, ginubel kang
putra, Raja Sejadhi wastane, Yumani negaranipun, pan kacrita ratu sinidik,
keringan manca nagara, para ratu teluk, anyelamaken wong kopar, Sri Nalendra
ginubel wong dama miskin, asung sandhang wong kawudan
‘Terhentilah
mereka yang bertempur, tersebutlah Sang Raja, tengah dihadp putreranya, Raja
Sejadi namanya, Yumani negaranya, konon disebut sebagai ratu yang sakti,
terkenal ke negara tetangga, banyak raja takluk, meng-Islamkan orang kafir,
Sang Raja disayang fakir miskin, memberi pakaian mereka yang telanjang’
Warna Islam dalam
kutipan di atas, tampak pada deskripsi singkat mengenai Raja Sejadi.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Raja Sejadi adalah raja
dari suatu kerajaan Islam. Raja ini juga dikenal sebagai penyebar agama Islam,
dan sudah banyak meng-Islamkan orang-orang kafir. Perlawanan dan perjuangan
untuk meng-Islamkan golongan yang masih kafir juga diceritakan dalam teks LM
pupuh 12 (Durma), bait 1-45. Dalam pupuh ini diceritakan
perlawanan Raja Sejadi dan Raden Mursada dalam upayanya untuk meng-Islamkan
kerajaan yang dipimpin oleh Raja Ekram yang masih kafir. Akhirnya Kerajaan
Ekram berhasil di-Islamkan, bahka putri Raja Ekram pun menyatakan diri masuk
Islam. Konsep Islam mengenai penyebutan bagi golongan kafir sesuai dengan
firman Allah dalam beberapa surat, yaitu: Al-Baqarah: 6-7, 257; Al-Maaidah:
44, 103; Al-An'aan: 1; QS An-Nisaa: 167, Al-Anfaal: 36, Ar-Ra'du: 43, Al-Hajj:
55, Al-Furqaan ayat : 4, dan Fushshilat: 26.
10. Teks
LM Pupuh XI, Pada 1a-g
Pan
angrasa ing sajrone ati, Dewi Suwarsi tatkalane supena, nyata Raden lamun
baguse, kang rama duk andulu, maring putranira kang estri, ping kalih
jodhonira, lajeng ning pangulu, sarta marbotoh pisan, ketib modin tuwa anom
padha prapti, pan samiya jajar lenggah
‘Namun
merasa dalam hatinya, ketika Dewi Suwarsi bermimpi, nyata benar ketampanan
Mursada, sang ayah ketika menyaksikan, puterinya itu, lalu pada (calon)
suaminya, kemudian dihadapkan penghulu, serta para marbotoh, ketip modin
tua muda berdatanga, duduk berjajar’
Kutipan di atas
menunjukkan adanya warna Islam, karena adanya tata cara pernikahan secara
Islam. Yaitu pernikahan antara Raden Mursada dengan Dewi Suwarsih, putri Raja
Sejadhi. Warna Islam tampak pada tokoh cerita dengan adanya penyebutan tokoh pangulu
penghulu’, marbotoh (merbot), ketib ‘khatib’, dan modin yang
merupakan perangkat desa khas Islam. Penghulu adalah kepala urusan agama
Islam di tingkat kabupaten atau kotamadya, atau penasehat urusan agama Islam di
pengadilan negeri (KBBI, 1995: 748). Dalam teks LM, penghulu merupakan sebutan
bagi para tokoh agama.
Sedangkan marbotoh
atau merbot merupakan punggawa atau pimpinan masjid (Poerwadarminta,
1939: 310). Kata ketib, berasal dari bahasa Arab. Kata ini dipakai untuk
menyebut pegawai masjid, juru khotbah, atau orang yang menyampaikan khotbah
pada waktu sembahyang Jum’at (KBBI, 1995: 497). Pada masyarakat pedesaan, ketib
biasanya dipakai untuk menyebut pengurus masjid yang merupakan bawahan dari
penghulu (Poerwadarminta, 1939: 217). Sedangkan modin adalah tukang
azan, pegawai masjid, lebai atau kaum yang pekerjaannya membaca doa
(Poerwadarminta, 1939: 329).
11. Teks
LM Pupuh XIII, Pada 1a-g
Sarupane bala kapir, wus padha teluk sedaya, sarta
lan raja branane, bebek ayam raja kaya, wadon miwah kang lanang, kabekta mring
Yang Ngagun, sedaya kinen sembahyang.
‘Semua pasukan kafir, takluklah semuanya, bersama
harta kekayaannya, ayam bebek dan binatang piaraannya, betina maupun jantan,
dibawa untuk korban Yang Kuasa, semua diminta sembahyang’.
Setelah berhasil meng-Islamkan kerajaan yang masih
kafir, maka semua rakyat di kerajaan tersebut diperintahkan untuk menyembah
Allah dengan cara melakukan sembahyang. Sembahyang dalam Islam adalah melakukan
sholat lima waktu, memuji serta berdoa kepada Allah (Poerwadarminta, 1939:
555). Acuan mengenai sholat terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 43 yang berbunyi: “Wa-aqiimushshalaata
wa-aatuzzakaata warka’uuma’-arraki’iin” ‘Dan dirikanlah shalat, dan
keluarkanlah zakat, dan tunduklah/ ruku’ bersama-sama orang-orang yang rukuk’.
E.
Simpulan
Warna Islam yang tervisualisasi dalam Teks Layang Mursada
Pesisiran adalah:
1. Konsep Allah sebagai Tuhan yang mempunyai sifat-sifat
mulia yaitu Maha Pemurah, Maha Terpuji, Maha Kekal, Maha Pengasih, dan Maha
Pengampun. Maha Terpuji, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Pemurah, dan Maha
Suci.
2. Konsep kepercayaan terhadap Nabi Muhammad, Nabi
Sulaiman, dan Khulafaur Rasyiidin
3. Konsep tentang sorga, dan konsep kepercayaan terhadap
penciptaan zat ghaib oleh Allah, yaitu dari golongan malaikat, jin, dan setan
4. Warna Islam juga terlihat dengan adanya tokoh-tokoh
khas yang biasa mengurusi hal-hal keagamaan seperti pangulu penghulu’, marbotoh
(merbot), ketib ‘khatib’, dan modin. Selain itu, terdapat
pula konsep mengenai kekafiran.
5. Cara peribadatan dengan cara Islam juga terdapat dalam
teks LM, dengan adanya perintah sembahyang bagi orang-orang kafir.
DAFTAR PUSTAKA
Behrend, T. E. 1995. Serat Jatiswara-Struktur dan
Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930 (terj. A. Ikram). Jakarta: INIS.
Departemen Agama
Republik Indonesia. 1996. Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya. Semarang:
C.V. Toha Putra.
Fathurahman,
Oman. 2004. Peta Naskah Keislamanan Nusantara: Karakteristik dan
Kecenderungan. Makalah Pelatihan Filologi Tingkat Nasional. PPM UIN
Jakarta.
Nugroho, Sigit.
2000. Analisis Pragmatik Suluk Mustaka Rancang. Skripsi Fakultas Sastra
UGM Yogyakarta.
Pigeaud. 1967. Literature of Java Vol I. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen
Batavia: J. B. Wolters.
Purnomo, Bambang S. 2001. Teks Klasik dan Pesisiran dalam Naskah
Lama Jawa: Layang Mursada Pesisiran. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres
Bahasa Jawa 2001.
Sedyawati, dkk (ed). 2001. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum: Jakarta:
Balai Pustaka.
Sudirman, Ahmad. 2003. “Menyorot Pergantian
Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin”, http://www.dataphone.se/~ahmad.
Tim Penyusuan
Kamus PPPB. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Ibu, apakah Teks Layang Mursada itu hanya 1 halaman seperti pada gambar? Akan menarik sekali jika demikian. Bisa merangkum konsep Islam dengan komprehensif.
ReplyDeleteTidak .... itu hanya untuk ilustrasi saja. Aslinya banyak
ReplyDeleteTerimakasih sudah berbagi...bersastra sambil mengaji
ReplyDeleteMangga ... mangga Bu. Mari nyastra dan ngaji
Delete